Aku mati kutu. Disampingku menjelma rupa. Rupa keraguan.
Sublimasi dari ketakutan. Aku berupaya untuk melarikan diri dari rimba kenisbian.
Hanya untuk berujung diri pada lautan kealpaan. Kaki letih sekali rasanya,
seperti hendak meracuni pantai dengan darah. Aku ingin menghirup asap, lalu
menyalahkan dunia dengan mengkorbankan diri. Mengatasnamakan kemalangan.
Menganaktirikan keberanian. Aku ingin menjual mimpi semu pada bocah yang
bermain air comberan di pinggir jalan. Aku hendak membunuh asa untuk kali
kesekian. Betapa malang dia yang berusaha dan terpuruk hanya untuk menelan tawa
orang lain yang bertingkah atas sedikit jelma Tuhan yang dijentikkan di
ubun-ubunnya. Betapa hina ia yang menanggalkan kesadaran dan memilih
kepercayaan tentang menjadi mangsa dari nasib. Betapa, oh betapa malang ia yang
berlayar dalam nadi ketidaktahuan. Berputar dalam siklus tanpa jemu yang
merasuk lubang delapan penjuru untuk menggerogoti jiwa. Berupaya mencuri tempat
dalam sedikit utopia yang nampak menjanjikan namun begitu berkabut, berputar
dan bias.
Aku meninggal dalam takik duka yang merangsang. Aku bernafas
dalam kekosongan. Keringatku kering, memaksa untuk mengingat apa yang tengah
aku idam, aku lalu dan aku kini. Lalu tinggal mengeruk, meruangkan sedu yang
menapik panggilan kesenangan. Tanganku dingin, beku dan jemariku merobek udara
yang membungkus dengan pekat. Aku ingin bebas. Aku ingin bernafas. Aku ingin
menanggalkan kondisi tinggal. Aku ingin meng Aku kan.