Sunday, March 23, 2014

Wisdom

Lonceng bertingkah, sebagaimana mestinya,
Membangunkan orang, tanpa terbangun

Kalau membangunkan untuk sarapan, kadang gue merasa bahwa kakek lelah untuk bangun. Kadang nampak menyayangkan ia bangun. Tapi semua terhapus ketika sudah berada di meja makan untuk sarapan bersama. Rasa-rasanya, diuji dengan hafalan jumlah dan nama delapan anaknya merupakan hiburan yang menjadi bahan bakar hidupnya.

Wah, keluarga saya besar ya.

Wisdom. Adalah tema tulisan kali ini. Baru baca tulisan rujukan kampus tentang human life stage (pertanyaan : kenapa nggak pake maslow, freud atau jung?), ada yang menarik dengan usia senja. Gue berkesempatan untuk bertanya pada eyang gue, apa sih yang dirasakan orang di usia senja?


Ngga ada passion, hanya kepasrahan dan hidup yang stagnan, tetapi content. Hidup tidak menggebu dan menolong orang tanpa mencari, tanpa niatan, seperti bernafas.

Wisdom, digambarkan dalam tulisan tersebut merupakan antithesis dari integrity dan despair. Merupakan hal yang diraih oleh manusia berusia senja. Integritas adalah akumulasi dari seluruh pola hidup seseorang yang dilakukan secara berulang dalam rutinitas, sementara despair atau kepasrahan adalah suatu sikap yang didapatkan melalui kesadaran akan keberakhiran kehidupan yang nampak sebentar lagi.

Kakek yang kian pelupa karena diabetes dan pengobatan yang menjaga kesehatannya, biasanya selalu bilang begini setelah pembicaraan yang berulang-ulang (tentang bapak gue, tentang keluarga, tentang Tan Malaka, 2-3 kali dalam interval 5 menitan, varian)

“sekarang dunia lagi damei ya”

Baca : damai.

Nah, itu artinya pembicaraan ditutup dengan beliau kembali membaca koran, yang baru 15 menit lalu ia baca. Tentang perang, kelaparan, dan kemiskinan. Bagi kakek, dunia sedang –dunianya- damai.

Eyang yang kelihatannya tempramen, kuat dan dominan, selalu dapat menyentuh orang lain kalau-kalau mereka mau duduk sebentar untuk mengobrol. Kontras. Berbicara 15 menit dengan eyang, gue dapat memahami apa yang disebut wisdom. “aku” milik eyang berbeda dengan “aku” punya orang muda, “aku” punya bokap, “aku” punya om dan tante gue.

“yaa kalo gue sih bla,bla,bla”.
Berisik.

“aku” eyang, dan semua orang usia senja adalah akumulasi dari ke-aku-annya dulu, sekarang dan nanti. Aku yang tidak sotil, aku yang tidak lupa diri, aku yang tidak ego-sentris. Aku yang meng-kamu-kan. Beliau tidak perlu bertanya “kalau kamu bagaimana?” untuk membuat gue merasa ter-aku-kan, sebab, apa yang gue pernah alami adalah bagian dari “aku” eyang, dalam konteks yang berbeda. Cukup memperhatikan, bukan hanya mendengar, dan gue merasa terlibat.

Sementara kakek, lebih direct. Menutup pembicaraan dengan memuji dunia, dunianya, memperlihatkan hal yang sama. Ini bukan tentang saya, ini tentang hidup.

Ini wisdom. Kedua hal yang dapat memperlihatkan sintesis atau aplikasi dari semua pembelajaran kehidupan yang ditunjukkan oleh kakek dan eyang, adalah sebuah wisdom. Bentuk kebijaksanaan yang memperlihatkan bahwa :

“hidup itu baik, walaupun nampak buruk, sejujur-jujurnya bahwa hidup itu baik”

Orang tua nampak kolot, karena kita hanya melihat integrity nya.
Orang tua nampak begitu membosankan, karena kita hanya melihat despair nya.

Namun kalau kita bicara dengan melepaskan kacamata kuda sejenak, dan mendengar kisah mereka yang dimulai dengan kekolotan, lalu dibumbui dengan hal yang membosankan, lalu kita dapat bertahan untuk tidak menguap bosan, kita dapat melihat kebijaksanaan dari semua hal yang mereka lakukan. Ucapannya, gerak tubuhnya, ceritanya, matanya. “aku” dari orang di usia senja adalah kamu dahulu, kamu sekarang, apa yang kamu ingin lakukan, apa yang telah aku lakukan, apa yang semua orang pikirkan, pernah impikan, takutkan, dukakan, bahagiakan, cintakan, dan semua sintesis dari hal-hal duniawi.

Bersyukurlah mereka yang menyempatkan diri untuk menemukan kebijaksanaan dari manusia berusia senja, bagi mereka yang disentuh dengan ketulusan, bukan kebutuhan. Mereka yang menemukan kedamaian, penyederhanaan falsafah hidup, dan berterima kasih pada hidup.



No comments: