Tuesday, March 18, 2014

arsip sendiri satu

Karena menulis adalah menghidupkan, karena menulis adalah mengabadikan, dan karena menulis adalah belajar salah, maka gue kembali menulis. Entah sejak kapan gaya tulisan gue yang dulu melihat dunia dengan mata komedi yang polos berubah jadi brainstormer bertenaga bajaj begini. Naif abis, membenar-benarkan, dan romantis.

Seperti kata dosen favorit gue, “Persetanlah, itu” , Mari kita liat seberapa jauh usia ngebawa gue. Gue cuma berdoa agar gue ga salah baca buku dan berakhir jadi teroris di timur tengah.

Gue baru baca bahan kuliah yang bakal didiskusiin rabu besok. Ketika seharusnya gue sekarang memperbaiki gambar kerja perancangan, ngebuat poster lomba, dan ngisi logbook, gue malah mengabadikan tulisan ini. Ini pelarian yang perlu. Lebih baik daripada tidur.


Intinya, baru seperempat baca esai, gue mengasumsikan esai bertemakan “gagalnya manusia dalam membangun ruang hunian” (tentu esainya dalam bahasa inggris, asu) tersebut akan habis membahas elemen-elemen yang menggagalkan sistem hunian manusia. Oleh karena manusia rakus, manusia gak pernah puas dan manusia menuntut kepuasan duniawi yang semakin kompeten. Dan seterusnya.

Ada satu poin yang menurut gue spekulatif disini, penulis terlalu bersifat skeptis. Dalam hemat gue, seseorang yang berbicara dengan sangat yakin dengan gepita memiliki 2 kemungkinan, apa yang ia yakini benar-benar tepat, atau benar-benar salah. (ini juga berlaku untuk gue)

Gue berasumsi (karena gue ga kelar baca esainya), bahwa beliau salah. Nanti gue edit kalo bacanya kelar.

Memang, manusia lagi mengarah pada kehancuran dirinya sendiri. Meta cold war, globalisasi berbau konspirasi, hedonisme, intervensi kultur, hirarki terkondisi, dan ditkonteks-kontekskan pula ke arah arsitektur. Matilah.

Dan fakta sejarahnya, bahwa manusia harus melalui pola yang sudah-sudah untuk menuju ke era baru. Pola rusak-tobat-rusak-tobat. Reinassance setelah dark age, politik interasial setelah apartheid, merdeka setelah dijajah dan seterusnya, dalam beragam skala. Artinya, manusia harus mengalami kehancuran dulu sebelum menuju altar yang lebih tinggi. Ia harus nabrak tembok dulu sebelum mendobrak tembok. Dalam kasus ini, menurut teori pola ini, manusia harus kehabisan sumber daya alam dan merusak dunia sepenuhnya sebelum bertobat dan kembali pada hakikatnya sebagai mahluk dibawah alam.

Ehem, tapi, Tuhan luar biasa. Karena Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang curang.

Karena jumlah orang berfikir di dunia semakin banyak.
Dulu, orang yang berfikir di suatu komunitas paling satu-dua orang. Coba nonton 7 samurai dan Yojimbo. Kepala desa adalah penentu keputusan, outlaw adalah satu2nya orang yang berfikir diluar kotak.

Dalam esai Art of Religion, maaf, gue lupa penulisnya. Menyebutkan, bahwa sebenarnya dukun dan orang yang kenabi-nabian bukan orang yang diwahyukan oleh Tuhan, melainkan orang2 yang berfikir (btw tolong jangan berasumsi ini tulisan atheis, malah gara2 ini gue jadi sholat). Mereka bisa memprediksi masa depan bukan karena dibisikin malaikat, tapi karena mereka memahami seni cause and effect. Sebuah dasar pendekatan scientific yang fundamental. Bahkan mereka bukan memprediksi masa depan, tetapi melihat pola dari masa lalu, membandingkannya dengan konteks masa kini dan melihat kemungkinan yang akan terjadi di masa depan dengan potensi yang dimiliki masyarakat saat ini.

Visualisasi pendek.
Cause : manusia semakin kompetitif, semakin memiliki resources, semakin punya ilmu.
Effect : sikut-sikutan, turun moral, hirarki materialistik, kebusukan komunal.

Nah, dukun2 ini –orang2 berfikir, semakin banyak jumlahnya di dunia. Artinya, jumlah orang2 yang memahami cause and effect dan kesadaran pola sejarah semakin menjadi. Kalo lo baca tulisan ini dan paham maksud gue (terlepas dari setuju ato enggak), lo calon dukun.

Lalu?
Maka beruntunglah! Hegemoni yang mengatur orang2 yang malas berfikir, dibentuk oleh para pemikir yang sadar pola (terlepas dari mereka bijaksana atau bijaksini).  Artinya, produk komoditas yang beredar didalam settingan hegemoni ini memiliki corak kesadaran tersebut. Maaf konteksnya arsitektur, belum pinter : contohnya arsitektur kontemporer saat ini adalah sustainable architecture, juga space optimalizing. Keduanya banyak berkaca dari arsitektur oriental. Yang mana berhamba pada alam.

Nah, hal ini, terlepas dari ngerti enggaknya para pengikut hegemoni tersebut terhadap esensi komoditas yang disuapkan pada mereka (omg arsitektur hijau tuh keren bgt), mereka dihadapkan pada produk hegemoni yang menuju pada kesadaran dan solusi dari masalah diawal tulisan ini; gagalnya ruang hunian masyarakat.

Dari sisi lain, para pemikir yang tidak tertarik menjadi petugas hegemoni menempatkan dirinya sebagai para petarung ide yang unorthodox. Mereka yang kembali pada ide bahwa manusia dibawah alam, Yusing, Mangunwijaya, Heidigger, dan sebagainya (maaf contohnya umum, belom pinter).

Paham maksud gue disini?
Manusia curang karena kita sekarang punya peluang untuk tidak mengikuti pola bertobat setelah kehancuran. Kita punya peluang membuat jalan baru. Kita berprogress.

Cause : makin banyak orang pinter.
Effect : makin banyak orang males pinter ngikutin orang pinter menuju penghindaran pola.


Udah ah, ngantuk. Maaf kalo tulisannya nggak rapi dan ga sopan, sekedar untuk arsip pribadi kok. 

No comments: