Monday, September 26, 2016

Silampukau


Bagaimana ya, saya cinta benar musisi asal Surabaya ini. 

Bukan soal pesan mulia, tetapi karena kejujurannya. Album ini merangkum dosa dan kenangan muda-mudi yang mencoba jadi musisi. Berbeda dari, misalnya ERK yang disebut-sebut Iwan Fals muda. Mereka menyampaikan pesan lingkungan, propaganda sublim, dan hal yang baik-baik (Iya, saya akui dengan cara yang indah). Sementara Silampukau berkata secara santer(dan saya rasa sambil menenggak bir); hidup pernah keparat, tapi apa boleh buat. 

Saya memang cenderung membaca lirik daripada mendengar irama. Terutama yang sifatnya tidak pura-pura dan nyaring bunyinya. Karenanya saya juga senang mendengar lagu metal. Marahlah sekalian, jangan dibuat-buat tampak jadi manusia paling sial.

Memang pengalamannya tidak sama, tetapi semua orang muda yang cukup beruntung hidup di luar garis aman, pasti pernah mengalami masa limbo: bingung mau kemana, apa kabar besok, jam berapa sekarang. Kerap sampai pada ekstrim tertentu: membunuh hari lewat mengurung diri. Pada titik itu, pilihannya ada dua: marah atau menyerah. 

Nietzche pernah melontarkan hal yang sama tentang ressentiment. Dalam On the Genealogy of Morality, ia mengkritik dogma agama yang menyamarkan rasa marah terhadap dunia dalam bentuk pengabdian terhadap surga. Pada suprastruktur tertentu, orang yang tidak mampu mengubah nasibnya, cenderung berserah pada Tuhan. Nietzche tidak pernah menghinakan Tuhan, ia menghardik mereka yang berkomplot membunuh Tuhan untuk dijadikan kedok tawakal. Walaupun yang bersangkutan jadi gila dan terakhir ditemukan memeluk kuda, pemikirannya patut diperhitungkan.

Kembali pada Silampukau, rasa kesal dengan kedok di atas tidak hadir. Rasa sebal mereka terhadap pasar musik hanya muncul sekali dua kali, dan kritik itu dilontarkan melalui sarkas yang jenaka. Cara yang bagi saya jauh dari kacangan untuk merespon suatu persoalan.

Lirik-lirik mereka sangat personal, menceritakan dosa yang (mungkin) pernah mereka lakukan melalui musik bertema ballad. Mungkin ada kliping penyesalan yang hadir, tetapi saya rasa itu cara mereka berdamai melalui buka-bukaan kisah paling tabu. Dan sekali lagi, kesan nasib sial itu dilunturkan melalui humor tanpa jurus seribu dalih. Hidup pernah keparat, tapi apa boleh buat. 

Saya jadi ingat Oscar Wilde dalam Dorian Gray menyatakan hal yang sama tentang pengakuan: 
"when we blame ourselves, we feel that no one else has a right to blame us. It is the confession, not the priest, that gives us absolution. When Dorian had finished the letter, he felt that he had been forgiven". 

Jika benar bahwa album ini merupakan salah satu cara mereka berdamai dengan masa lalu, saya doakan dengan sungguh-sungguh agar proposalnya tembus.

Seketika, album "Dosa, kota, & Kenangan" menjadi hebat ketika mewakili suatu fase tertentu yang sifatnya universal. Bukan hanya merespon suatu perkara atau isu yang sedang hangat. Mirip dengan Blind Melon yang merangkum manusia generasi hippie, Silampukau menangkap gambar muda-mudi "kekinian" yang terasing dari kota mereka sendiri. Kualitas lirik yang sama saya temukan pada beberapa judul, dari "The Seeker" besutan The Who hingga "This Time Tommorow" oleh The Kinks: Tentang orang-orang di persimpangan jalan. 

Dalam pembelaan, saya tak tahu banyak tentang musik. Sebagai pendengar pasif yang mendapati musik sisa teman, berjodoh dengan lagu semacam ini sifatnya untung-untungan. Membahas estetika musik pun di luar kemampuan saya, bahkan di luar ketertarikan. Sehingga kawan, maklumilah jika pasal-pasal ini terasa timpang bagi kamu yang bertelinga sensitif. Namun ketika hal itu saya perhitungkan, artinya hal ini sangat relevan secara personal. 

Catatan kaki:
Belakangan, saya sangat menikmati judul Puan Kelana. 
Ya, kamu. Langit di sini terasa jingga melulu.

