Lonceng
bertingkah, sebagaimana mestinya,
Membangunkan
orang, tanpa terbangun
Kalau membangunkan untuk sarapan, kadang
gue merasa bahwa kakek lelah untuk bangun. Kadang nampak menyayangkan ia bangun.
Tapi semua terhapus ketika sudah berada di meja makan untuk sarapan bersama.
Rasa-rasanya, diuji dengan hafalan jumlah dan nama delapan anaknya merupakan
hiburan yang menjadi bahan bakar hidupnya.
Wah, keluarga saya besar ya.
Wisdom. Adalah tema tulisan kali
ini. Baru baca tulisan rujukan kampus tentang human life stage (pertanyaan :
kenapa nggak pake maslow, freud atau jung?), ada yang menarik dengan usia
senja. Gue berkesempatan untuk bertanya pada eyang gue, apa sih yang dirasakan
orang di usia senja?
Ngga ada passion, hanya kepasrahan
dan hidup yang stagnan, tetapi content. Hidup tidak menggebu dan menolong orang
tanpa mencari, tanpa niatan, seperti bernafas.
Wisdom, digambarkan dalam tulisan
tersebut merupakan antithesis dari integrity dan despair. Merupakan hal yang
diraih oleh manusia berusia senja. Integritas adalah akumulasi dari seluruh
pola hidup seseorang yang dilakukan secara berulang dalam rutinitas, sementara
despair atau kepasrahan adalah suatu sikap yang didapatkan melalui kesadaran
akan keberakhiran kehidupan yang nampak sebentar lagi.
Kakek yang kian pelupa karena
diabetes dan pengobatan yang menjaga kesehatannya, biasanya selalu bilang
begini setelah pembicaraan yang berulang-ulang (tentang bapak gue, tentang
keluarga, tentang Tan Malaka, 2-3 kali dalam interval 5 menitan, varian)
“sekarang dunia lagi damei ya”
Baca : damai.
Nah, itu artinya pembicaraan ditutup
dengan beliau kembali membaca koran, yang baru 15 menit lalu ia baca. Tentang
perang, kelaparan, dan kemiskinan. Bagi kakek, dunia sedang –dunianya- damai.
Eyang yang kelihatannya tempramen,
kuat dan dominan, selalu dapat menyentuh orang lain kalau-kalau mereka mau duduk
sebentar untuk mengobrol. Kontras. Berbicara 15 menit dengan eyang, gue dapat
memahami apa yang disebut wisdom. “aku” milik eyang berbeda dengan “aku” punya
orang muda, “aku” punya bokap, “aku” punya om dan tante gue.
“yaa
kalo gue sih bla,bla,bla”.
Berisik.
“aku” eyang, dan semua orang usia
senja adalah akumulasi dari ke-aku-annya dulu, sekarang dan nanti. Aku yang
tidak sotil, aku yang tidak lupa diri, aku yang tidak ego-sentris. Aku yang
meng-kamu-kan. Beliau tidak perlu bertanya “kalau kamu bagaimana?” untuk
membuat gue merasa ter-aku-kan, sebab, apa yang gue pernah alami adalah bagian
dari “aku” eyang, dalam konteks yang berbeda. Cukup memperhatikan, bukan hanya
mendengar, dan gue merasa terlibat.
Sementara kakek, lebih direct.
Menutup pembicaraan dengan memuji dunia, dunianya, memperlihatkan hal yang
sama. Ini bukan tentang saya, ini tentang hidup.
Ini wisdom. Kedua hal yang dapat
memperlihatkan sintesis atau aplikasi dari semua pembelajaran kehidupan yang
ditunjukkan oleh kakek dan eyang, adalah sebuah wisdom. Bentuk kebijaksanaan
yang memperlihatkan bahwa :
“hidup itu baik, walaupun nampak
buruk, sejujur-jujurnya bahwa hidup itu baik”
Orang tua nampak kolot, karena kita
hanya melihat integrity nya.
Orang tua nampak begitu membosankan,
karena kita hanya melihat despair nya.
Namun kalau kita bicara dengan
melepaskan kacamata kuda sejenak, dan mendengar kisah mereka yang dimulai
dengan kekolotan, lalu dibumbui dengan hal yang membosankan, lalu kita dapat
bertahan untuk tidak menguap bosan, kita dapat melihat kebijaksanaan dari semua
hal yang mereka lakukan. Ucapannya, gerak tubuhnya, ceritanya, matanya. “aku”
dari orang di usia senja adalah kamu dahulu, kamu sekarang, apa yang kamu ingin
lakukan, apa yang telah aku lakukan, apa yang semua orang pikirkan, pernah
impikan, takutkan, dukakan, bahagiakan, cintakan, dan semua sintesis dari
hal-hal duniawi.
Bersyukurlah mereka yang
menyempatkan diri untuk menemukan kebijaksanaan dari manusia berusia senja,
bagi mereka yang disentuh dengan ketulusan, bukan kebutuhan. Mereka yang
menemukan kedamaian, penyederhanaan falsafah hidup, dan berterima kasih pada
hidup.
No comments:
Post a Comment