Thursday, October 9, 2014

120 detik


Baru membaca tulisan tentang near-death experience. Rasa-rasanya begitu banyak teori dan pengalaman yang berbeda dari setiap orang menghasilkan satu kesimpulan; bahwa sekarat pun kembali pada relativitas persepsi dan kepercayaan. Jika demikian saya mencoba meracap tentang kenyarismatian dalam versi saya di cerpen ini.


Mesin raksasa beroda empat itu menghujam seperti banteng. Sandal gunung berkonon anti lepas itu terlontar seperti balerina di udara, lantas tubuhnya terhempas ke aspal. Derak tulang meramaikan terompet mobil yang bersahutan. Seorang pedagang gorengan menunjuk tubuh yang masih berguling disaat seorang ibu berjilbab menenteng kantung plastik melatah dan berteriak "mati, mati". Seorang bocah berhenti melarikan sepeda dan bungkam seraya mencocokan peristiwa yang membekukan siang sejenak dengan apa yang disaksikannya di televisi semalam. Seorang supir angkot mengumpat pelan berasumsi bahwa jatah nasinya akan berkurang karena kemacetan yang ditimbulkan pemuda bersepeda yang terlalu acuh pada jalan dan ia nilai tidak pada tempatnya. Ia berujar kepada karyawati yang duduk di sebelahnya -yang sedari tadi ia coba untuk goda, bahwa kondisi jalan semakin berbahaya sejak pembangunan yang tidak jelas di sana sini, mempersempit jalan dan mengecilkan kesabaran para pengemudi, beruntung ia selalu dilindungi yang maha kuasa dari segala ketidaksabaran. Ia bangga menjadi algojo yang maha pengampun. Siang kembali bergerak lalu semua orang pulang dan melupakan darah dan derak tulang itu, celaka yang tidak signifikan bagi mereka dan mereka menggunakannya sebagai obrolan sore yang ditemani gorengan panas dan teh.

3 hari ia terbujur dirumah sakit. kesadarannya hilang bagi orang disekelilingnya. Sedikit yang mereka tahu pemuda masih dapat mendengar keparauan dalam suara serta isak tangis tertahan dan mencium asap rokok yang ia idam dari luar kamar, pasti paman nakalnya, dan ia merindu beliau. kesadarannya mengabur hanya saat malam ketika ayah yang menungguinya bangun tertidur, ketika suara yang timbul-hilang hanya berasal dari pendingin ruangan dan bau yang paling kentara hanya obat-obatan, bekas darah dan air kencingnya sendiri. Pikirannya melompat seperti domba kehilangan gembala antara mimpi dan sadar. Jika siang, ia merasa lelah dan bosan dengan gatal yang tidak dapat digaruk, serta ucap sepatah-patah yang ia dengar dan ia sangsikan kebenarannya serta hal-hal yang diceritakan para pembesuk yang sebenarnya tak ingin ia bagi pada seisi kamar karena ia juga bosan dengan gelap sehingga tidak mampu untuk menebak berapa orang yang ada di kamar itu dan memastikan orang yang tidak ingin ia bagi rahasianya ada disana, seperti ayahnya, ibunya dan adiknya. Ia lelah dan memutuskan untuk berpulang setiap siang. Toh dirinya juga sudah ditelanjangi sampai ketulang-tulang. Baik oleh aspal jalan atau oleh mulut-mulut yang berusaha mengisi kekosongan antara. Luar biasa menurutnya bahwa apa yang ia bagikan secuil-secuil selama 10 tahun kepada banyak orang kini dilengkapi bersama dalam 3 hari, seakan ia sudah tiada dan tidak dapat mendengar walaupun apa yang mereka katakan selalu diekori dengan kalimat pemanis. Bahkan ia tidak dapat mengenali sosok yang mereka ceritakan karena begitu banyak gula yang diaduk kedalam kisah. Ia semakin lelah dan memutuskan untuk berpulang siang itu.

Sunday, October 5, 2014

Senja Punya Malam


Saya senang bersepeda. Apalagi ketika malam, sebab sepi sendu. Namun saya segan pada gulita, lubang jalan jadi tak kasat mata, tiba-tiba menarik mengundang kaget. Juga maut. Lantas lampu jalan jadi sahabat, semakin dilihat, semakin saya merasa dekat. Ini sebait puisi untuk lampu jalan, saya jadi mencinta. Mungkin kalimat terakhir membuat kalian membayangkan adegan senggama saya dengan lampu jalan, hingga basah dan asin. Yah, bukan sih. Dosa tahu. jinah.


Lampu jalan menerangi ibu kota
Ia sang wanita pencemburu
yang iri pada senja abadi
dan semua pemujanya
mencuri sebiji sawi tinta emas sang senja
lantas mengganda memanjang di jalan
kadang aku melihat ia bak mata yang lapar
kadang merentas rintik tercecer nan damai
dan kadang merupa air mata

Ia yang harus puas pada stagnasinya
menadi jalan, diacuh para pelalang yang lelah
berupaya menghias malam, tertampik hujan
lantas mati di pagi hari, tanpa esa ketenggelaman milik sore
meredup, mendingin, membiru, lalu terbunuh
padam terlupa, tiada pemuja, lagi mencoba 
menyambung senja, berusaha menjadi kasih bagi malam

wahai wanita, yakini
aku menyanjungmu
jika kelak nyawaku padam,
aku tak sudi kekononan lorong putih mengantar
aku pinta pada-Nya, engkau, dan pendar kuningmu
dalam damai dan kekal menjagaku dari gulita


Lampu jalan selalu identik dengan kehoror-hororan. Sosok misterius dibawah lampu. Sosok berjubah dipanjangkan bayangnya oleh lampu jalan. Lampu jalan yang tiba-tiba mati meredup. Sepertinya kita tidak adil, seperti domba stereotip yang percaya semua negro leluhurnya pemanen kapas, dan kalo melihat pohon kapas, bawaannya ingin memetik. Berusaha adil, boleh dong kita sekali waktu menatap lampu jalan di malam sunyi, dan berterima kasih.