Saturday, September 17, 2016

Jendela

Sempat dimuat di logikarasa

[1]
Ada sebuah jendela
Pada banyak waktu jendela kamar itu tertutup sempurna. Di saat yang lain saat tirainya terbuka dan daunnya ditarik ke dalam, seorang perempuan akan duduk di depannya seraya memandang cakrawala dengan muka pilu tanpa bergerak selama dua jam. Jendela itu berada pada ketinggian 4 lantai dari tanah, pada sebuah gedung rumah susun enam lantai yang sempat menjadi kawasan kriminal sebelum diberendel oleh aparat setempat, sehingga sekarang penghuninya hanyalah pengelola dan orang-orang tua yang menunggu maut. Maka, pemandangan seorang wanita muda bermata sayu di ambang jendela adalah sebuah kontras yang menarik diantara jemuran usang dan gedung tua yang kehilangan warnanya.

Friday, September 16, 2016

Sulap

Artikel dimuat di qureta pada 15 September 2016

Waktu itu saya menemukan postingan blog yang isinya kurang lebih begini:

Semua pesulap sebelum bersulap umumnya mengucapkan mantra;   
"Bukan sulap, bukan sihir!" 
Lalu, yang mereka lakukan itu apa dong?

Pertanyaan semacam ini sangat menarik secara pribadi. Ganjilnya, apa yang dilakukan para pesulap itu kontradiktif dengan ucapan mereka. Saya jadi curiga, untuk apa mereka ngomong begitu? 
Baru-baru ini setelah mengikuti diskusi dialektika Hegel, saya sedikit menyadari unsur negasi dan fungsinya dalam "mantra" tersebut.

Sulap, menurut hemat saya adalah tipuan yang menghibur. Sebab, apa-apa yang dilakukan pesulap pastilah sesuatu yang ajaib dan berjarak dari yang logis. Sesuatu yang ajaib biasanya menyenangkan (kecuali harapan palsu). Sulap umumnya tidak membahayakan, tapi mengandung kejutan. Contoh sulap yang berbahaya muncul dalam salah satu cerpen Seno yang kocak itu: Seorang pesulap babak belur digebuki karena mengubah udara menjadi uang. Ini kasus tragis, jika sulap dibawa mengharap.
Terlepas dari satir, umumnya semua unsur sulap mengakali penontonnya, termasuk mantra di atas.

Secara ringkas dialektika Hegel merangkum proses mencapai sintesis melalui dua kali pengingkaran (negasi) dari tesis dan antitesis. Pengingkaran ini bertujuan untuk membantah tesis dengan menegasinya lewat antitesis, yang kemudian disangkal kembali oleh sintesis sebagai gabungan utuh dari keduanya. Lalu berulang lagi sampai kiamat. Kalau dalam prakteknya bagi mantra di atas, kurang lebih kalimat itu dapat dijabarkan seperti ini:
Negasi dari sulap adalah yang bukan sulap,
Yang bukan sulap (dan bukan sihir) = bukan tipuan, 
sehingga, yang bukan tipuan = sifatnya nyata.

Jadi, ketika pesulap yang hendak menghilangkan burung dari sangkar berkata:
"Bukan sulap, bukan sihir."
Memiliki arti:
"Ini nyata, bisa dipercaya."

Di sini pesulap sedang memantrai penonton, bukan burungnya. Pesulap menyangkal aksinya melalui "mantra" itu untuk menghadirkan kesan "nyata". Sehingga, pesulap telah melakukan dua tipuan, (1) aksi sulap, dan (2) mantra yang menegasi aksi tersebut. 
Walaupun bagi saya sintesis dari aksi ini membuat blunder atau bersifat membatalkan laksana haiku, pendekatan ini lebih sakti daripada mantra lain seperti "sim sala bim (This transform into That), dan abracadabra (I Create as I speak)" yang menegaskan aksi bersulap.

Mengapa mantra ini lebih sakti bagi saya?
Sebab berdasarkan contoh historis lainnya, pengingkaran/larangan lebih kuat untuk menegaskan sebuah maklumat. Misalnya dalil-dalil dalam kitab suci secara umum dan Ten Commandement secara khusus. Ten Comandement yang berisi 10 larangan Tuhan, selalu berujung pada kesimpulan;
"Jalan yang benar hanya satu, yaitu menghindari hal-hal ini."

