Friday, December 5, 2014

Dongeng anak yang berteriak serigala


Saya suka menyambung-nyambungkan ide. Saya juga suka dongeng. Dahulu bapak dan ibu sering mendongeng tentang kancil, harimau, monyet dan kura-kura sebelum tidur. Saya sangat yakin, ceritanya adalah karangan 5 menit terkontekstual dari bapak dan ibu. Namun dongeng itu terlalu menuntut untuk dikenang. 

Salah satu ceritanya begini, harimau dan kura-kura adalah dua sahabat yang mengadakan lomba ketahanan fisik dengan bertahan dalam tungku api yang membara. Lalu dilakukan persiapan, harimau dan kura-kura membeli minyak di wicang (toko wanita tionghoa dekat rumah), membeli kayu di material, dan membeli korek di pak amin (toko sunda dekat rumah). Detail-detail semacam ini selalu menghidupkan cerita dan membuat saya merasa hidup didalamnya. Lantas kura-kura dan harimau memulai lomba hidup mati tersebut. Kura-kura masuk lebih dahulu, ternyata ia mampu bertahan dari kobaran api yang menjilat dengan cara berlindung dalam tempurungnya. menjelang besar saya sadar bahwa saya ditipu, jika kura-kura masuk tempurung dalam tungku api, ia akan tetap menjadi kura-kura renyah rendah kalori karena dimasak tanpa minyak. Pendek cerita kura-kura keluar dari tungku api dengan bugar dan berat badan yang turun karena mendapat sauna gratis. Giliran harimau yang masuk tungku api. Harimau yang malang mati terbakar setelah berteriak dengan mengenaskan karena tidak punya tempurung untuk pelindung lalapan api, ya diceritakan seperti itu oleh ibu saya. Lalu ketika tungku api dibuka, yang tersisa hanya tulang belulang harimau. Lalu kura-kura menggunakan tulang itu untuk membuat suling. Menjelang dewasa saya juga menyadari bahwa kura-kura ini memiliki gejala psikopat karena tega membunuh teman sepermainan untuk membuat suling dari sisa mayatnya. Cerita berlanjut ketika kura-kura bermain dengan suling berdarah, ia bertemu dengan monyet. Monyet ini adalah mahluk yang licik, ia meminjam suling berdarah tersebut. Kura-kura keberatan, mungkin karena suling itu adalah memento terakhir dari sohibnya yang mati dengan mengenaskan karena kebodohan mereka berdua. Monyet meyakinkan kura-kura untuk meminjamkannya sambil memegangi ekornya agar ia tidak lari. kura-kura setuju, ia menggengam ekor monyet dan menungguinya bermain. (tapi, kura-kura menggengam dengan apa? dia kan gak punya jari? Bahkan dari awal main suling pake apa? dia kan ga punya bibir?)

Saturday, November 29, 2014

Pertemuan sebiji sawit


Mari bicara tentang intimasi.

Intimasi berbeda dengan keakraban. Keakraban adalah konon yang dihasilkan dari hubungan yang dijalani terus menerus dalam garis positif. Keakraban instan yang biasa dijabarkan dua orang yang biasa bertemu adalah ilusi yang diciptakan rasa karena kosmik mengizinkan kedua bicara panjang lebar tentang hal yang serupa dan saling berkaitan. 

Intimasi adalah hal yang sakral. Intimasi tercipta bukan karena kedua orang yang bicara dalam jarak selebar lengan punya kesamaan antara yang lekat. Intimasi adalah ruang kosong yang diisi oleh rasa penerimaan yang tulus.Intimasi adalah agama sepanjang 5 sampai seratus menit, ketika kedua orang yang berada didalamnya mengimani bahwa keduanya berada dalam gelombang yang sama walau dengan penanda yang berbeda.

Keakraban bisa ditemukan dalam pembicaraan dua orang pecinta film, antara pecandu bola, dan antara dua tentara korban perang.

Intimasi bisa ditemukan dalam pembicaraan antara pelacur dengan pendeta, orang gila dengan filsuf, dan seorang tua bangka dengan anak ingusan.

Sialnya kita berada dalam keakraban buatan yang diciptakan masing-masing kita demi meneruskan obrolan menuju kesetujuan yang kita harapkan. Keakraban adalah buah yang segar dari hasil berbasa-basi. Kita melulu bicara tentang kita, dan berharap yang didepan meneruskan ke-kita-an dalam bahasanya, atau sebaliknya. 

Lantas kita terikat, lalu memaksakan keakraban esok yang sifat pastinya hanya melebur dengan usia.

Pertemuan sebiji sawit adalah suatu perjumpaan sesaat dengan peluang untuk tidak kembali bertemu lagi. Dua orang yang berbeda, bicara, tenggelam, lalu saling melupakan. Ia adalah kedipan sejenak dalam arus waktu. Seperti gemercik gelombang di aliran sungai yang terjadi sesaat lalu tandas. Seorang yang bebas bicara dengan ia yang terpenjara. Dan seorang yang hidup dalam rasa aman bicara dengan orang yang tidak pernah puas. 

Saya tidak mengenal (dan tidak perlu) anda, tetapi saya memahami maksud anda, saya bersyukur kita bicara, dan besok saya mungkin melupakan anda. Saya bersyukur karena kita setuju. Dan kesetujuan ini berakhir di hari ini, yang hanya sekali, ketika kita bertemu.

