Saturday, November 15, 2014

Akhirnya Ditulis: Garis Besar Perjalanan Gowes Lintas Jawa


Pembuka
Mohon maaf untuk para handai taulan. Terutama Firli yang sudah menuntut jauh-jauh hari. Sudah lewat 3 bulan sejak berakhirnya perjalanan gowes lintas jawa saya. Sudah banyak hal yang saya lewati di depok, banyak juga ulahnya, dan banyak sesalnya. Ada senangnya, seperti merasa menggariskan nyawa diatas tangan sendiri, di lain hari, rasanya seperti ditiban karma hingga mau pecah kepala. 

Pinginnya membuat buku. Iya segitu pedenya saya, gara-gara bibi saya penulis. Padahal saya dulu mengirim naskah kolom puisi di majalah Bobo saja ditolak terus karena mencantumkan kata "pantat". Sebenarnya ceritanya sudah ditulis di laptop hingga ke detail harian perjalanan. Namun saya masih bingung dengan tema pembungkus ceritanya. Mau dibuat stensil, saya sulit membayangkan adegan senggama diatas sepeda, toh senggama dengan siapa, jok saja menolak. Mau dibuat romantis, selama perjalanan kemarin saya hanya bertemu batang, batang, dan batang. Sementara wanita yang ditemui kemarin terlampau macho untuk diromantis-romantiskan. Mau friendship, gowesnya sendirian. Yah akhirnya arsip perjalanan tersebut mulai mendebu. Menggantung bagai ingus yang tidak ditarik ataupun dijatuhkan. Untuk menjaga agar perjalanan ini tetap hidup dan menyalakan keinginan membukukan kembali saya akan coba membagi garis besar perjalanan kemarin, semoga dapat membantu bagi teman-teman yang hendak menunaikan ibadah gowes lintas jawa. 

Garis besar
Perjalanan gowes lintas jawa kemarin menghabiskan kurang lebih 22 hari perjalanan. 

Nah, bodohnya saya baru membuat ini sekarang, bukan saat hendak melakukan perjalanan. 



 Rute Tempuh Depok-semarang


Keterangan
  • Kolom Berangkat dan Tujuan diselesaikan di Tanggal itu. Biasanya saya mengagendakan gowes dari jam 6 pagi hingga 7 malam dengan waktu istirahat setiap 2 jam.
  • Via Menjelaskan tentang rute global yang saya lewati. Biasanya di google map ada rute yang lebih pendek untuk jalan yang tidak umum. Namun jangan tertipu, bisa dilihat bahwa saya beberapa kali terasasar hingga masuk ke persawahan antah berantah. 
  • Lagu pengantar, sebenarnya sih untuk memperjelas akibat dari didoktrin lagunya ayu Ting-ting oleh mang Cliff Damora. Asli, saya berjoget di pantura sambil menggowes, panas pun tandas.
  • Clarity Moment adalah pesan sentimentil sok romantik pribadi. Saya percaya bahwa ketika melakukan touring/bikepacking ada tempat-tempat khusus yang membuat saya merasa spesial dengan momen tersebut. Bukan bertemu wanita atau mahluk gaib seperti itu. Biasanya panorama dan atmosfir yang disajikan tepat dan menohok sehingga saya pasti ingat. Hanya saya, sepeda, dan panorama.
  • Jarak adalah jarak tempuh kurang lebih yang disediakan oleh google map. Biasanya lebih panjang beberapa km bila sudah memasuki kota yang dituju.
  • Keterangan Hanya keterangan global tapi bukan menjadi pin point dari perjalanan ini.
  • Blok kuning menjelaskan kebertinggalan saya di setiap kota besar selama sehari. Biasanya ada agenda lebih yang saya tidak cantumkan di keterangan.
  • Blok Merah saya harus mengakui kekalahan saya akibat waktu yang tidak mencukupi dengan mengakhiri perjalanan ini di semarang dan mengahbiskan rute balik 450 km (3 hari) dengan bus menuju Jakarta. Sementara sepeda dikirim lewat kereta dengan biaya yang lebih mahal daripada tiket bus saya. 
  • 170* Saya sempat diberi bala bantuan oleh anak-anak siluman Touring dengan mengangkut sepeda menuju puncak karang bolong dengan mobil *maap bukan karanganyar*. Jadi dapat spare 40km tanpa gowes. Aku mencintaimu kawan-kawan siluman. *kecup basah*.
Saya Lupa mencantumkan kolom Tuan Rumah yang melindungi saya dari malam. Tidak muat, jadi akan saya paparkan secara naratif.
  • Bandung: Raka Amos (Sepupu)
  • Garut: Pos Polisi Puncak Garut Ciawi 
  • Banjar: Musholla keluarga Pak Dani
  • Cilacap: Mas Dimas (sepupu)
  • Yogyakarta: Ismail Hardianto, Anak-anak Siluman Touring 
  • Mangiran: Pakle Heri (Kerabat)
  • Solo: Mas Faisal (sekarang pacarnya Firli. cie)
  • Kediri: Pom Bensin Kediri
  • Malang: Mas Rombeng
  • Sidoarjo: Waji
  • Surabaya: Tsani
  • Tuban: Kantor Polisi Tuban
  • Semarang: Om Wawan (sepupu)
Dewalah orang-orang ini. Sudah menumpangkan, memberi makan, mendoakan, menceritakan, menyemangati, menghadiahi. Cuma kurang minta dikelonin saja. 

Pin Point
Ada dua pertanyaan yang biasanya ditelurkan teman-teman ketika bertemu sehabis perjalanan.
1. Mana yang paling berkesan? 
2. BETIS APAKABAR?!
Biasanya yang paling sering adalah yang nomor dua. Note: betis saya sekarang besar sebelah. Entah gimana. Untuk jawaban nomor 1, lumrah jika orang berperjalanan jauh bingung menjawabnya. Setiap tempat punya kesan. Setiap wajah punya cerita. Namun saya akan coba untuk bercerita tentang poin yang paling saya ingat. 

Sidoarjo, Gunung Penanggungan

Sidoarjo dengan sumber daya lumpurnya yang melimpah tidak pernah menjadi salah satu destinasi saya. Rencana awal saya adalah dari Malang langsung tancap ke Surabaya. Berhubung saya ingin bertemu wajah dengan Cliff Damora, orang yang cukup waras untuk melakukan perjalanan lintas Sumatera, dan belakangan 2 tahun bersepeda mengelilingi Indonesia. Saya ingin tahu, seperti apa rupa orang ini. Kebetulan dirinya sedang mampir di Sidoarjo setelah mengantarkan teman naik ke gunung setempat. Temannya ini lantas menjadi teman saya juga, namanya Waji. Lelaki kokoh yang sudah berdikari. Humoris, dan begitu hangat. Mengingat wajahnya saya menjadi geli, dan rindupun menjalar. *langsung sms waji: qmuh lagi apah?*

Lain lagi dengan mbak Prita. Salah satu perempuan pecandu gunung yang saya temui di sidoarjo ini adalah perempuan macho yang tegas, tapi juga romantik. Ia selalu berselisih dengan waji, duet keduanya selalu mengundang tawa. Beruntung dengan keberadaan Mbak Prita, pendakian tidak terlalu jadi membatang. Ia adalah sosok yang berusaha menjadi kakak, dan melakukannya dengan baik. 

Cliff Damora sendiri berbeda dari imaji saya. Saya membayangkan seorang yang bersifat kenabian karena kilometer yang telah ditandaskan diatas sepeda dengan banyak pengalaman yang sebagian besar orang hanya rencanakan. Bertemu dengan Mang Cliff seperti bertemu dengan seorang pemilik kios warung kopi. Tangannya selalu terbuka menerima teman, dan tidak ada agenda yang ditutup-tutupi dari dirinya. Senyumnya selalu mengembang. Kadang terlihat angkuh, lantas dibayar dengan humor yang meledakkan tawa. Begitu penyabar, saya tidak paham dengan poin ini. Ia mungkin tidak kenabian, karena menjadi nabi berarti menghindari kekurangan demi kesempurnaan. Cliff Damora adalah orang yang tidak berusaha menutupi dirinya. Jujur, dan apa adanya. Justru dari situlah semua orang bisa merasa nyaman dengannya. Orang tidak perlu berpolitik atau pasang diri.