Sementara dalam sudut pandang arsitektur, negasi adalah alat penyelidikan untuk menganalisa suatu rancangan. Dengan menegasi, atau lebih dikenal sebagai proses reduksi, kita dapat mengetahui esensi dari suatu rancangan. Misalnya untuk mendefinisikan masjid, kita dapat menegasi apa yang bukan masjid. Masjid bukan kubah, bukan tiang, bukan sajadah. Yang tersisa kelak adalah esensi masjid, yakni tipologinya sebagai tempat ibadah masal yang memenuhi syarat-syarat ritual sholat. 
Dari sini kita tahu bahwa sintesis dari rancangan masjid adalah bermula dari hasil negasi yang bukan masjid (tipologi masjid) ditambah simbol-simbol kebudayaan. Karenanya, dalam kasus-kasus masjid tidak beratap kubah, kita tetap dapat memahaminya sebagai suatu masjid.

Dengan menegaskan suatu aksi melalui negasi, baik seorang pesulap, arsitek, maupun pendogma agama, dapat menampilkan suatu kesan kebenaran pada penontonnya. Ini bukan ujug-ujug penipuan, tetapi dapat menjadi proses yang sehat untuk mencapai suatu kesimpulan. Suatu larangan selama dibaca sebagai negasi, bukan hal yang negatif selama berada dalam proses dialog yang tepat. 

Kecuali larangan merokok di kantin tanpa kubus khusus perokok. Itu marginalisasi. 

Monday, September 12, 2016

Ants



I love ant-man movie. It's nerdy but clever yet funny. But now I hate ants.

The very same ant that helped Ant-man to destroy his nemesis building, -Nylanderia Fulva, recently had cost me dearly. But now i wonder if i mistook it for its distribution far from Indonesia. Nevertheless, i now hate ants. Be it common ant, let's just continue the story as it is.
This species destroyed my adapter, twice in a week. How? Their modus operandi, is to find nesting point without actually build one (rotten wood, electronic appliances, bed), in any cavity that, -ant-wise speaking, sufficiently sized for whole colony.

And I thought I was the laziest crafter in here.

The ridiculous things tho, like in Ant-man movie, as this ants nesting in electronic appliances, they got electrocuted one by one. The dead ones then releasing threat-hormones that called out same species to repeat the cycle, -This unfortunate loop, is the one that dangerous to us. Until it built up into a bodies of corpses and finally create short circuit which kills the poor machine.

"Help me! -lol, jk. U dead"
"We might as well take down the machine with us"
"Terrific"

As in the week: I bought secondhand laptop that running smoothly for few months until one day it refused to boot up and having no signs of life. Not knowing what happened, in utter panic I ran to computer services that morning whose owner was about to go on holiday with his family. We found out that the adaptor was dead, so I bought what was left in his belonging, it was inaventable I think. Counting 6 year, it's a miracle that the adaptor still functioning. I happily return to my place, not knowing the danger that lurks beneath my desk where I usually placed my adaptor. 

The next day I woke up with same laptop condition, -dead as diCaprio on Titanic. At this point I knew that nothing was wrong with my PC unit, so I checked the adaptor to see if the owner had gave me a bad one.

And so it was. These little hobo swarming inside and outside my adapter like it was public square of ant-town. I can imagine prophet-like ant lead the masses to promises land to die together. Lo and behold! great warm machine for our children.

Short story, I opened my old adaptor and found them nesting there. It almost like purgatory, -for the bodies of ants, that reddish stuff, swarming everywhere like holocaust victim (pardon my ignorance). I tried to clean it and put on power but it ended up in vain. I figures the new one had met the same miserable fate. The ant probably used same path to follow and cycled upon the same stupidity as its short-lived predecessor.

They nesting in big masses, electrocuted, live on their brothers corpses, short-circuited, and once again in glorious win, broke my adaptor, now in the matter of day.

Motherfucker.

On the other side it took me to remark my point of view about human and ant.
At the beginning of our race we filled mother-earth's cave to reproduce at triumphant rate for few thousands of year. We came out as we kept dying by winter or eaten by big cats, so we decided to make our own cave with many, -I mean, lots of approaches that most of the time made us forgot what we actually build in any architectural works ever existed: A-costumized-cavity.

We too, repeatly die at massive number as it no longer suitable lifestyle for us, just to signify something goes wrong in large scale. We "moved on", adapt, and collectively re-suicides in particular time intervals. Ants had nothing to name it for. We called it tragedy, or to sound academic, a dialectical progress.

To think that we are better race than ant just because we now have iPhone 7, is a banal thought. Hell, ant doesnt requires particular ideologies to live and meaning to build, they just did and its been well up to this point. Most people, even provided with these historical knowledge that cost a live(s), leads no better life than ants, for they strive and mocks others from their own species, just because a matter of culture.

Or worse, soccer team.

Fuck it, I probably too upset for I now only have noodles for the rest of the month.