Intimasi dalam pertemuan sebiji sawit berada di luar lingkupan konsekuensi. Kita bertemu, kita bicara, kita menerima, dan kita melupakan. Tanda, gender, interest, hanya duri-duri yang tidak mempengaruhi intimasi. Saya dan anda berbeda, tapi kita paham bahwa kita sama.

Memang, semua dimulai dengan berbasa-basi. Lantas kita paham bahwa hal itu tidaklah perlu, Semua dimulai dengan cuaca yang cerah, atau skor bola tadi malam. Lalu kita bicara tentang hari ini, hari kemarin, dan maunya esok. Lalu kita sadar bahwa kita sama-sama sedang berlari, atau kita sama-sama tenggelam, atau kita sama-sama dilepas angin. Saya pun diam dan tersenyum, dan berdoa dalam hati untukmu, dan sebaliknya. Lalu kita melanjutkan bicara, atau tidak, karena itu tidak terlalu penting.

Sialnya kita berada dalam realita, dimana tidak pernah ada lingkaran yang ideal dan hanya bentuk yang selalu mendekati lingkaran. Tidak pernah ada dialog sempurna, dan tidak ada intimasi yang tak bercela. Selalu kita diputus oleh ucapan, "namun". Lalu kembali pada kedipan yang nyaris memudar, sebelum intimasi betul-betul lenyap dari pertemuan sebiji sawit.

Kita berpuas diri, dan merayakan intimasi dalam tawa dan kesenjangan sore sebelum saya beranjak menuju pemberhentian berikutnya, dan anda berputar dalam stagnasi yang sudah jelas esoknya. Namun kita merasa beruntung, sebab kita bicara, dan kita pernah tenggelam bersama. 

Saya harap, kelak kita dapat berjumpa dalam intimasi yang boleh dikata nyaris sempurna, dan menikmati lupa untuk perjumpaan yang lebih akrab, (bila).


Saturday, November 15, 2014

Akhirnya Ditulis: Garis Besar Perjalanan Gowes Lintas Jawa


Pembuka
Mohon maaf untuk para handai taulan. Terutama Firli yang sudah menuntut jauh-jauh hari. Sudah lewat 3 bulan sejak berakhirnya perjalanan gowes lintas jawa saya. Sudah banyak hal yang saya lewati di depok, banyak juga ulahnya, dan banyak sesalnya. Ada senangnya, seperti merasa menggariskan nyawa diatas tangan sendiri, di lain hari, rasanya seperti ditiban karma hingga mau pecah kepala. 

Pinginnya membuat buku. Iya segitu pedenya saya, gara-gara bibi saya penulis. Padahal saya dulu mengirim naskah kolom puisi di majalah Bobo saja ditolak terus karena mencantumkan kata "pantat". Sebenarnya ceritanya sudah ditulis di laptop hingga ke detail harian perjalanan. Namun saya masih bingung dengan tema pembungkus ceritanya. Mau dibuat stensil, saya sulit membayangkan adegan senggama diatas sepeda, toh senggama dengan siapa, jok saja menolak. Mau dibuat romantis, selama perjalanan kemarin saya hanya bertemu batang, batang, dan batang. Sementara wanita yang ditemui kemarin terlampau macho untuk diromantis-romantiskan. Mau friendship, gowesnya sendirian. Yah akhirnya arsip perjalanan tersebut mulai mendebu. Menggantung bagai ingus yang tidak ditarik ataupun dijatuhkan. Untuk menjaga agar perjalanan ini tetap hidup dan menyalakan keinginan membukukan kembali saya akan coba membagi garis besar perjalanan kemarin, semoga dapat membantu bagi teman-teman yang hendak menunaikan ibadah gowes lintas jawa. 

Garis besar
Perjalanan gowes lintas jawa kemarin menghabiskan kurang lebih 22 hari perjalanan. 

Nah, bodohnya saya baru membuat ini sekarang, bukan saat hendak melakukan perjalanan. 



 Rute Tempuh Depok-semarang

Thursday, November 13, 2014

Dogtooth: Merayakan parodi diktatorial

Dogtooth (2009) 
"Kynodontas" (original title)

Ratings: 7.2/10 from 30,905 users
Director: Yorgos Lanthimos
Writers: Efthymis Filippou, Yorgos Lanthimos
Stars: Christos Stergioglou, Michele Valley, Angeliki Papoulia



Konon, suatu ketika Yorgos kongkow dengan kawan-kawannya membicarakan kemiripan institusi dan keluarga. Kalau dipikir-pikir dan dibenar-benarkan, keduanya punya kesamaan: ada sistem, ada hirarki, ada teritori dan ada pembatasan. Yorgos bereksplorasi lebih jauh tentang apa yang akan terjadi jika seorang kepala keluarga memasang standar ekstrim untuk "melindungi" keluarganya. Dari pemikiran ini lahirlah Dogtooth. 

Kesan pertama yang saya dapatkan ketika menyaksikan dogtooh adalah DISTURBINGLY EPIC.

Tuesday, November 11, 2014

Mindblowed!



Tolong, orang ini memperkosa otak saya

Shane Carruth adalah orang yang bertanggungjawab untuk lahirnya film Primer dan Upstream Colour. Kedua film ini mempunyai kesamaan: penontonnya bakal dibuat mengerutkan jidat. Menonton film peranakan Carruth, terutama primer perlu 3 kali penyaringan. Jadi jika ada temen anda yang habis nonton primer bilang: oh, gue ngerti ceritanya. ITU DUSTA.


As always. SPOILER film pasti senggol bocor di blog ini.

