Tuesday, March 31, 2015

Bahagia

Apalah artinya bahagia. Ba-ha-gi-ya, yang lantas ditasbihkan kawula muda sebagai lambang dari pertemuan dengan diri sendiri atau diri yang juga tadinya sendiri, -baik sama maupun lawan jenis. Adalah artinya bahagia, hari ini, bagiku, yang sesederhana, ketika seorang renta yang setiap pagi lupa diri dan dunia bahkan sesederhana melupakan usia serta kerap mempertanyakan kebersudahan sarapannya pagi itu, lantas memintaku untuk mematikan lampu kamar ketika aku menjaganya dari tidur siang tiap jamnya dan semerta ia berkata, "tapi kamu nanti ngga bisa mbaca, dong?"

Aku merasa menjadi lelaki yang dipandang dunia -seketika, sebab ia melupakan dunia, tapi mengingatku, mengingat bahwa aku cucunya, dan aku sedang membaca. Lantas aku menyata, "aman kek, pake laptop." 

kakekku lupa dunia, tapi kakekku ingat aku membaca. Bagiku itu bahagia, walaupun hanya setengah jam, sebelum kakek kembali bertanya,"siapa itu duduk disana?"

Monday, March 23, 2015

The Art of Bikepacking


Bikepacking adalah anak haram dari kawin silang antara backpacking dan cycling. Hasilnya yaitu suatu kegiatan bepergian ke suatu tempat dengan strategi backpacker dan alat transportasi sepeda. Tentu orang berkerut dahi membayangkan bagaimana backpacker, -yang selalu membawa carrier sebesar kulkas kemana-mana-, menjadi lebih sinting lagi dengan menggenjot sepeda sambil membawa kulkas kemana-mana. Agaknya memang kegiatan ini mirip dengan gejala masokisme atau kesenangan menyakiti diri sendiri.


Bikepacking sebenarnya sudah lazim, saat ini tercatat banyak orang yang mengabdikan betisnya liat-membulat akibat memutar pedal sepeda demi melintasi sumbu dunia. Saya tidak bercanda. Ada orang Jepang yang cukup sinting untuk berangkat mengelilingi dunia dengan total uang dikantong $3 dan sepeda butut, namanya Keiichi Iwasaki (Setelah sholat wajib, biasanya saya menyembah dia). Ada lagi orang bogor yang salah belok hingga ke mongolia dan cina. Orang bogor ini asli dan hafal pancasila. Ada juga lelaki paruh baya yang mengelilingi Indonesia dengan sepeda kumbang, juga orang bogor lainnya yang ikut serta menyambangi sabang-marauke dalam duet yang penuh romansa selama 2 tahun, namanya Cliff Damora. 

Saturday, March 14, 2015

Asap, Api, dan Kebenaran


Demi janggut merlin, apa gerangan yang terjadi?

Kronologi peristiwa ini sebenarnya sederhana. Ada suatu ruang di dalam Fakultas Teknik yang aturan rokoknya masih abu-abu (tak jelas haram/halal untuk merokok). Lantas seseorang yang merasa benar merekam kegiatan merokok disana dan menyebarluaskannya di jejaring sosial. Mushab salah satu yang ikut menyebarkan (disamping puluhan anak lainnya). Alhasil, dengan pertimbangan pilihan yang hanya diketahui Tuhan dan pihak mediator, Mushablah yang melakukan klarifikasi internal tentang penyebarluasan foto sakral tersebut. Ini buntutnya.

Sebelum tuduhan dimuntahkan, biar saya klarifikasi. Mushab teman saya, dan sejujurnya saya memang merasakan ketimpangan melihat buntut yang seperti ini. Mushab memang agak hitam dan berjanggut, tapi tidak semata-mata saya menganggapnya kambing hitam. Walaupun bermula dari rasa yang subjektif, saya akan betul-betul coba untuk mengkaji secara objektif persoalan ini.

Thursday, March 12, 2015

Teman Saya Ini


Sebenarnya zaman testimonian temen ini sudah lewat sejak smp. Berhubung saya kesal tidak dapat hadir dalam ritual jumput telur, saya coba permalukan saja teman saya ini disini.

Saya kenal orang ini waktu ulang tahun irwin. Dia menghadiahi si imbisil sebungkus mild yang digangbang malam itu juga hingga melompong. Bicara punya bicara, selera film kita sama (yang biru beda), selera bukunya menarik, dan mudah diajak bicara hal-hal yang mengangkasa. Bedanya dia lebih rajin mandi. Ya saya kan cinta lingkungan dan aktivis penghematan air.

Teman saya ini, awalnya lebih mudah dijelaskan indikasi karakternya melalui kawin silang kata ‘tidak’ dan sifat buruk. Dia tidak bajingan, tidak pamer, tidak sombong, tidak norak, tidak pelit, tidak malas, tidak cabul (tentatif), tidak nimbun rokok, yang paling penting, tidak ikut-ikutan.

Belakangan saya tahu kualitas tanpa ‘tidak’ yang ia miliki. Mampu mengapresiasi suatu seni. Nah, kemampuan ini mewah, jika seseorang berkata film ini bagus, seru, dahsyat, maka ia berbasis percaya. Teman saya akan berkata bahwa film ini baik, karena (alasan). Bukti apresiatif ini terlihat dari kualitas foto Instagramnya. Aspek lain banyak, tapi tidak saya tulis karena tujuan dari tulisan ini mencoba mempermalukan teman saya (rasanya mulai gagal).

Friday, March 6, 2015

Malboro Merah

kulihat jejak malboro merahmu
dan sadar bahasa kita sama
bicara dengan teks dan meracau dalam bahasa
yang sepadan, teratur dan tidak terselip
namun kamu dan aku tahu,
atau barangkali aku yang pura-pura tahu
riuh rendah jargon pasar tidak menolong
melolong seenaknya dalam rancu yang menggoda
melipirkan makna tapi tak meruntuh jarak

diam dalam ucapan dan juga isyarat
derrida tertawa, menyatakan ia benar
tanda dan penanda selalu berjarak
dan tidak ada arti yang semestinya
walaupun kau terus coba untuk tebak

akhirnya kita tidak bicara atau berisyarat
asapnya habis dan titikmu terbubuh
jarak melebar lantas tidak bertemu
mata mungkin bersilang tapi
seperti strauss berujar, oposisi binari
tidak ada kesetaraan dalam hal yang serupa
kita hanya hiasan dalam ruang
tidak dapat bertemu, karena nanti ruang batal menjadi
racau saja terus, karena yang serupa tidak kawin

mungkin nanti, lain waktu, jika keduanya salah
toh keduanya sudah busuk dibawah tanah
mungkin nanti kau bubuh lagi koma hingga lelah
dan aku merancu dengan kata dan tanah
lantas nanti, mereka dengar tawa kita pongah
diatas sebungkus malboro merah

The Site


Begini, karena baru membaca chuck saya jadi tertarik untuk membuat cerpen yang berkenaan dengan dark side manusia. platform yang saya gunakan adalah omegle. Tadinya, saya hendak membuat tulisan absurd tentang omegle dan hubungannya dengan espektasi utopis. Tak kunjung rampung, amburadul, saya coba pendekatan lain. Intinya saya ingin menegaskan potensi negatif dari omegle, ada yang bilang dramatis, tetapi saya tahu kasus-kasus yang benar-benar terjadi akibat situs ini.


The Site

The night still young. Its time to get to work.
You might think that im going to take night hospital shift, or going to bar, or studying for exam, but no.

I logged myself into most contemporary ‘legitimated’ site for talking to stranger.
You know what it is called. We know exactly why its so cheap place. Soft sexual predator around, bored people, innocent kids searching for friend ends up with pedophile, desperate and unemployed person trying to make sense their life by talking to someone they wouldn’t meet for the rest of their life, and yet people who trying to help another person to fulfill their own insignificant role in game of life.

Site: Talk to stranger!
(read: we dont care what sick fuck you guys talking about)

Monday, March 2, 2015

Malu tiga kali


                Senja ini (dalam ukuran mahasiswa Arsitektur), seperti biasa kala berkesempatan, saya duduk besama dua teman untuk membicarakan banyak hal. Hal-hal ini menurut ukuran umum disebut omong kosong, karena resultannya nol. Ritual bicara ini tidak memiliki orientasi dan protokol layaknya rapat pembinaan, dan kami setuju bahwa apa yang kami bicarakan hanyalah manifestasi primodial dari semangat pemuda kemarin sore untuk beringsut dengan galau. Kami setuju bahwa ada orang yang mengisi kepemudaannya dengan semangat kritisisme, yang disebut non-conformist, dan ada yang mengisinya dengan sikap disiplin dari struktur yang mengaturnya atau conformist. Pengecapan non-conformist bahkan tampak mewah bagi kami, yang masih tidak tahu dimana kaki dan kepala sendiri saat bangun tidur. Ini malu nomor satu.
                Sehingga, apa-apa yang terucap adalah sekaligus asap dan api. Asap yang mewujud ketidakpahaman dan api yang muncul dari keingintahuan. Kopi herbal Nugi, (yang saya acungi jempol) mendorong mulut untuk bicara. Bicara, dan bicara. Ada yang penting dan tidak penting, lalu dipentingkan sebab kami tidak yakin hal tersebut tidak penting atas nama relevansi keseharian. Intensitas bicara yang semakin banyak mungkin tidak menyuarakan jumlah kebenaran, tapi malah menampakan jumlah pertanyaan. Sehingga kami sadar bahwa kami lebih banyak tidak tahu. Ini malu nomor dua.
                Menjelang pagi (dalam ukuran pelolong adzan subuh) kami masih dalam pengaruh kopi yang meracuni nadi. Kopi telah tandas dan ampasnya mengerak. Berbarengan dengan munculnya suara kereta, layu corong masjid menyair lirih, dan gonggongan anjing yang terbangun karena orang mulai lalu-lalang, setitik rasanya ada iman yang tumbuh tentang sikap terhadap kegamangan. Jawabannya sederhana, mengurangi gamang dengan berbuat dan bergerak. Ini jelas, empiris, dan faktual. Dengan kata lain, klise. Jawabannya hadir lebih lama daripada waktu jamu sidomuncul baru berdiri. Ini malu nomor tiga.

                Ketiga jenis kemaluan ini terjadi dari waktu ke waktu, saat saya duduk disini dan pulang dari tebet untuk berpindah ke kamar Irwin. Namun saya suka, sebab saya menyadari, ada beberapa hal progresif yang paling tidak terjadi menurut keyakinan; 1. Ketidaktahuan kami mulai tersusun 2.Ketidaktahuan kami mulai berbalas 3. Keingintahuan kami bertambah. Sore sudah hilang direbut pagi, tidak banyak yang terjawab, tapi tidak ada penyesalan, karena kami bukan anggota parlemen, atau peserta diskursus politik, atau forum aktivis, atau penanggung jawab pembinaan mahasiswa baru. Tersesat dan kembali tapi tak lantas lupa, segitu sederhana, segitu romantis, dan segitu berkesan, lantas malu menjadi sepadan.