Thursday, October 13, 2016

Vonnegut: Satire dan Arsitektur dalam Fiksi Ilmiah


dimuat di ultrastardust
            Kurt Vonnegut Jr. adalah seorang penulis Amerika yang berkutat pada aliran fiksi sains karena suatu ketidaksengajaan. Konon, ia menyadari bahwa dirinya menulis fiksi sains setelah mendapat kritik sebagai penulis yang menjanjikan dalam aliran itu. Alasan kedua, ia menggunakan aliran itu untuk “menyulap” suatu cerita tanpa perlu penjelasan yang presisi dengan tetap mempertahankan sifat masuk akalnya. Setelah menjadi saksi mata dari blunder terbesar tentara sekutu pada pengeboman Dresden 1943, Ia mulai menggunakan kacamata satire sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap trauma. Belakangan, yang bersangkutan dianggap sebagai bapak humanisme Amerika dan memperjuangkan nilai-nilai tersebut dalam bentuk komedi satire.

            Karya besar Vonnegut, Slaughterhouse V; or Children of Crusade (1960), dikenal sebagai tulisan cult. Nama Vonnegut sebagai penulis luar dikenal di Indonesia melalui novelTimequake (1997) yang diterjemahkan oleh T. Hermaya dan diterbitkan tahun 2001. Memang dalam nilai relevansi, Vonnegut tidak menawarkan banyak selain satire nasionalis Amerika dan slogan anti-perang yang sebenarnya berakar dari pengalaman pribadi penulis. Ditambah pilihannya untuk menggunakan tema fiksi-ilmiah semakin sukar untuk diterima, apalagi di negeri yang tengah merayakan nostalgia etnosentris, agama, dan gender. Di Indonesia sendiri ada nama Joko Lelono sebagai penulis yang menggunakan genre fiksi ilmiah. Fiksi ilmiah, pada tempat dimana realisme berinteraksi dengan spekulasi, jarang menawarkan banyak nilai dan berkesempatan untuk dibaca di Indonesia. 

            Timequake atau Gempa Waktu merupakan kumpulan opini yang dirangkum dalam narasi fiksi-ilmiah. Secara ringkas, novel itu bercerita tentang gangguan kosmik yang menyebabkan semua orang harus mengulangi satu dekade antara 1991-2001 dalam kendali otomatis. Menariknya, novel ini tidak berusaha menjawab hakikat kehendak bebas, melainkan membangun pertanyaan akan hal itu. Jika kehendak bebas memang ada, sudahkah kita menggunakan itu sebaik-baiknya? Ada dua kesulitan mengapa Gempa Waktu kurang menggairahkan. Pertama, novel ini bukan perkenalan yang baik dengan Vonnegut, karena ia lebih bekerja sebagai autobiografi kreatif daripada sebuah narasi yang utuh. Kedua, dan yang cukup penting, kesulitan translasi mengurangi kualitas humor yang dipaparkan oleh Vonnegut.

           Satire dalam hemat penulis, adalah cara untuk memperlihatkan kebobrokan suatu sistem melalui humor dan parodi bermuatan ironi. Alih-alih melihat ironi sebagai suatu humor, seringkali menampak sebagai suatu tragedi yang tidak patut ditertawakan. Humor satire Vonnegut biasanya dapat dilihat dari keterlibatan suatu karakter khusus yang menjadi moral kompas dalam novelnya. Bokoonon dalam Cat's Cradle dan Trout Killgore dalam Timequake adalah dua pesimistik yang melihat dunia dengan cara pragmatis daripada heroik. Tragedi bukan suatu hal yang menyedihkan, ia terjadi -sebagaimana menurut dialektika Hegel, sebagai proses alami menuju pendewasaan umat manusia, dan selayaknya, mereka yang memahami hal itu bersyukur telah hidup dan berpartisipasi dalam perayaan tersebut.

           Fiksi ilmiah yang merupakan panggung modular untuk merangkai narasi sangat memberi peluang dalam penyampaian suatu gagasan ruang dan kebudayaan. Novel George Orwell 1984yang berbicara tentang dystopia, membuka cerita dengan penggambaran dunia pasca-perang di mana semua orang tunduk pada rezim totaliter. Di sana hadir kajian tentang efek panopticon, paranoia, dan pertanyaan mendasar tentang ruang privat dan publik. Karya lain yang memiliki nafas sama, yakni novel berjudul Do Androids Dream of Electric Sheep karya Philip K. Dick yang diadaptasi ke dalam bentuk film dengan judul The Blade Runner berusaha memvisualisasikan futurisme. Latar dalam cerita yakni kota Los Angeles yang dibuat futuristik merupakan bentuk kongkrit implikasi gagasan arsitektur dalam sebuah karya literatur.

           Agak sulit untuk langsung menemukan gagasan arsitektur dalam karya Vonnegut. Meski begitu, nilai dalam cerita-cerita Vonnegut tidak menghilangkan perbedaan kualitas ruang dan pengaruhnya terhadap manusia. Sebagai contoh Cat's Cradle yang membawa isu antropologi berusaha menyimak suatu lokasi bernama Galapagos dan kebudayaannya. Perbedaan lokasi menyebabkan perbedaan pola pikir yang kemudian berbuntut pada proses dialog yang lucu. Usaha adaptasi protagonis  di dunia primitif, diangkat sebagai humor gelap yang masih relevan dewasa ini.



           Karya Vonnegut yang lain yang berjudul Siren of Titans menceritakan hubungan antara Bumi, Mars, dan Uranus. Pada bentuknya sudah terlihat peran dimensi ruang dalam karya ini. Sayangnya, karyanya ini kurang populer karena bobot fiksi ilmiahnya lebih terasa daripada tema moral. Ceritanya sederhana: Alkisah ada seorang manusia yang terjepit gangguan kosmik, sehingga ia harus berpindah antara Bumi dan Uranus setiap 6 bulan sekali. Setelah mengerutkan kening, kita dikenalkan dengan tokoh robot-alien Salo, yang memiliki cara persepsi yang menarik tentang ruang dan waktu. Kelanjutan cerita berputar antara perang peradaban Bumi dan Mars. Alur cerita seakan jungkir-balik dan ngawur, namun tetap menyenangkan.

           Implikasi arsitektur sebagai ekspresi kebudayaan yang memperlihatkan jejak atau alter-ego dari umat manusia, bukan suatu hal yang seutuhnya mulia. Setidaknya kaitan antara nilai arsitktur dan fiksi ilmiah Vonnegut sedikit-sedikit kita dapati dari karyanya yang kurang populer ini. Di novel ini, peradaban manusia tidak lain merupakan suatu proses terkontrol, -yang sialnya, hanya merupakan alat komunikasi satu arah bagi Salo untuk berbincang dengan planet asalnya. 


It was through this viewer that he got his first reply from Tralfamadore. The reply was written on Earth in huge stones on a plain in what is now England. The ruins of the reply still stand, and are known as Stonehenge. The meaning of Stonehenge in Tralfamadorian, when viewed from above, is: "Replacement part being rushed with all possible speed."
Stonehenge wasn't the only message old Salo had received. There had been four others, all of them written on Earth.
The Great Wall of China means in Tralfamadorian, when viewed from above: "Be patient. We haven't forgotten about you."
The Golden House of the Roman Emperor Nero meant: "We are doing the best we can."
The meaning of the Moscow Kremlin when it was first walled was: "You will be on your way before you know it."
The meaning of the Palace of the League of Nations in Geneva, Switzerland, is: "Pack up your things and be ready to leave on short notice."
                                                                                                                              -Siren of Titans, pg.196


           Satire dengan skala semesta ini, mengalahkan The Fountainhead (Ayn Rand, 1943) yang memandang suatu gerakan arsitektur sebagai isu yang sakral. Bagi Vonnegut sendiri, pergerakan kebudayaan (secara menyeluruh) bukan hal yang harus disikapi dengan mengorbankan darah dan air mata.

