Gue seringkali tidak habis pikir mengapa banyak orang tidak berhenti sejenak dari apa yang dia lakukan untuk bertanya 'kenapa saya melakukan hal ini', tidak, tidak banyak orang yang mengapresiasi kesadaran tersebut. Azas berkelakuan karena senang sudah membatin dan membatu. Ini passion saya dan tidak perlu mengapa untuk memperjelas cinta, karena memang abstraksi hanya dapat dirasa secara subjektif dan bukan untuk diperjelas dengan untai kata yang rancu.
Memang, memang benar, berfikir pun kembali pada pertanyaan, kenapa harus lama berfikir, padahal bulan pun nanti jatuh, ada hal-hal yang tidak dapat diketahui sebelum melakukan, ada kesadaran yang tidak dapat diraih sebelum dintindak, ada rasa yang tidak dapat dimengerti sebelum diperbuat. Kita tidak tahu kenapa orang memperkosa orang lain sebelum kita memperkosa orang. Kita memperkosa diri sendiri dan merasa sakit, sakit sekali, sehingga kita bertanya kenapa ada orang memperkosa orang lain. Kita tidak mengerti dan kita memilih untuk tidak melakukan, hanya menghakimi dan bertanya dengan pembenaran diri.
Dialog ini terjadi berputar dalam siklus mati yang tanpa cela. Dialog ini nyata. Dialog ini berakhir pada pernyataan saya benar, dia tidak. Saya tidak perlu banyak berpikir untuk paham, dan dilain sisi, orang berkata, saya tidak perlu makan tahi untuk tahu seperti apa rasanya. Dua-duanya bertopeng, dua-duanya tidak mau tahu. Saya, anda, mereka. Polemik usus buntu. Yang satu semut dan yang satu kura-kura.
Pikiran ini selalu menjadi. Gelisah meradang. Pembenaran diri berjalan maju dan mundur, kiri dan kanan, selalu kembali ke tengah, dan diam tanpa bergerak, untung2 kalau digandeng arus, jadi kelihatan normal. Alasan demi alasan disambut dengan meriah, untuk menebalkan dinding pembenaran yang bobrok disana sini. Ingatan kolektif diumbar-umbar, demi kemuliaan diri. Tapi kan saya, tapi kan dia. Tapi, sebagai sebuah topeng. Yang satu cemerlang dan yang satu berjanggut. Seperti halnya dongeng si kancil, kebebasan jadi fabel. Dunia semakin sesak, orang semakin dituntut. Krasak krusuk hidup atau pelan-pelan mati.
Jadi iri dengan orang gila.
Jika dimisalkan berfikir adalah minum dan melakukan adalah makan, dan keduanya mematikan dalam tarafnya masing-masing, maka saya masih haus, tetapi saya hampir mati kelaparan. Namun saya tidak dapat makan, sebab saya tidak tahu dimana warungnya, dan tidak tahu harus bayar dengan mata uang apa, dan pakai bahasa apa.
Jadi iri dengan orang gila. Sebab di dunia ini, dia adalah Superman. Tidak perlu makan, ataupun minum, tapi tetap bisa tersenyum.
Memang, memang benar, berfikir pun kembali pada pertanyaan, kenapa harus lama berfikir, padahal bulan pun nanti jatuh, ada hal-hal yang tidak dapat diketahui sebelum melakukan, ada kesadaran yang tidak dapat diraih sebelum dintindak, ada rasa yang tidak dapat dimengerti sebelum diperbuat. Kita tidak tahu kenapa orang memperkosa orang lain sebelum kita memperkosa orang. Kita memperkosa diri sendiri dan merasa sakit, sakit sekali, sehingga kita bertanya kenapa ada orang memperkosa orang lain. Kita tidak mengerti dan kita memilih untuk tidak melakukan, hanya menghakimi dan bertanya dengan pembenaran diri.
Dialog ini terjadi berputar dalam siklus mati yang tanpa cela. Dialog ini nyata. Dialog ini berakhir pada pernyataan saya benar, dia tidak. Saya tidak perlu banyak berpikir untuk paham, dan dilain sisi, orang berkata, saya tidak perlu makan tahi untuk tahu seperti apa rasanya. Dua-duanya bertopeng, dua-duanya tidak mau tahu. Saya, anda, mereka. Polemik usus buntu. Yang satu semut dan yang satu kura-kura.
Pikiran ini selalu menjadi. Gelisah meradang. Pembenaran diri berjalan maju dan mundur, kiri dan kanan, selalu kembali ke tengah, dan diam tanpa bergerak, untung2 kalau digandeng arus, jadi kelihatan normal. Alasan demi alasan disambut dengan meriah, untuk menebalkan dinding pembenaran yang bobrok disana sini. Ingatan kolektif diumbar-umbar, demi kemuliaan diri. Tapi kan saya, tapi kan dia. Tapi, sebagai sebuah topeng. Yang satu cemerlang dan yang satu berjanggut. Seperti halnya dongeng si kancil, kebebasan jadi fabel. Dunia semakin sesak, orang semakin dituntut. Krasak krusuk hidup atau pelan-pelan mati.
Jadi iri dengan orang gila.
Jika dimisalkan berfikir adalah minum dan melakukan adalah makan, dan keduanya mematikan dalam tarafnya masing-masing, maka saya masih haus, tetapi saya hampir mati kelaparan. Namun saya tidak dapat makan, sebab saya tidak tahu dimana warungnya, dan tidak tahu harus bayar dengan mata uang apa, dan pakai bahasa apa.
Jadi iri dengan orang gila. Sebab di dunia ini, dia adalah Superman. Tidak perlu makan, ataupun minum, tapi tetap bisa tersenyum.
No comments:
Post a Comment