Primer (2004)

Ratings: 7.0/10 from 53,749 users (imdb)
Director: Shane Carruth
Writer: Shane Carruth
Stars: Shane Carruth, David Sullivan, Casey Gooden 



Primer bercerita tentang mesin waktu yang tidak sengaja hadir dari keinginan para inventor wannabe di film ini untuk membuat sebuah mesin yang memblokir informasi tentang gravitasi pada objek yang di input kedalamnya, dan menurut film ini, ternyata mesinnya juga menahan informasi tentang waktu, sehingga dapat menyimpan waktu. Mesin waktu dalam film primer bekerja secara parabolik, yakni bersifat bolak-balik dari titik A (lampau) ke B (kini). Jika objek didalamnya cukup pandai untuk keluar pada titik A kembali, maka objek itu akan mengalami time travel satu arah ke waktu sejak mesin dinyalakan. Sepintas cara kerjanya mirip dengan jam penyimpan waktu milik doraemon, tetapi diceritakan dengan cara yang lebih intelek.

Fujiko F. Fujio, man ahead of time

Monday, November 3, 2014

Filem Robot dan kemana-mana

  

                Bukan mau ngobrolin Gaban *kecewa, tutup browser*.

Film robot/machine biasanya bercerita tentang hubungan antara mesin (sebagai outsider) dengan manusia. Biasanya manusia jadi matyr dari ciptaannya sendiri, kemudian pecah perang antara dua ras tersebut. Menurut saya ini menarik, sebab sebagaimana Hannah Arend bilang dalam human condition bahwa nature manusia adalah mahluk yang terkondisi oleh alam. Artinya jika muncul suatu gejala diluar kondisi alami –seperti kelahiran artificial intellegence dan free will nya- akan muncul suatu naluri resistensi dari ras manusia berupa notasi threat. Sekarang sih belum keliatan, soalnya mesin logika yang cukup pandai baru siri dan nggak punya keinginan sendiri. Jadi belum nongol ancaman publiknya.

Jika film dapat menjadi pendekatan model pola pikir masyarakat saat itu, kita dapat melakukan kegiatan berkira-kira tentang bagaimana masyarakat memandang suatu ide dalam tema film dari waktu ke waktu. Nah, dalam hemat saya sebagai penonton liar (menonton apapun yang bisa dibajak), saya melihat suatu perubahan paradigma dalam kasus film robot. Berikut klasifikasinya:

Machine Uprising
Era kelahiran kesadaran pada mesin. Karena kesadaran “Aku”, timbulah kemauan atau free will, yang kemudian dianggap sebagai ancaman tumbuhnya ras yang lebih superior dari manusia. Logika fungsional dari mesin tentang manusia adalah sumber bikin salah yang berulang (perang, teror, perusak, dsb), artinya manusia harus dikontrol atau ditiadakan demi menjaga kestabilan dunia.

- 2001 space odyssey (1975)
- matrix (1999)

Tidak hanya di film robot, menjelang atau pasca milenium banyak film yang menjual tema perbedaan dan perlawanan ras manusia. Biasanya oknum lain yang berusaha mengontrol itu alien atau zombie. Namun saya lebih suka robot yang dibuat manusia, ironis soalnya.


Machine to human
Tenggat antara the matrix dan judul dibawah tidak lama, sehingga dapat dikatakan bahwa kehadiran mesin berfikir memiliki variasi tema motif. Disini, daripada menjajah, kesadaran mesin biasanya menuju ke arah yang lebih sederhana, yaitu untuk diakui atau hidup berdampingan dengan manusia. Dalam ekstrimnya, mesin ingin untuk bisa berubah menjadi manusia secara sense dan fisik. Pingin bisa cepirit.

Thursday, October 9, 2014

120 detik


Baru membaca tulisan tentang near-death experience. Rasa-rasanya begitu banyak teori dan pengalaman yang berbeda dari setiap orang menghasilkan satu kesimpulan; bahwa sekarat pun kembali pada relativitas persepsi dan kepercayaan. Jika demikian saya mencoba meracap tentang kenyarismatian dalam versi saya di cerpen ini.


Mesin raksasa beroda empat itu menghujam seperti banteng. Sandal gunung berkonon anti lepas itu terlontar seperti balerina di udara, lantas tubuhnya terhempas ke aspal. Derak tulang meramaikan terompet mobil yang bersahutan. Seorang pedagang gorengan menunjuk tubuh yang masih berguling disaat seorang ibu berjilbab menenteng kantung plastik melatah dan berteriak "mati, mati". Seorang bocah berhenti melarikan sepeda dan bungkam seraya mencocokan peristiwa yang membekukan siang sejenak dengan apa yang disaksikannya di televisi semalam. Seorang supir angkot mengumpat pelan berasumsi bahwa jatah nasinya akan berkurang karena kemacetan yang ditimbulkan pemuda bersepeda yang terlalu acuh pada jalan dan ia nilai tidak pada tempatnya. Ia berujar kepada karyawati yang duduk di sebelahnya -yang sedari tadi ia coba untuk goda, bahwa kondisi jalan semakin berbahaya sejak pembangunan yang tidak jelas di sana sini, mempersempit jalan dan mengecilkan kesabaran para pengemudi, beruntung ia selalu dilindungi yang maha kuasa dari segala ketidaksabaran. Ia bangga menjadi algojo yang maha pengampun. Siang kembali bergerak lalu semua orang pulang dan melupakan darah dan derak tulang itu, celaka yang tidak signifikan bagi mereka dan mereka menggunakannya sebagai obrolan sore yang ditemani gorengan panas dan teh.

3 hari ia terbujur dirumah sakit. kesadarannya hilang bagi orang disekelilingnya. Sedikit yang mereka tahu pemuda masih dapat mendengar keparauan dalam suara serta isak tangis tertahan dan mencium asap rokok yang ia idam dari luar kamar, pasti paman nakalnya, dan ia merindu beliau. kesadarannya mengabur hanya saat malam ketika ayah yang menungguinya bangun tertidur, ketika suara yang timbul-hilang hanya berasal dari pendingin ruangan dan bau yang paling kentara hanya obat-obatan, bekas darah dan air kencingnya sendiri. Pikirannya melompat seperti domba kehilangan gembala antara mimpi dan sadar. Jika siang, ia merasa lelah dan bosan dengan gatal yang tidak dapat digaruk, serta ucap sepatah-patah yang ia dengar dan ia sangsikan kebenarannya serta hal-hal yang diceritakan para pembesuk yang sebenarnya tak ingin ia bagi pada seisi kamar karena ia juga bosan dengan gelap sehingga tidak mampu untuk menebak berapa orang yang ada di kamar itu dan memastikan orang yang tidak ingin ia bagi rahasianya ada disana, seperti ayahnya, ibunya dan adiknya. Ia lelah dan memutuskan untuk berpulang setiap siang. Toh dirinya juga sudah ditelanjangi sampai ketulang-tulang. Baik oleh aspal jalan atau oleh mulut-mulut yang berusaha mengisi kekosongan antara. Luar biasa menurutnya bahwa apa yang ia bagikan secuil-secuil selama 10 tahun kepada banyak orang kini dilengkapi bersama dalam 3 hari, seakan ia sudah tiada dan tidak dapat mendengar walaupun apa yang mereka katakan selalu diekori dengan kalimat pemanis. Bahkan ia tidak dapat mengenali sosok yang mereka ceritakan karena begitu banyak gula yang diaduk kedalam kisah. Ia semakin lelah dan memutuskan untuk berpulang siang itu.

Sunday, October 5, 2014

Senja Punya Malam


Saya senang bersepeda. Apalagi ketika malam, sebab sepi sendu. Namun saya segan pada gulita, lubang jalan jadi tak kasat mata, tiba-tiba menarik mengundang kaget. Juga maut. Lantas lampu jalan jadi sahabat, semakin dilihat, semakin saya merasa dekat. Ini sebait puisi untuk lampu jalan, saya jadi mencinta. Mungkin kalimat terakhir membuat kalian membayangkan adegan senggama saya dengan lampu jalan, hingga basah dan asin. Yah, bukan sih. Dosa tahu. jinah.


Lampu jalan menerangi ibu kota
Ia sang wanita pencemburu
yang iri pada senja abadi
dan semua pemujanya
mencuri sebiji sawi tinta emas sang senja
lantas mengganda memanjang di jalan
kadang aku melihat ia bak mata yang lapar
kadang merentas rintik tercecer nan damai
dan kadang merupa air mata

Ia yang harus puas pada stagnasinya
menadi jalan, diacuh para pelalang yang lelah
berupaya menghias malam, tertampik hujan
lantas mati di pagi hari, tanpa esa ketenggelaman milik sore
meredup, mendingin, membiru, lalu terbunuh
padam terlupa, tiada pemuja, lagi mencoba 
menyambung senja, berusaha menjadi kasih bagi malam

wahai wanita, yakini
aku menyanjungmu
jika kelak nyawaku padam,
aku tak sudi kekononan lorong putih mengantar
aku pinta pada-Nya, engkau, dan pendar kuningmu
dalam damai dan kekal menjagaku dari gulita


Lampu jalan selalu identik dengan kehoror-hororan. Sosok misterius dibawah lampu. Sosok berjubah dipanjangkan bayangnya oleh lampu jalan. Lampu jalan yang tiba-tiba mati meredup. Sepertinya kita tidak adil, seperti domba stereotip yang percaya semua negro leluhurnya pemanen kapas, dan kalo melihat pohon kapas, bawaannya ingin memetik. Berusaha adil, boleh dong kita sekali waktu menatap lampu jalan di malam sunyi, dan berterima kasih.


Saturday, October 4, 2014

Menulis (kembali)


Writing is re-writing 

Kalimat ini punya nilai kebenaran. Namun, untuk menulis adalah untuk kembali meniatkan. Tindakan menulis selalu dimulai dengan keinginan mengeksistensikan sesuatu, menghidupkan ingatan, membekukan kejadian, mengenalkan citra diri, menyombongkan cinta, membagi haru (lihat, betapa senang saya menyebutkan perihal eksistensi).

Intinya adalah kegiatan menulis yang dimulai dari diri sendiri -bahkan ketika keinginannya  untuk diakui orang, sama besar nyala semangat tulisannya dengan tulisan yang dimaksudkan untuk menyebar cinta pada dunia. Tulisan yang baik adalah tulisan yang tulus. Tulisan yang ingin untuk mengeksistensikan sesuatu. 

Tulisan milik wanita setengah matang yang berkoar tentang rasa dengan tulisan almarhum Albert Camus punya similaritas; keduanya berteriak; saya eksis. saya ingin bercerita. Jadi bohong jika ada tulisan yang berusaha meniadakan dirinya sendiri. Begitupun dengan wasiat Curt Cobain yang isinya mondar-mandir self pity, pengakuan serta penolakan. Terlepas dari golongannya, tulisan adalah mencatat dan memberitakan. Yang pertama-tama memberitakan keberadaan dirinya sendiri.  

