Thursday, December 3, 2015

Pergi



Kakek pergi jumat lalu. 20:29 WIB. Diantar banyak orang. 
Kali pertama menyaksikan seseorang merengang nyawa, jelas menjadi bekas. 
Malam itu kali pertama saya menengoknya, berencana untuk menginap jaga. Tak rejeki, kata paman saya sambil tertawa. Beliau selalu tertawa. Paman saya orang yang bahagia.

Perginya damai. Seperti senja ditelan laut. Ini sama sekali tidak berlebihan. Sebab setelah itu semua hening, tidak ada orang meraung, tidak ada drama. Kakek sendiri, bukan pecinta drama. Yang punya Anna Karenina itu eyang, sementara kakek membaca Tan Malaka. Beliau tidak memberi ucapan terakhir atau hal-hal romantis. Seperti yang berkesudahan, kakek pergi seperti beliau hidup dalam kesehariannya; tenang.

Kakek seperti tidur, tetapi perutnya tidak bergerak. Saya tahu, saya suka mengawasi kakek saat tidur.
Semua tahu, semua suka melihat kakek saat tidur.

Banyak yang saya sesalkan. Belakangan saya jarang mengobrol dengan kakek. Padahal, jika ditanya hal lampau, beliau pasti ingat. Selalu ada yang bisa dibicarakan. Utamanya perang dan jepang, pegawai negeri, dan Tan Malaka. Hingga bermain gundu bersama anak Soekarno dan menangkap capung di kampung. Selasa itu kakek masih bisa bicara, jumat pada kondisi kritis ia tak lagi bisa berkata. 

Tentu seorang kakek punya pengaruh. Kadang lebih menohok daripada sosok bapak di waktu tertentu. Apresiasi dari seorang kakek harganya lebih tinggi. Akibat jarangnya bertatap muka (dan tentu saja hirarki). Nasihatnya (terasa) lebih berisi, karena akibat yang sama. Ceritanya panjang dan berwarna. sebab usia memberi bobot pada pengalaman. Wajahnya terasa tak pernah berubah. Kakek sudah tua sejak saya lahir. Tanpa rasa berproses, saya akan mengingat satu wajah yang sama selamanya. 

Beberapa tahun belakangan kepikunan kakek memuncak. Menurut saya, rasa sayang dapat dilihat dari absennya bosan. Kakek selalu bertanya hal yang sama setiap hari. mengulang rutinitas yang sama. Eyang demikian, hal pertama di pagi hari setelah mencuci muka, beliau menyiapkan obat untuk kakek, tanpa terkecuali, dan hanya beliau yang boleh mengurus hal itu. Semua keluarga (jika berkunjung), akan menjawab pertanyaan kakek tanpa bosan, bukan atas nama sopan santun. Lalu mengobrol tentang hal terkini yang nantinya harus diulang kembali, seperti pertama kali. Maka menurut saya, tulen semua orang menyayangi kakek. 

"saya sudah kuliah, kek"

Saya ingat beberapa hal tentang kakek. Buku pemberian pertamanya Seri tokoh dunia; Isaac Newton. Lalu ensiklopedia tentang komet Halley (yang hingga kini saya ingat, 2061 akan datang kembali), lalu kumpulan soal matematika, dan kartun fisika. Beliau menelpon setiap sore setelah seri Gengish Khan tayang, membahasnya. Kedatangannya saat saya disunat. Menyarankan bapak membelikan saya motor agar mau masuk kelas IPA di SMA. Hingga hari-hari dimana beliau duduk di teras untuk membaca koran dan kegemarannya melihat container diangkut pelan di depan rumahnya. Rangkumnya, dunia sekarang damai.

Eyang bersedih sebentar. Sebelum kembali menghitung ulang biaya pengobatan. Seperti tak ada bekasnya. Semua rutinitas obat di pagi hari, berbagi jeruk di meja makan, pemeriksaan gula darah, berhenti. Namun eyang tetap bergerak. Semua seperti telah melepas. Sepupu kecil tidur di ranjang kakek. Yang cukup besar bicara melingkar. Para orangtua duduk di depan. Pembicaraan tentang kakek minimal pada batas aktual. 

Tapi hari itu rumah bolong.