Adapun ketiganya mempunyai rencana untuk mendaki gunung penanggungan. Saya percaya bahwa di alam, terutama di gunung, orang tidak dapat menyembunyikan dirinya. jadi jika saya berkesempatan untuk mengenal orang melalui kacamata alam, saya pasti akan mengiyakan. maka berangkatlah kami berempat. Dengan 2 motor dan perjalanan naik turun kembali ke kawasan malang untuk mencapai kaki gunung penanggungan.

Sidoarjo-Gn. Penanggungan (+27 km)

Gunung Penanggungan punya cerita sendiri. Konon saat Hanoman tengah membagi gunung di pulau jawa, semeru menimpang beban jawa, sehingga Hanoman harus memenggal secuil ujungnya dan memisahkannya agar pulau jawa dapat mengambang dengan baik. Lahirlah gunung Penanggungan. Gunung penanggungan memang tidak terlalu tinggi, sekitar 1600mdpl. Mendakinya hanya butuh kesabaran dan sopan santun, mang cliff berkata bahwa penanggungan adalah gunung semi camping karena kesulitannya yang dibawah rata-rata, dan benarlah di kaki puncak telah banyak tenda memenuhi lapangan. Kami sampai hampir tengah malam dan mendirikan tenda. Selepas kegiatan formal itu saya segera meminggirkan diri untuk menikmati pemandangan kota malang dan taburan lampunya yang gemerlap. Dinginnya udara gunung memang menarik rindu pada alam. Awan malam yang lembut menjalar pelan memendar malang. Hiruk pikuk tenda di sekeliling memang terasa asing, tetapi menjadi warna baru dalam sebuah pendakian. Gunung penanggungan bagai gunung bersama, tetapi tidak lantas disepelekan.




Malam meninggi. Waji sudah mendengkur, mbak prita sudah nyaman dalam tenda egoista-nya. Saya dan mang cliff berbicara panjang dan lebar. Tentang hidup, tentang masa lalu, tentang masa depan, tentang keinginan, tentang calon pengorbanan, dan ketentang-tentangan lainnya. Saya tidak menemukan hal yang berbeda dari pertemuan awal kami, ia adalah sosok yang sama yang saya temui di pom bensin yang merengkuh saya untuk memberi selamat atas keberhasilan saya sampai di sidoarjo. Justru ia yang menemukan saya, dan saya mengamini gambaran yang ia paparkan tentang saya. 

Pagi menampik, kami mendaki puncak penanggungan yang berjarak beberapa ratus meter. Tidak terlalu terjal, dan pijakannya cukup kokoh. Pendakian tidak memberi banyak masalah. Sesampai di puncak kami segera melangsungkan sarapan, lalu dengan sukacita menjepret diri sendiri diantara arak-arakan awan. Butuh beberapa saat sebelum pengabadian itu berakhir. Rasa-rasanya saya tidak ingin berpisah dengan iringan awan dibawah kaki ini, tapi matahari meninggi, dan Surabaya sudah menunggu dalam agenda. Kami turun, dan esok yang terlalu cepat hadir memaksa kami berpisah dan saya melanjutkan perjalanan menuju surabaya yang sejauh lemparan batu dari lumbung lumpur lapindo. 

Ironis memang bahwa yang paling saya kenang secara kental adalah arc dari pendakian gunung, padahal perjalannya bertema sepeda. Namun penanggungan memang menjadi titik balik dari semua perjalanan ini. Gn. Penanggungan menjadi poin besar untuk merangkum, tentang kebaikan semua orang, tentang jauhnya saya dari rumah, dan tentang tujuan perjalanan, yang sampai saat ini ia masih menjelma menjadi kalimat yang utuh. 

No comments: