Saturday, November 29, 2014

Pertemuan sebiji sawit


Mari bicara tentang intimasi.

Intimasi berbeda dengan keakraban. Keakraban adalah konon yang dihasilkan dari hubungan yang dijalani terus menerus dalam garis positif. Keakraban instan yang biasa dijabarkan dua orang yang biasa bertemu adalah ilusi yang diciptakan rasa karena kosmik mengizinkan kedua bicara panjang lebar tentang hal yang serupa dan saling berkaitan. 

Intimasi adalah hal yang sakral. Intimasi tercipta bukan karena kedua orang yang bicara dalam jarak selebar lengan punya kesamaan antara yang lekat. Intimasi adalah ruang kosong yang diisi oleh rasa penerimaan yang tulus.Intimasi adalah agama sepanjang 5 sampai seratus menit, ketika kedua orang yang berada didalamnya mengimani bahwa keduanya berada dalam gelombang yang sama walau dengan penanda yang berbeda.

Keakraban bisa ditemukan dalam pembicaraan dua orang pecinta film, antara pecandu bola, dan antara dua tentara korban perang.

Intimasi bisa ditemukan dalam pembicaraan antara pelacur dengan pendeta, orang gila dengan filsuf, dan seorang tua bangka dengan anak ingusan.

Sialnya kita berada dalam keakraban buatan yang diciptakan masing-masing kita demi meneruskan obrolan menuju kesetujuan yang kita harapkan. Keakraban adalah buah yang segar dari hasil berbasa-basi. Kita melulu bicara tentang kita, dan berharap yang didepan meneruskan ke-kita-an dalam bahasanya, atau sebaliknya. 

Lantas kita terikat, lalu memaksakan keakraban esok yang sifat pastinya hanya melebur dengan usia.

Pertemuan sebiji sawit adalah suatu perjumpaan sesaat dengan peluang untuk tidak kembali bertemu lagi. Dua orang yang berbeda, bicara, tenggelam, lalu saling melupakan. Ia adalah kedipan sejenak dalam arus waktu. Seperti gemercik gelombang di aliran sungai yang terjadi sesaat lalu tandas. Seorang yang bebas bicara dengan ia yang terpenjara. Dan seorang yang hidup dalam rasa aman bicara dengan orang yang tidak pernah puas. 

Saya tidak mengenal (dan tidak perlu) anda, tetapi saya memahami maksud anda, saya bersyukur kita bicara, dan besok saya mungkin melupakan anda. Saya bersyukur karena kita setuju. Dan kesetujuan ini berakhir di hari ini, yang hanya sekali, ketika kita bertemu.

Intimasi dalam pertemuan sebiji sawit berada di luar lingkupan konsekuensi. Kita bertemu, kita bicara, kita menerima, dan kita melupakan. Tanda, gender, interest, hanya duri-duri yang tidak mempengaruhi intimasi. Saya dan anda berbeda, tapi kita paham bahwa kita sama.

Memang, semua dimulai dengan berbasa-basi. Lantas kita paham bahwa hal itu tidaklah perlu, Semua dimulai dengan cuaca yang cerah, atau skor bola tadi malam. Lalu kita bicara tentang hari ini, hari kemarin, dan maunya esok. Lalu kita sadar bahwa kita sama-sama sedang berlari, atau kita sama-sama tenggelam, atau kita sama-sama dilepas angin. Saya pun diam dan tersenyum, dan berdoa dalam hati untukmu, dan sebaliknya. Lalu kita melanjutkan bicara, atau tidak, karena itu tidak terlalu penting.

Sialnya kita berada dalam realita, dimana tidak pernah ada lingkaran yang ideal dan hanya bentuk yang selalu mendekati lingkaran. Tidak pernah ada dialog sempurna, dan tidak ada intimasi yang tak bercela. Selalu kita diputus oleh ucapan, "namun". Lalu kembali pada kedipan yang nyaris memudar, sebelum intimasi betul-betul lenyap dari pertemuan sebiji sawit.

Kita berpuas diri, dan merayakan intimasi dalam tawa dan kesenjangan sore sebelum saya beranjak menuju pemberhentian berikutnya, dan anda berputar dalam stagnasi yang sudah jelas esoknya. Namun kita merasa beruntung, sebab kita bicara, dan kita pernah tenggelam bersama. 

Saya harap, kelak kita dapat berjumpa dalam intimasi yang boleh dikata nyaris sempurna, dan menikmati lupa untuk perjumpaan yang lebih akrab, (bila).


Saturday, November 15, 2014

Akhirnya Ditulis: Garis Besar Perjalanan Gowes Lintas Jawa


Pembuka
Mohon maaf untuk para handai taulan. Terutama Firli yang sudah menuntut jauh-jauh hari. Sudah lewat 3 bulan sejak berakhirnya perjalanan gowes lintas jawa saya. Sudah banyak hal yang saya lewati di depok, banyak juga ulahnya, dan banyak sesalnya. Ada senangnya, seperti merasa menggariskan nyawa diatas tangan sendiri, di lain hari, rasanya seperti ditiban karma hingga mau pecah kepala. 

Pinginnya membuat buku. Iya segitu pedenya saya, gara-gara bibi saya penulis. Padahal saya dulu mengirim naskah kolom puisi di majalah Bobo saja ditolak terus karena mencantumkan kata "pantat". Sebenarnya ceritanya sudah ditulis di laptop hingga ke detail harian perjalanan. Namun saya masih bingung dengan tema pembungkus ceritanya. Mau dibuat stensil, saya sulit membayangkan adegan senggama diatas sepeda, toh senggama dengan siapa, jok saja menolak. Mau dibuat romantis, selama perjalanan kemarin saya hanya bertemu batang, batang, dan batang. Sementara wanita yang ditemui kemarin terlampau macho untuk diromantis-romantiskan. Mau friendship, gowesnya sendirian. Yah akhirnya arsip perjalanan tersebut mulai mendebu. Menggantung bagai ingus yang tidak ditarik ataupun dijatuhkan. Untuk menjaga agar perjalanan ini tetap hidup dan menyalakan keinginan membukukan kembali saya akan coba membagi garis besar perjalanan kemarin, semoga dapat membantu bagi teman-teman yang hendak menunaikan ibadah gowes lintas jawa. 

Garis besar
Perjalanan gowes lintas jawa kemarin menghabiskan kurang lebih 22 hari perjalanan. 

Nah, bodohnya saya baru membuat ini sekarang, bukan saat hendak melakukan perjalanan. 



 Rute Tempuh Depok-semarang

Thursday, November 13, 2014

Dogtooth: Merayakan parodi diktatorial

Dogtooth (2009) 
"Kynodontas" (original title)

Ratings: 7.2/10 from 30,905 users
Director: Yorgos Lanthimos
Writers: Efthymis Filippou, Yorgos Lanthimos
Stars: Christos Stergioglou, Michele Valley, Angeliki Papoulia



Konon, suatu ketika Yorgos kongkow dengan kawan-kawannya membicarakan kemiripan institusi dan keluarga. Kalau dipikir-pikir dan dibenar-benarkan, keduanya punya kesamaan: ada sistem, ada hirarki, ada teritori dan ada pembatasan. Yorgos bereksplorasi lebih jauh tentang apa yang akan terjadi jika seorang kepala keluarga memasang standar ekstrim untuk "melindungi" keluarganya. Dari pemikiran ini lahirlah Dogtooth. 

Kesan pertama yang saya dapatkan ketika menyaksikan dogtooh adalah DISTURBINGLY EPIC.

Tuesday, November 11, 2014

Mindblowed!



Tolong, orang ini memperkosa otak saya

Shane Carruth adalah orang yang bertanggungjawab untuk lahirnya film Primer dan Upstream Colour. Kedua film ini mempunyai kesamaan: penontonnya bakal dibuat mengerutkan jidat. Menonton film peranakan Carruth, terutama primer perlu 3 kali penyaringan. Jadi jika ada temen anda yang habis nonton primer bilang: oh, gue ngerti ceritanya. ITU DUSTA.


