Karena menulis
adalah menghidupkan, karena menulis adalah mengabadikan, dan karena menulis
adalah belajar salah, maka gue kembali menulis. Entah sejak kapan gaya tulisan gue yang dulu melihat dunia dengan mata komedi
yang polos berubah jadi brainstormer bertenaga bajaj begini. Naif abis,
membenar-benarkan, dan romantis.
Seperti kata dosen favorit gue, “Persetanlah,
itu” , Mari kita liat seberapa jauh usia ngebawa gue. Gue cuma berdoa
agar gue ga salah baca buku dan berakhir jadi teroris di timur tengah.
Gue baru baca bahan kuliah yang
bakal didiskusiin rabu besok. Ketika seharusnya gue sekarang memperbaiki gambar
kerja perancangan, ngebuat poster lomba, dan ngisi logbook, gue malah mengabadikan
tulisan ini. Ini pelarian yang perlu. Lebih baik daripada tidur.
Intinya, baru seperempat baca esai,
gue mengasumsikan esai bertemakan “gagalnya manusia dalam membangun ruang
hunian” (tentu esainya dalam bahasa inggris, asu) tersebut akan habis membahas
elemen-elemen yang menggagalkan sistem hunian manusia. Oleh karena manusia
rakus, manusia gak pernah puas dan manusia menuntut kepuasan duniawi yang
semakin kompeten. Dan seterusnya.
Ada satu poin yang menurut gue
spekulatif disini, penulis terlalu bersifat skeptis. Dalam hemat gue, seseorang
yang berbicara dengan sangat yakin dengan gepita memiliki 2 kemungkinan, apa
yang ia yakini benar-benar tepat, atau benar-benar salah. (ini juga berlaku
untuk gue)
Gue berasumsi (karena gue ga kelar
baca esainya), bahwa beliau salah. Nanti gue edit kalo bacanya kelar.
Memang, manusia lagi mengarah pada
kehancuran dirinya sendiri. Meta cold war, globalisasi berbau konspirasi,
hedonisme, intervensi kultur, hirarki terkondisi, dan ditkonteks-kontekskan
pula ke arah arsitektur. Matilah.
Dan fakta sejarahnya, bahwa manusia
harus melalui pola yang sudah-sudah untuk menuju ke era baru. Pola
rusak-tobat-rusak-tobat. Reinassance setelah dark age, politik interasial
setelah apartheid, merdeka setelah dijajah dan seterusnya, dalam beragam skala.
Artinya, manusia harus mengalami kehancuran dulu sebelum menuju altar yang
lebih tinggi. Ia harus nabrak tembok dulu sebelum mendobrak tembok. Dalam kasus
ini, menurut teori pola ini, manusia harus kehabisan sumber daya alam dan
merusak dunia sepenuhnya sebelum bertobat dan kembali pada hakikatnya sebagai
mahluk dibawah alam.
Ehem, tapi, Tuhan luar biasa. Karena
Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang curang.
Karena jumlah orang berfikir di
dunia semakin banyak.
Dulu, orang yang berfikir di suatu
komunitas paling satu-dua orang. Coba nonton 7 samurai dan Yojimbo. Kepala desa
adalah penentu keputusan, outlaw adalah satu2nya orang yang berfikir diluar
kotak.
Dalam esai Art of Religion, maaf,
gue lupa penulisnya. Menyebutkan, bahwa sebenarnya dukun dan orang yang
kenabi-nabian bukan orang yang diwahyukan oleh Tuhan, melainkan orang2 yang
berfikir (btw tolong jangan berasumsi ini tulisan atheis, malah gara2 ini gue
jadi sholat). Mereka bisa memprediksi masa depan bukan karena dibisikin
malaikat, tapi karena mereka memahami seni cause and effect. Sebuah dasar
pendekatan scientific yang fundamental. Bahkan mereka bukan memprediksi masa
depan, tetapi melihat pola dari masa lalu, membandingkannya dengan konteks masa
kini dan melihat kemungkinan yang akan terjadi di masa depan dengan potensi
yang dimiliki masyarakat saat ini.
Visualisasi pendek.
Cause : manusia semakin kompetitif,
semakin memiliki resources, semakin punya ilmu.
Effect : sikut-sikutan, turun moral,
hirarki materialistik, kebusukan komunal.
Nah, dukun2 ini –orang2 berfikir,
semakin banyak jumlahnya di dunia. Artinya, jumlah orang2 yang memahami cause
and effect dan kesadaran pola sejarah semakin menjadi. Kalo lo baca tulisan ini
dan paham maksud gue (terlepas dari setuju ato enggak), lo calon dukun.
Lalu?
Maka beruntunglah! Hegemoni yang
mengatur orang2 yang malas berfikir, dibentuk oleh para pemikir yang sadar pola
(terlepas dari mereka bijaksana atau bijaksini). Artinya, produk komoditas yang beredar didalam
settingan hegemoni ini memiliki corak kesadaran tersebut. Maaf konteksnya
arsitektur, belum pinter : contohnya arsitektur kontemporer saat ini adalah
sustainable architecture, juga space optimalizing. Keduanya banyak berkaca dari
arsitektur oriental. Yang mana berhamba pada alam.
Nah, hal ini, terlepas dari ngerti
enggaknya para pengikut hegemoni tersebut terhadap esensi komoditas yang
disuapkan pada mereka (omg arsitektur hijau tuh keren bgt), mereka dihadapkan
pada produk hegemoni yang menuju pada kesadaran dan solusi dari masalah diawal
tulisan ini; gagalnya ruang hunian masyarakat.
Dari sisi lain, para pemikir yang
tidak tertarik menjadi petugas hegemoni menempatkan dirinya sebagai para
petarung ide yang unorthodox. Mereka yang kembali pada ide bahwa manusia
dibawah alam, Yusing, Mangunwijaya, Heidigger, dan sebagainya (maaf contohnya
umum, belom pinter).
Paham maksud gue disini?
Manusia curang karena kita sekarang
punya peluang untuk tidak mengikuti pola bertobat setelah kehancuran. Kita
punya peluang membuat jalan baru. Kita berprogress.
Cause : makin banyak orang pinter.
Effect : makin banyak orang males
pinter ngikutin orang pinter menuju penghindaran pola.
Udah ah, ngantuk. Maaf kalo
tulisannya nggak rapi dan ga sopan, sekedar untuk arsip pribadi kok.
No comments:
Post a Comment