Jadi ketika seseorang mulai meninggalkan tulisan, bukan berarti ia kehilangan rasa pada jarinya. Namun perihal ia 


-sebentar, lagunya enak. Nostalgik sekali. 


Namun perihal ia mulai kehilangan ketulusan akan niatnya. Bukannya kehabisan cerita, tapi kebingungan mencari-cari alasan untuk memulai tulisan. Which is Alasan selalu ada disana; Tulisan yang non-sense sekalipun dengan sendirinya akan menjadi. Jika setiap penulis adalah ibu dari karyanya, dan Gibran pernah bilang bahwa Ibu adalah busur yang bertugas melepas anak sebagaimana panah yang melesat, maka kita tidak perlu khawatir karya kita akan dibusuk-busukkan oleh orang lain, sebab ketika pena diangkat, suatu karya menjelma. Logika ini memang berujung pada pertanyaan, apaalagi dalam tingkat yang praktikal. 

Yah utamanya saya sih ingin menyampaikan, bahwa kegiatan menulis memang butuh pertanggungjawaban, tetapi untuk menyatakan bahwa sebuah karya mendikte seorang penulis atau cara berfikirnya adalah porsulat yang prematur (apalagi se-sepele masalah pungtualitas kata "kontrol" yang kehilangan r). Sebab, seperti yang saya imani, semua penulis berkembang, bahkan secara prinsipil, begitu pula dengan tulisannya. Jadi jika ada penulis yang berhenti menulis, wajar saja jika karya terakhirnya adalah penghakiman definitif: Ia. Apalagi penulis yang belum punya karya. Saya ingin mencerca orang yang berhenti menulis, sebagaimana mencerca diri saya sendiri, sebab itulah satu cara saya memotivasi orang lain, sebagaimana memotivasi diri sendiri, di samping puk-puk hangat pada yang muhrim. Penulis yang berhenti artinya telah menghambakan pandangannya pada satu jalan saja, alih-alih melihat dengan banyak cara. Penulis yang berhenti adalah orang yang sudah kehilangan sense of detail, seakan semua orang mengenakan topi kerikil, nothing really matter. Penulis yang berhenti adalah orang yang memilih untuk mati, sebab tidak ada kesenangan duniawi yang bisa ia buktikan dari tulisannya. Jika tepisannya adalah tidak merasa perlu membukti, untuk apa pernah menulis?

Yah utamanya saya sih ingin menyampaikan, bahwa saya kembali mencoba untuk menulis setelah lelah dengan draft dan siklus writing and re-writing yang menghasilkan tulisan setara dengan jumlah oscar leonardo de caprio (nol). Sebab mendandani tulisan hingga dirasa cukup layak untuk ditayangkan kepada publik adalah jalan yang sangat boring. Padahal saya ingat, masa-masa saya senang menulis hingga cukup terkenal di SMA karena mempopulerkan kata menggelinjang, adalah masa dimana saya tidak pernah mereview tulisan. 

Mengapa pakai saya? Mencoba kacamata baru. Nanti jika matanya sakit ganti lagi.
Mengapa ganti model blog? Idem.

Mengakhiri tulisan yang penuh dengan kesesatan logika akibat kekurangan kopi ini, saya utamanya ingin menyampaikan, rugi sih berhenti menulis. Rugi sih nulis sekali-sekali. Namun lebih rugi lagi sih nulis dibagus-bagusin sementara tulisannya sendiri nggak minta banyak. Padahal tulisannya sendiri sudah berteriak minta dilepas.

Wednesday, September 17, 2014

Prelude : gowes solo keliling jawa

9-22 agustus lalu gue melakukan perjalanan keliling jawa (jakarta-bandung-cilacap-jogja-solo-malang-surabaya-semarang) dengan sepeda. Berbekal uang 500ribu dan gear seadanya gue ngelakuin perjalanan nekat yang ngorbanin banyak hal, terutama tanggung jawab gue di organisasi kampus.

Masih sulit untuk merumuskan : ngapain sih gue gowes keliling jawa?

Masih terbata-bata jika ada yang bertanya demikian. gue bisa saja menyerahkan 1001 alasan cadangan kepada mereka yang nanya. Dan nggak kesemuanya bener-bener sahih. Gue memulai perjalanan dengan motif yang jelas: Gue pengen tahu apa yang bisa diberikan jalanan kepada gue.

Dari kecil, gue ingat bener gue anak cengeng yang doyan kocar kacir dan kelayaban. Waktu umur gue 6 tahun, gw pernah jalan-jalan sendiri menuju rumah temen gue yang jaraknya sekitar 700m dari rumah, waktu itu rasanya jauh banget, dan gue sangat seneng. Gue hampir ketabrak motor, dan waktu sampe sana, nggak ada orang dirumah. Jadi gue pulang gitu aja. Sampai rumah gue disambut bokap yang ngamuk dan nyabet pantat gue dengan galak. Gue nangis berat dengan ingus meler sambil digendong nyokap, waktu itu gue nggak ngerti, kenapa nggak boleh? Toh gue masih tau gue pergi kemana dan harus ambil jalan kemana untuk pulang. Dan toh gue pulang.