As always. SPOILER film pasti senggol bocor di blog ini.

Primer (2004)

Ratings: 7.0/10 from 53,749 users (imdb)
Director: Shane Carruth
Writer: Shane Carruth
Stars: Shane Carruth, David Sullivan, Casey Gooden 



Primer bercerita tentang mesin waktu yang tidak sengaja hadir dari keinginan para inventor wannabe di film ini untuk membuat sebuah mesin yang memblokir informasi tentang gravitasi pada objek yang di input kedalamnya, dan menurut film ini, ternyata mesinnya juga menahan informasi tentang waktu, sehingga dapat menyimpan waktu. Mesin waktu dalam film primer bekerja secara parabolik, yakni bersifat bolak-balik dari titik A (lampau) ke B (kini). Jika objek didalamnya cukup pandai untuk keluar pada titik A kembali, maka objek itu akan mengalami time travel satu arah ke waktu sejak mesin dinyalakan. Sepintas cara kerjanya mirip dengan jam penyimpan waktu milik doraemon, tetapi diceritakan dengan cara yang lebih intelek.

Fujiko F. Fujio, man ahead of time

Monday, November 3, 2014

Filem Robot dan kemana-mana

  

                Bukan mau ngobrolin Gaban *kecewa, tutup browser*.

Film robot/machine biasanya bercerita tentang hubungan antara mesin (sebagai outsider) dengan manusia. Biasanya manusia jadi matyr dari ciptaannya sendiri, kemudian pecah perang antara dua ras tersebut. Menurut saya ini menarik, sebab sebagaimana Hannah Arend bilang dalam human condition bahwa nature manusia adalah mahluk yang terkondisi oleh alam. Artinya jika muncul suatu gejala diluar kondisi alami –seperti kelahiran artificial intellegence dan free will nya- akan muncul suatu naluri resistensi dari ras manusia berupa notasi threat. Sekarang sih belum keliatan, soalnya mesin logika yang cukup pandai baru siri dan nggak punya keinginan sendiri. Jadi belum nongol ancaman publiknya.

Jika film dapat menjadi pendekatan model pola pikir masyarakat saat itu, kita dapat melakukan kegiatan berkira-kira tentang bagaimana masyarakat memandang suatu ide dalam tema film dari waktu ke waktu. Nah, dalam hemat saya sebagai penonton liar (menonton apapun yang bisa dibajak), saya melihat suatu perubahan paradigma dalam kasus film robot. Berikut klasifikasinya:

Machine Uprising
Era kelahiran kesadaran pada mesin. Karena kesadaran “Aku”, timbulah kemauan atau free will, yang kemudian dianggap sebagai ancaman tumbuhnya ras yang lebih superior dari manusia. Logika fungsional dari mesin tentang manusia adalah sumber bikin salah yang berulang (perang, teror, perusak, dsb), artinya manusia harus dikontrol atau ditiadakan demi menjaga kestabilan dunia.

- 2001 space odyssey (1975)
- matrix (1999)

Tidak hanya di film robot, menjelang atau pasca milenium banyak film yang menjual tema perbedaan dan perlawanan ras manusia. Biasanya oknum lain yang berusaha mengontrol itu alien atau zombie. Namun saya lebih suka robot yang dibuat manusia, ironis soalnya.


Machine to human
Tenggat antara the matrix dan judul dibawah tidak lama, sehingga dapat dikatakan bahwa kehadiran mesin berfikir memiliki variasi tema motif. Disini, daripada menjajah, kesadaran mesin biasanya menuju ke arah yang lebih sederhana, yaitu untuk diakui atau hidup berdampingan dengan manusia. Dalam ekstrimnya, mesin ingin untuk bisa berubah menjadi manusia secara sense dan fisik. Pingin bisa cepirit.