"Perhaps, now that the part has been delivered to the Tralfamadorian messenger, Tralfamadore will leave the Solar System alone. Perhaps Earthlings will now be free to develop and follow their own inclinations, as they have not been free to do for thousands of years." He sneezed.
"The wonder is that Earthlings have been able to make as much sense as they have," he said.
-Siren of Titans, pg.216

           Arsitektur dianggap mengalami penurunan nilai akibat teknologi melalui salah satu pasal diTimequake. Di situ ia menceritakan seorang arsitek yang bunuh diri setelah mengetahui sebuah program bernama Palladio yang mampu merancang secara otomatis, bahkan dengan penawaran berbagai gaya arsitektural. Heidegger dan banyak fenomenolog lain telah mengkritik hal yang sama dalam beragam esai tentang teknologi. Namun, isu arsitektur tidak akan lantas selesai melalui pendekatan humanis saja. Vonnegut selalu kembali pada penyikapan rasional untuk menjawab hal itu. Mungkin ia akan berkata arsitektur akan tetap laku karena kebutuhan (yang semakin rumit), dan jika manusia tak hendak menolong dirinya sendiri dari pertikaian, kebutuhan itu tak akan pernah terpenuhi.

           Jika realisme magis dan surrealisme mengkaji arsitektur melalui proyeksi mental (hal yang bermain di kepala), Fiksi ilmiah mematerialisasi arsitektur sebagai produk praktis, -sebuah mesin dengan potensi bahaya yang nyata. Memang, gagasan arsitektur dalam fiksi ilmiah cenderung berbuntut pada mimpi buruk bagi para humanis. Apabila nilai satire itu memang erat dengan tulisan Vonnegut, maka posisinya terhadap nilai arsitektur dan hubungannya dengan spekulasi dan perenungan dalam fiksi ilmiah seakan mengisyaratkan:  "kalau bisa, (arsitektur) jangan sampai begini nasibnya"

Saturday, October 8, 2016

Marah

Kamu tau nggak gimana caranya marah dengan cantik?



" ... Further - though this may contradict what I say above - strong and interesting architectural criticism is defined by the way you talk about architecture, not the buildings you choose to talk about. 

In other words, fine: you can talk about Fumihiko Maki instead of, say, Half-Life, or Doom, or super-garages, but if you start citing Le Corbusier, or arguing about whether something is truly “parametric,” then you shouldn’t be surprised if anyone who’s not a grad student, studying with one of your friends at Columbia, puts the article down, gets in a car - and drives to the mall, riding that knotwork of self-intersecting crosstown flyovers and neo-Roman car parks that most architecture critics are too busy to consider analyzing. ..."


Geoff Manaugh itu salah satu gerilayawan kritik arsitektur gacoan saya. Bukan jebolan sekolah arsitek, justru membuat tulisannya punya perspektif yang menarik tentang arsitektur. Bahkan, kadang lebih berbobot dan menyentuh beragam disiplin. Satu dasawarsa silam, ternyata dia juga bisa kesal dengan sifat elitis arsitektur (yang kadang memang keparat pangkat dua). Sekarang, dia menulis suka-suka. Alhamdulilah.

Enaknya jadi gerilyawan kritik arsitektur: selalu bebas dari ancaman jadi tapol dan peluru senapan.

"... 1) Architectural criticism means writing about architecture, not writing about buildings.
Incredibly, in the midst of the talk last night, one of the panelists mentioned Archigram – almost wistfully – commenting that, despite a lack of built projects, Archigram still managed to dynamize and re-inspire the architectural scene of its era. This was done through ridiculous ideas, cheap graphics, a sense of humor, and enthusiasm. But, wait, what was –? Oh, that panelist must have forgotten, because he immediatetly went back to discussing buildings: not ideas, not enthusiasm, not architecture.
  
Architecture is not limited to buildings!  