Menjelang akhir SD gw dibeliin sepeda, dan setiap sore gue selalu memastikan gue menempuh jarak yang lebih jauh dari hari sebelumnya dengan sepeda tersebut. Hingga suatu sore gue balik jam stengah 7 malam dan kena marah bokap lagi. Sejak hari itu gue hanya boleh bersepeda hingga jam 5 sore.

Waktu jaman gue nganggur sebelum kuliah, 3 tahun silam, gue backpacking ke banten sendirian. Gue nginep di kampung orang ketika harusnya hari itu gue pulang jakarta. Hp gue mati dan keesokan harinya gue pulang disambut bokap yang diam karena marah. Kata nyokap, bokap gue hampir ngelapor polisi kalo gue nggak pulang hari itu.

Gue nolak dibilang bandel. Gue kelamaan nurut dari kecil. Gue cuma pengen tau ada apa diluar sana. Selama masih tau jalan pulang, gue akan dengan senang hati menebas jarak.

Ketika akhir perjalanan tiba dan gue sampai dengan selamat dirumah setelah menempuh 1200km, bokap menyambut gue, kali ini dengan senyum dan menjabat tangan. Kemudian gue mampir ke tempat om gue yang mewariskan sepeda yang gue pake untuk perjalanan ini. Kita ngobrol panjang lebar.

Terjawab sudah mengapa banyak orang mengoposisi apa yang gue lakukan. Bukan semata-mata karena hal ini nggak praksis di kalangan masyrakat, dirasa buang-buang duit ataupun membahayakan. Hanya saja, ketika gue di jalan, yang merasa gue hidup hanya gue. Orang lain nggak tau apakah gue baik-baik saja atau enggak. Intinya; orang yang sayang kepada kita, adalah orang yang mencari. Ini nggak absolut, tapi paling mendekati. Bukan semata-mata ini bikin orang kuatir gue mati. Tapi kuatir gue lupa pulang.

Sejauh itu dan sesederhana itu.

Konyolnya, gue punya motivasi untuk merekam perjalanan dengan mencari cerita dari beragam orang. Gue bilang, ini bukan tentang gue, ini tentang orang-orang di jalan. Gue mau belajar.
Tololnya, gue malah melupakan tentang orang-orang di rumah. Semakin jauh gue menggowes, semakin pudar bayangan tentang orang-orang dibelakang. cuma gue dan orang baru, lama-lama jadi cuma gue. Lantas gue tersesat.

Pada akhirnya, dari beberapa catatan yang diberikan jalanan, ia menyiratkan suatu tulisan dengan tinta merah; berpulanglah, karena itu tempatmu berasal. Bicaralah, karena nafas pertamamu kau hembus disana. Ingatlah, karena mereka mengingatmu.

Gue pergi mengelilingi jawa untuk sadar bahwa gue harus berpulang.

Friday, April 25, 2014

Arsip sendiri dua

Aku mati kutu. Disampingku menjelma rupa. Rupa keraguan. Sublimasi dari ketakutan. Aku berupaya untuk melarikan diri dari rimba kenisbian. Hanya untuk berujung diri pada lautan kealpaan. Kaki letih sekali rasanya, seperti hendak meracuni pantai dengan darah. Aku ingin menghirup asap, lalu menyalahkan dunia dengan mengkorbankan diri. Mengatasnamakan kemalangan. Menganaktirikan keberanian. Aku ingin menjual mimpi semu pada bocah yang bermain air comberan di pinggir jalan. Aku hendak membunuh asa untuk kali kesekian. Betapa malang dia yang berusaha dan terpuruk hanya untuk menelan tawa orang lain yang bertingkah atas sedikit jelma Tuhan yang dijentikkan di ubun-ubunnya. Betapa hina ia yang menanggalkan kesadaran dan memilih kepercayaan tentang menjadi mangsa dari nasib. Betapa, oh betapa malang ia yang berlayar dalam nadi ketidaktahuan. Berputar dalam siklus tanpa jemu yang merasuk lubang delapan penjuru untuk menggerogoti jiwa. Berupaya mencuri tempat dalam sedikit utopia yang nampak menjanjikan namun begitu berkabut, berputar dan bias.
 Aku meninggal dalam takik duka yang merangsang. Aku bernafas dalam kekosongan. Keringatku kering, memaksa untuk mengingat apa yang tengah aku idam, aku lalu dan aku kini. Lalu tinggal mengeruk, meruangkan sedu yang menapik panggilan kesenangan. Tanganku dingin, beku dan jemariku merobek udara yang membungkus dengan pekat. Aku ingin bebas. Aku ingin bernafas. Aku ingin menanggalkan kondisi tinggal. Aku ingin meng Aku kan. 

Monday, March 31, 2014

Dilema





rupanya pengunjung blog ini memang orang2 teresat

Pattern


"hidup itu nggak mudah, orang tobat, lalu melakukan lagi, tobat lagi, lalu melakukan lagi" -Nobita tua abis sober dari mabok, ketika nobita pergi ke masa depan.

Mana yang salah, terjebak dalam pola atau menyadari keberadaan pola dan membiarkan diri berenang didalam sana? Gue mengalami keduanya.

Pola atau pattern adalah urutan yang keliatannya random tapi bisa dibaca kelanjutannya. Setiap orang punya pola dalam tingkah lakunya. Orang yang seperti ini disebut creature of habit. Jangan salahkan bunda mengandung kalo gue pake frase orang-yang-seperti-ini dan keliatan menyiratkan konotasi negatif, nggak selalu kok. Orang sukses juga berhabit. Habit membentuk sisi unik dari individu, faktanya, manusia dan setiap manusia adalah Creature of habit, jadi kalimat diatas sifatnya retorikal, paradoks, ironi. Apapun.