Saturday, October 4, 2014

Menulis (kembali)


Writing is re-writing 

Kalimat ini punya nilai kebenaran. Namun, untuk menulis adalah untuk kembali meniatkan. Tindakan menulis selalu dimulai dengan keinginan mengeksistensikan sesuatu, menghidupkan ingatan, membekukan kejadian, mengenalkan citra diri, menyombongkan cinta, membagi haru (lihat, betapa senang saya menyebutkan perihal eksistensi).

Intinya adalah kegiatan menulis yang dimulai dari diri sendiri -bahkan ketika keinginannya  untuk diakui orang, sama besar nyala semangat tulisannya dengan tulisan yang dimaksudkan untuk menyebar cinta pada dunia. Tulisan yang baik adalah tulisan yang tulus. Tulisan yang ingin untuk mengeksistensikan sesuatu. 

Tulisan milik wanita setengah matang yang berkoar tentang rasa dengan tulisan almarhum Albert Camus punya similaritas; keduanya berteriak; saya eksis. saya ingin bercerita. Jadi bohong jika ada tulisan yang berusaha meniadakan dirinya sendiri. Begitupun dengan wasiat Curt Cobain yang isinya mondar-mandir self pity, pengakuan serta penolakan. Terlepas dari golongannya, tulisan adalah mencatat dan memberitakan. Yang pertama-tama memberitakan keberadaan dirinya sendiri.  

Jadi ketika seseorang mulai meninggalkan tulisan, bukan berarti ia kehilangan rasa pada jarinya. Namun perihal ia 


-sebentar, lagunya enak. Nostalgik sekali. 


Namun perihal ia mulai kehilangan ketulusan akan niatnya. Bukannya kehabisan cerita, tapi kebingungan mencari-cari alasan untuk memulai tulisan. Which is Alasan selalu ada disana; Tulisan yang non-sense sekalipun dengan sendirinya akan menjadi. Jika setiap penulis adalah ibu dari karyanya, dan Gibran pernah bilang bahwa Ibu adalah busur yang bertugas melepas anak sebagaimana panah yang melesat, maka kita tidak perlu khawatir karya kita akan dibusuk-busukkan oleh orang lain, sebab ketika pena diangkat, suatu karya menjelma. Logika ini memang berujung pada pertanyaan, apaalagi dalam tingkat yang praktikal. 

Yah utamanya saya sih ingin menyampaikan, bahwa kegiatan menulis memang butuh pertanggungjawaban, tetapi untuk menyatakan bahwa sebuah karya mendikte seorang penulis atau cara berfikirnya adalah porsulat yang prematur (apalagi se-sepele masalah pungtualitas kata "kontrol" yang kehilangan r). Sebab, seperti yang saya imani, semua penulis berkembang, bahkan secara prinsipil, begitu pula dengan tulisannya. Jadi jika ada penulis yang berhenti menulis, wajar saja jika karya terakhirnya adalah penghakiman definitif: Ia. Apalagi penulis yang belum punya karya. Saya ingin mencerca orang yang berhenti menulis, sebagaimana mencerca diri saya sendiri, sebab itulah satu cara saya memotivasi orang lain, sebagaimana memotivasi diri sendiri, di samping puk-puk hangat pada yang muhrim. Penulis yang berhenti artinya telah menghambakan pandangannya pada satu jalan saja, alih-alih melihat dengan banyak cara. Penulis yang berhenti adalah orang yang sudah kehilangan sense of detail, seakan semua orang mengenakan topi kerikil, nothing really matter. Penulis yang berhenti adalah orang yang memilih untuk mati, sebab tidak ada kesenangan duniawi yang bisa ia buktikan dari tulisannya. Jika tepisannya adalah tidak merasa perlu membukti, untuk apa pernah menulis?

Yah utamanya saya sih ingin menyampaikan, bahwa saya kembali mencoba untuk menulis setelah lelah dengan draft dan siklus writing and re-writing yang menghasilkan tulisan setara dengan jumlah oscar leonardo de caprio (nol). Sebab mendandani tulisan hingga dirasa cukup layak untuk ditayangkan kepada publik adalah jalan yang sangat boring. Padahal saya ingat, masa-masa saya senang menulis hingga cukup terkenal di SMA karena mempopulerkan kata menggelinjang, adalah masa dimana saya tidak pernah mereview tulisan. 

Mengapa pakai saya? Mencoba kacamata baru. Nanti jika matanya sakit ganti lagi.
Mengapa ganti model blog? Idem.

Mengakhiri tulisan yang penuh dengan kesesatan logika akibat kekurangan kopi ini, saya utamanya ingin menyampaikan, rugi sih berhenti menulis. Rugi sih nulis sekali-sekali. Namun lebih rugi lagi sih nulis dibagus-bagusin sementara tulisannya sendiri nggak minta banyak. Padahal tulisannya sendiri sudah berteriak minta dilepas.