Temporary Air Force bases, oil derricks, secret prisons, multi-story car parks, J.G. Ballard novels, Robocop, installation art, China MiĆ©ville, Department of Energy waste entombment sites in the mountains of southwest Nevada, Roden Crater, abandoned subway stations, Manhattan valve chambers, helicopter refueling platforms on artificial islands in the South China Sea, emergency space shuttle landing strips, particle accelerators, lunar bases, Antarctic research stations, Cape Canaveral, day-care centers on the fringes of Poughkeepsie, King of Prussia shopping malls, chippies, Fat Burger stands, Ghostbusters, mega-slums, Taco Bell, Salt Lake City multiplexes, Osakan monorail hubs, weather-research masts on the banks of the Yukon, Hadrian’s Wall, Die Hard, Charlie and the Chocolate Factory, Warren Ellis, Grant Morrison, Akira, Franz Kafka, Gormenghast, San Diego’s exurban archipelago of bad rancho housing, Denver sprawl, James Bond films, even, yes, Home Depot – not every one of those is a building, but they are all related to architecture. ..."

Amin

Puisi dan Arsitektur


Dimuat di Qureta pada 8 oktober 2016

[1]
Saya agak segan jika membaca puisi. Sebagai bentuk literatur paling ekspresif, puisi suka membekas, tetapi sukar menyampaikan suatu gagasan secara teratur. Membaca puisi itu sulit, apalagi merangkainya. Betul-betul berani para pujangga itu bagi saya. Sementara, teman yang masih kuliah sastra tidak sependapat. Menulis puisi ya tinggal menulis saja. Biar artinya dicerna siapa yang mau.

Begitulah pandangan postmodern, yang bagi saya rada berjudi. Berati puisi bagus, dinilai lewat relevansinya bagi banyak orang. Sisanya, terlalu apak untuk diaminkan. Saya tak teruskan obrolan itu karena tahu akan muter hingga subuh. Saya hanya paham bahwa puisi adalah sarana untuk 'merasa' yang nilainya agak labil. Mungkin saya belum mengerti, sehingga saya menunda diri untuk menilai puisi.

[2]
Saya punya teman, sebutlah sukron. Iya, mirip merk kacang (sukro), dan di SMA memang dipanggil kacang. Saya dan sukron sedang jalan melintasi kampus menuju stasiun. Saat melewati suatu gedung infrastruktur kampus, sukron menyatakan pendapatnya tentang gedung tersebut.

"Gue ngga suka gedung ini, keliatannya kayak bangunan belum kelar."

Saya tidak banyak tahu tentang muasal bangunan itu dan arsiteknya. Namun, saya dididik untuk membaca arsitektur dengan teratur. Pertama, gedung itu bekerja sebagai kantor sekaligus studio, sehingga ukurannya masif, cenderung kotak, bahkan agak brutal dari sisi tertentu.

Kedua, saya paham bahwa elemen yang paling membuat gendung itu kelihatan belum beres, adalah upaya untuk mereduksi panas dan cahaya langsung dari matahari siang menggunakan tirai reflektif. Elemen tirai itu sengaja dibuat menonjol dan memanjang, untuk meneruskan karakter tegas dari entrance hingga beton-beton telanjang, yang menonjolkan kesan "teknik" dari gedung tersebut.

Kalau sukron pernah masuk ke dalamnya, ia akan tahu bagaimana jendela itu bekerja. Kalau ia berdiri pada titik yang tepat, ia mungkin akan melihat bagaimana gedung itu membawa dirinya sebagai suatu lambang.

[3]
Tentu saja saya tidak membantah kata-kata sukron, apalagi mengajaknya masuk gedung. Saya cukup senang, bahwa teman saya punya pendapat mandiri tentang suatu rancangan. Artinya, dia mencoba membaca rancangan, dan itu sudah sebentuk apresiasi nyata terhadap arsiteknya.

Namun ini membuktikan hal yang sama. Saya suka dan berusaha untuk membaca puisi bangunan dengan teratur, tetapi orang-orang selalu memiliki kebebasan penuh untuk menilai, dengan atau tanpa aturan.Apalagi, lebih banyak orang memilih untuk tidak menilai. Seperti saya terhadap puisi.

Saya selalu percaya orang sebaiknya punya sikap kritis tentang suatu rancangan. Sebab secara logis, mereka yang menempatinya. Hal ini berbeda dengan puisi yang tidak berkonsekuensi pada kelangsungan raga manusia. Dalam ekstrim saya yang paranoid: Kamu sudi tinggal di penjara hanya karena dicap halal sebagai istana oleh otoritas tertentu? 

[4]
Di sisi lain, teman saya berpendapat bahwa jika masyarakat giat membaca arsitektur atau terlalu kritis terhadap hal itu, para arsitek yang akan repot. Tentu saja ini berakar dari hindsight bahwa bahasan arsitektur selalu butuh modal pengetahuan yang dibangun dari barisan manifesto dan beragam disiplin ilmu. Merancang pasti dengan alasan, sementara kritik yang terlontar seperti diatas, biasanya hanya berasal dari permukaan. Jika 1.000 orang berkata demikian secara radikal, bisa jadi bangunan yang kami lewati itu terpaksa diperbaharui atas nama demokrasi. Mungkin begitu ekstrim teman saya.

Namun, justru dari situ kepercayaan saya tentang sikap kritis itu semakin kuat. Bukan giat, tetapibecus membaca. Membaca arsitektur, sepemahaman saya bukan sekedar merapalkan isi dari majalah arsitektur populer. Wawasan arsitektur bukan sesuatu yang mahal, hanya tampak mewah. Saya percaya orang tidak perlu berbondong-bondong mengikuti kelas Pengantar Arsitektur untuk memahami pengalaman dan kualitas ruang. Kita cukup mulai dengan pertanyaan: sudahkah kebutuhan spasial saya terpenuhi disini? 

Umumnya kritik itu hadir dalam bentuk keluhan tentang suatu rancangan; panas, lembab, atau berisik. Atau pujian lewat tentang suatu bangunan; indah, lucu, unik. Disana arsitektur terbaca di permukaan sebagai kesan, tetapi gagal menghasilkan suatu dialog yang sehat. Dialog yang paling baik terjadi ketika orang tidak hanya numpang merasa, tetapi juga bertindak aktif untuk mengatur ruang, seperti analogi Gaston Bachelard dalam Poetic of Space.

"...a man's building his own house that there is in a bird's building its own nest"

[5]
Membaca buku selalu melibatkan proses argumentatif. Waktu membaca, kita memanggil hantu dari buku-buku yang sudah dibaca untuk menakar nilai-nilai dari tulisan yang sedang kita hadapi. Begitu juga membaca sastra. Tenggelam dalam narasi, bukan berarti menelan kotak-kotak ideologi penulisnya. Namun kembali menimbangnya dengan prinsip milik sendiri. Arsitek menyajikan suatu narasi, yang kita jejaki setiap hari. Mengapa proses argumentasi yang sama tidak dapat terjadi ketika membaca arsitektur?

Pada titik ini, saya merasa bahwa buku Experiencing Architecture Ramussen intinya bicara tentangCara membaca/meraba/merasakan arsitektur. Sejujurnya, saya masih belum berbulat pendapat tentang mengapa orang perlu membacanya (arsitektur), selain keyakinan analogis bahwa arsitektur adalah puisi yang kita tinggali. Mengapa tidak dibentuk seindah mungkin sekalian?

Toh sebelum arsitek hadir, arsitektur sudah lahir duluan. Hal ini mengisyaratkan bahwa orang sudah punya jurus ninja membaca ruang secara natural. Tidak hanya melihat rongga sebagai fungsi berlindung, tetapi juga mata estetis untuk melihat liang gua sebagai pangkal kehidupan.

Demikian bagi saya, Sukron lebih berani daripada orang-orang yang larut dalam guggenheim phenomenon.

Kedua, saya mafhum harus kembali baca puisi.