Baru membaca tulisan tentang near-death experience. Rasa-rasanya begitu banyak teori dan pengalaman yang berbeda dari setiap orang menghasilkan satu kesimpulan; bahwa sekarat pun kembali pada relativitas persepsi dan kepercayaan. Jika demikian saya mencoba meracap tentang kenyarismatian dalam versi saya di cerpen ini.
Mesin raksasa beroda empat itu menghujam seperti banteng. Sandal gunung berkonon anti lepas itu terlontar seperti balerina di udara, lantas tubuhnya terhempas ke aspal. Derak tulang meramaikan terompet mobil yang bersahutan. Seorang pedagang gorengan menunjuk tubuh yang masih berguling disaat seorang ibu berjilbab menenteng kantung plastik melatah dan berteriak "mati, mati". Seorang bocah berhenti melarikan sepeda dan bungkam seraya mencocokan peristiwa yang membekukan siang sejenak dengan apa yang disaksikannya di televisi semalam. Seorang supir angkot mengumpat pelan berasumsi bahwa jatah nasinya akan berkurang karena kemacetan yang ditimbulkan pemuda bersepeda yang terlalu acuh pada jalan dan ia nilai tidak pada tempatnya. Ia berujar kepada karyawati yang duduk di sebelahnya -yang sedari tadi ia coba untuk goda, bahwa kondisi jalan semakin berbahaya sejak pembangunan yang tidak jelas di sana sini, mempersempit jalan dan mengecilkan kesabaran para pengemudi, beruntung ia selalu dilindungi yang maha kuasa dari segala ketidaksabaran. Ia bangga menjadi algojo yang maha pengampun. Siang kembali bergerak lalu semua orang pulang dan melupakan darah dan derak tulang itu, celaka yang tidak signifikan bagi mereka dan mereka menggunakannya sebagai obrolan sore yang ditemani gorengan panas dan teh.
3 hari ia terbujur dirumah sakit. kesadarannya hilang bagi orang disekelilingnya. Sedikit yang mereka tahu pemuda masih dapat mendengar keparauan dalam suara serta isak tangis tertahan dan mencium asap rokok yang ia idam dari luar kamar, pasti paman nakalnya, dan ia merindu beliau. kesadarannya mengabur hanya saat malam ketika ayah yang menungguinya bangun tertidur, ketika suara yang timbul-hilang hanya berasal dari pendingin ruangan dan bau yang paling kentara hanya obat-obatan, bekas darah dan air kencingnya sendiri. Pikirannya melompat seperti domba kehilangan gembala antara mimpi dan sadar. Jika siang, ia merasa lelah dan bosan dengan gatal yang tidak dapat digaruk, serta ucap sepatah-patah yang ia dengar dan ia sangsikan kebenarannya serta hal-hal yang diceritakan para pembesuk yang sebenarnya tak ingin ia bagi pada seisi kamar karena ia juga bosan dengan gelap sehingga tidak mampu untuk menebak berapa orang yang ada di kamar itu dan memastikan orang yang tidak ingin ia bagi rahasianya ada disana, seperti ayahnya, ibunya dan adiknya. Ia lelah dan memutuskan untuk berpulang setiap siang. Toh dirinya juga sudah ditelanjangi sampai ketulang-tulang. Baik oleh aspal jalan atau oleh mulut-mulut yang berusaha mengisi kekosongan antara. Luar biasa menurutnya bahwa apa yang ia bagikan secuil-secuil selama 10 tahun kepada banyak orang kini dilengkapi bersama dalam 3 hari, seakan ia sudah tiada dan tidak dapat mendengar walaupun apa yang mereka katakan selalu diekori dengan kalimat pemanis. Bahkan ia tidak dapat mengenali sosok yang mereka ceritakan karena begitu banyak gula yang diaduk kedalam kisah. Ia semakin lelah dan memutuskan untuk berpulang siang itu.