Sunday, March 23, 2014

Wisdom

Lonceng bertingkah, sebagaimana mestinya,
Membangunkan orang, tanpa terbangun

Kalau membangunkan untuk sarapan, kadang gue merasa bahwa kakek lelah untuk bangun. Kadang nampak menyayangkan ia bangun. Tapi semua terhapus ketika sudah berada di meja makan untuk sarapan bersama. Rasa-rasanya, diuji dengan hafalan jumlah dan nama delapan anaknya merupakan hiburan yang menjadi bahan bakar hidupnya.

Wah, keluarga saya besar ya.

Wisdom. Adalah tema tulisan kali ini. Baru baca tulisan rujukan kampus tentang human life stage (pertanyaan : kenapa nggak pake maslow, freud atau jung?), ada yang menarik dengan usia senja. Gue berkesempatan untuk bertanya pada eyang gue, apa sih yang dirasakan orang di usia senja?

Tuesday, March 18, 2014

arsip sendiri satu

Karena menulis adalah menghidupkan, karena menulis adalah mengabadikan, dan karena menulis adalah belajar salah, maka gue kembali menulis. Entah sejak kapan gaya tulisan gue yang dulu melihat dunia dengan mata komedi yang polos berubah jadi brainstormer bertenaga bajaj begini. Naif abis, membenar-benarkan, dan romantis.

Seperti kata dosen favorit gue, “Persetanlah, itu” , Mari kita liat seberapa jauh usia ngebawa gue. Gue cuma berdoa agar gue ga salah baca buku dan berakhir jadi teroris di timur tengah.

Gue baru baca bahan kuliah yang bakal didiskusiin rabu besok. Ketika seharusnya gue sekarang memperbaiki gambar kerja perancangan, ngebuat poster lomba, dan ngisi logbook, gue malah mengabadikan tulisan ini. Ini pelarian yang perlu. Lebih baik daripada tidur.

Sunday, March 2, 2014

Jejak

Berbicara tentang orang tidak akan ada habisnya. Berbicara tentang diri sendiri apalagi, sampai ujung terompet sangsakala berbunyi pun ga bakal kelar. Mari kita ngobrol tentang jejak kaki. Tentang ocehan perjalanan yang pendek. Sebab waktu gue tinggal kurang setengah jam lagi sebelum paket internet habis. Jadi, mari jari, menari.

Ada seorang pejalan kaki. Kakinya begitu tebal mengkerak. Ia menempuh bumi sejak satu tahun terhitung ia dilahirkan. Sejak itu ia tidak pernah berhenti berjalan. Kata orang jejak kakinya dapat terlihat dari jarak tak kasat mata karena begitu dalam tiap ia berpijak. Kata orang aroma dari jejaknya sering tertinggal. Aroma rumput dari beragam lembah yang telah ia lalui, aroma rawa dari hutan yang ia lewati dan aroma debu dari padang pasir yang terdengar seperti dalam dongeng, namun ada hanya karena terlupa. Kata orang ukurannya besar, lebih dari kebanyakan kaki orang normal. Jejaknya memiliki kedalaman yang berbeda dari kebanyakan kaki orang, mengguratkan cerita yang angin tak berani hapus.

Friday, February 28, 2014

Arsip sendiri nol

Gue seringkali tidak habis pikir mengapa banyak orang tidak berhenti sejenak dari apa yang dia lakukan untuk bertanya 'kenapa saya melakukan hal ini', tidak, tidak banyak orang yang mengapresiasi kesadaran tersebut. Azas berkelakuan karena senang sudah membatin dan membatu. Ini passion saya dan tidak perlu mengapa untuk memperjelas cinta, karena memang abstraksi hanya dapat dirasa secara subjektif dan bukan untuk diperjelas dengan untai kata yang rancu.

Memang, memang benar, berfikir pun kembali pada pertanyaan, kenapa harus lama berfikir, padahal bulan pun nanti jatuh, ada hal-hal yang tidak dapat diketahui sebelum melakukan, ada kesadaran yang tidak dapat diraih sebelum dintindak, ada rasa yang tidak dapat dimengerti sebelum diperbuat. Kita tidak tahu kenapa orang memperkosa orang lain sebelum kita memperkosa orang. Kita memperkosa diri sendiri dan merasa sakit, sakit sekali, sehingga kita bertanya kenapa ada orang memperkosa orang lain. Kita tidak mengerti dan kita memilih untuk tidak melakukan, hanya menghakimi dan bertanya dengan pembenaran diri.

Dialog ini terjadi berputar dalam siklus mati yang tanpa cela. Dialog ini nyata. Dialog ini berakhir pada pernyataan saya benar, dia tidak. Saya tidak perlu banyak berpikir untuk paham, dan dilain sisi, orang berkata, saya tidak perlu makan tahi untuk tahu seperti apa rasanya. Dua-duanya bertopeng, dua-duanya tidak mau tahu. Saya, anda, mereka. Polemik usus buntu. Yang satu semut dan yang satu kura-kura.

Pikiran ini selalu menjadi. Gelisah meradang. Pembenaran diri berjalan maju dan mundur, kiri dan kanan, selalu kembali ke tengah, dan diam tanpa bergerak, untung2 kalau digandeng arus, jadi kelihatan normal. Alasan demi alasan disambut dengan meriah, untuk menebalkan dinding pembenaran yang bobrok disana sini. Ingatan kolektif diumbar-umbar, demi kemuliaan diri. Tapi kan saya, tapi kan dia. Tapi, sebagai sebuah topeng. Yang satu cemerlang dan yang satu berjanggut. Seperti halnya dongeng si kancil, kebebasan jadi fabel. Dunia semakin sesak, orang semakin dituntut. Krasak krusuk hidup atau pelan-pelan mati.

Jadi iri dengan orang gila.

Jika dimisalkan berfikir adalah minum dan melakukan adalah makan, dan keduanya mematikan dalam tarafnya masing-masing, maka saya masih haus, tetapi saya hampir mati kelaparan. Namun saya tidak dapat makan, sebab saya tidak tahu dimana warungnya, dan tidak tahu harus bayar dengan mata uang apa, dan pakai bahasa apa.

Jadi iri dengan orang gila. Sebab di dunia ini, dia adalah Superman. Tidak perlu makan, ataupun minum, tapi tetap bisa tersenyum.

Monday, February 10, 2014

Lupa

aduhai, betapa nikmat menjadi lupa
sudah lama tak jumpa kekosongan semacam ini
dalam konteks waktu berhenti dan udara membeku
bahkan suhu tidak menjadi ganggu
dan waktu tidak terasa memburu
satu-satunya kebingungan hanya kelemahan atas kosakata
satu-satunya kegalauan hanya galau atas ujung kekosongan

kosong yang nikmat, kosong yang tak menjanjikan
kosong yang mendamaikan

nikmat nian mereka
yang menyentuh kesadaran
dan memeluk keberlupaan
oleh dan untuk kesendirian
dan tidak terjajah oleh pengulangan
walau hanya sesaat atau dua saat
menghimpun semua nikmat malam
dalam rengkuh sisa hujan dan kematian hari kemarin

Monday, January 6, 2014

Terdampar di ujung tahun


Apa yang akan dilakukan 4 cowok kesepian di ujung tahun dengan duit terbatas?
Jawab : Mendamparkan diri ke pulau tak berpenghuni di pinggir kota.

Berhubung kami nggak punya pacar (kecuali Rido, yang tidak memberdayakan momen dengan pacarnya, ampun deh do), dan kami gak punya toleransi terhadap alkohol untuk mabok-mabokan biar gaul (minum kratindeng aja kejang-kejang), gue, Irwin, Amar dan Ridho sepakat untuk menghabiskan akhir pekan di ujung tahun untuk berlayar ke kepulauan Seribu, 2 hari satu malam.

Ide brilian ini datang dari gue.
Dan seperti sabda intuitif ridho yang sudah-sudah, hampir segala kegiatan yang gue EO kan berakhir dengan nestapa, itu benar adanya.

Rencana awal kami adalah berlayar ke pulau karang bongkok melalui pulau pramuka, dan ternyata sodara2 setanah air, tarif sewa kapalnya melebihi biaya kosan gue sebulan penuh. Udah hati gundah, gue tetep berusaha stay cool dan menerbitkan harapan palsu pada kawan2 gue, mencoba menumpang kapal dengan pengunjung lain yang hendak berlayar ketempat yang sama.

Tentu saja rencana PHP tersebut juga gagal. Dominan pengunjung yang mendatangi pulau seribu akhir taun adalah 1. pengunjung berduit 2.berencana 3.lebih baik sama kelompoknya sendiri. Kami berempat adalah orang2 yang tidak memenuhi ketiga standar tersebut. Pengunjung lain sibuk dengan agendanya sendiri. Terombang-ambinglah kami.

Saturday, January 4, 2014

Sebuah cerita di kios tua

Gue hendak menulis refleksi diri dan banyolan petualangan terbaru gue ketika ingatan kemarin senja menghantam gue. Boleh ya sekali-kali bagi kisah rada sendu.

2013 merupakan tahun luar biasa yang membawa gue pada banyak kesadaran. Tahun ini juga ditutup dengan peristiwa yang menyedihkan bagi beberapa orang, wafatnya nenek gue, om gue, ayah dari sahabat gue (yang dengan sukses membesarkan seorang pecinta damai, loyal, toleran, campur tukang ngobok comberan).

Namun yang paling membekas (dalam arti membuat gue berfikir dalam) adalah saat kemarin gue tahu bahwa seorang pedagang buku bekas langganan gue jaman kecil meninggal dunia entah sejak kapan.

Gue jadi berfikir betapa lemahnya kepekaan gue terhadap berita kehilangan. Gue jarang menangis untuk kasus ini. Menangis pun karena empati, bukan rasa kehilangan. Rasa kehilangan selalu diiringi dengan kelegaan, mengingat yang pergi kini berdamai dengan penciptanya.

Kembali pada kisah kios tua.
Ada sebuah kios kecil berisi buku tua di jalan bendungan jago, 200 meter dari rumah pertama gue. begitu kecilnya hingga buku-buku yang dijejalkan didalamnya membuat suasana kios seperti gudang. Waktu kecil gue suka banget mampir ke toko buku bekas itu untuk beli majalah donal bebek dan bobo. Harganya masih seribu perak. Kadang gue beli komik dragon ball, kenji dan captain tsubasa seharga 3000 perak serta sejumlah komik semi hentai dengan harga yang sama. Seperti halnya kebanyakan pedagang, sang bapak bersikap netral terhadap semua bacaan yang gue beli.