Tuesday, November 11, 2014

Mindblowed!



Tolong, orang ini memperkosa otak saya

Shane Carruth adalah orang yang bertanggungjawab untuk lahirnya film Primer dan Upstream Colour. Kedua film ini mempunyai kesamaan: penontonnya bakal dibuat mengerutkan jidat. Menonton film peranakan Carruth, terutama primer perlu 3 kali penyaringan. Jadi jika ada temen anda yang habis nonton primer bilang: oh, gue ngerti ceritanya. ITU DUSTA.


As always. SPOILER film pasti senggol bocor di blog ini.

Primer (2004)

Ratings: 7.0/10 from 53,749 users (imdb)
Director: Shane Carruth
Writer: Shane Carruth
Stars: Shane Carruth, David Sullivan, Casey Gooden 



Primer bercerita tentang mesin waktu yang tidak sengaja hadir dari keinginan para inventor wannabe di film ini untuk membuat sebuah mesin yang memblokir informasi tentang gravitasi pada objek yang di input kedalamnya, dan menurut film ini, ternyata mesinnya juga menahan informasi tentang waktu, sehingga dapat menyimpan waktu. Mesin waktu dalam film primer bekerja secara parabolik, yakni bersifat bolak-balik dari titik A (lampau) ke B (kini). Jika objek didalamnya cukup pandai untuk keluar pada titik A kembali, maka objek itu akan mengalami time travel satu arah ke waktu sejak mesin dinyalakan. Sepintas cara kerjanya mirip dengan jam penyimpan waktu milik doraemon, tetapi diceritakan dengan cara yang lebih intelek.

Fujiko F. Fujio, man ahead of time

Cerita berlanjut dengan penggunaan mesin waktu untuk meraup keuntungan dari informasi present untuk dilipatgandakan di masa lalu. Klise. Biasanya, penonton yang cukup sadar akan mendapatkan hint hingga titik ini. Lalu buyar menjadi fragmen interpretasi di poin-poin selanjutnya yang akan diisi dengan lho, lho, lho.

Dalam kondisi yang terkontrol, timeline yang terjadi setiap kali protagonis menggunakan mesin bertambah 1 dan penonton dapat memahaminya. Namun ketika muncul konflik dimana ada kondisi dadakan yang tidak diantisipasi, kesadaran tentang timeline menjadi runyam. Kemungkinan dari apa yang dilakukan oleh mereka di masa depan hingga merusak saat ini tidak dapat dipahami. Lantas protagonis berinisiatif untuk mereset semua dari awal. Namun, justru ceritanya bertambah kompleks dari sana. Cukup ya, tonton sendiri.

Bismilah bro biar nyala

Sebenarnya, film ini dapat diceritakan dengan protokol film time travel yang konvensional sehingga menjadi film yang baku dengan ejaan yang telah disempurnakan seperti Back To the Future atau Looper. Namun Shane Carruth bukan orang yang konvensional. Alih-alih bercerita dari sudut pandang Tuhan maha tahu dan alur linear yang super manja, penonton menjadi orang semi ketiga yang menguping pembicaraan protagonis dalam fragmen film acak yang lebih sempit ketimbang pulp fiction maupun cloud atlas. Ini menjadi trademark Shaun yang muncul di Upstream Colour, dan hopefully, akan muncul di karya berikutnya. Satu-satunya instrumen yang menolong untuk memahami film ini adalah narasi kaku yang patah-patah dan perlu fokus konstan untuk menyerapnya. Jika anda mengupil saat narasi bicara, kemudian melengos sejenak untuk berkontemplasi tentang betapa besar upil anda saat itu, anda akan kehilangan detail untuk memahami keseluruhan cerita.

Nah ini kunci Jawaban untuk masalah timeline di film Primer. Sumpah deh, Inception kalah. 

Nonton dulu baru nyontek


Moral dari film ini, konon mengungkapkan kegegabahan manusia dalam menanggapi sebuah penemuan. Seringkali penemuan hebat terjadi secara aksidental, dan ketika penemuan besar itu tetiba muncul, seringkali penemunya justru menjadi substansi yang dibingungkan oleh temuannya. Sejujurnya, saya hanya tertarik dengan bagaimana logika film ini diceritakan. Film ini bagai bagan permainan untuk mengurai ceritanya bagi saya. Sempurna sekali untuk membunuh malam.

Ratings: 6.8/10 from 14,645 users Director: Shane Carruth
Writer: Shane Carruth
Stars: Amy Seimetz, Frank Mosley, Shane Carruth 




Primer dibuat dengan budget yang rendah. $7,000. Upstream Colour sepertinya lebih dimanjakan melihat dari sinematografinya jauh lebih cantik ketibang abangnya. Cara berceritanya juga lebih soft dan misterius karena tanpa narasi dan bergantung pada kekuatan scene didalamnya. 

Upstream Colour bercerita tentang orang yang dijangkiti Parasite Worm. Parasit ini membuat korbannya tercuci otak dan blank untuk mengikuti perintah penjangkitnya (thief). Lalu, cacing dari korban yang terjangkit akan dipindahkan ke tubuh babi dari oknum kedua (sampler). Cacing ini menjadi jembatan metafisis antara babi dan korban. Korban tidak lagi dalam kondisi tercuci otak, tetapi secara naluri terhubung dengan babi yang dibiakkan oleh sampler. Ketika babi merasa terancam, begitu pula korban. Ketika korban bahagia, begitu pula babi. Menurut Shane, ia menggunakan babi karena dalam konteks riset psikologis, babi memiliki identifikasi sikap yang mirip dengan manusia. Entah. Pokoknya entah, jangan tanya saya.

Terkoneksi dengan babi; mimpi buruk orang Indonesia


Ketika hubungan dengan babi diputuskan (misal babi dimatikan), maka substansi dari babi yang membangkai di sungai (dibuang oleh sampler) akan membuat anggrek yang ditanam oleh oknum ketiga (orchard) disekitarnya menjadi berwarna biru/kuning. Orchard ini lantas dijual pada thief untuk mengembangbiakkan worm untuk menjangkiti korban berikutnya. Cycle ini disebut worm-pig-orchid oleh shaun. Cycle ini memberi profit gelap bagi thief untuk hipnotis dan mencolong harta dan martabat korban, art reference melalui emosi manusia untuk menjadi lagu bagi sampler, dan keuntungan jual bunga bagi orchard. And so on.

Say, bangun. Ada babi

Begitulah, pada akhirnya, konflik puncak terjadi saat anak dari babi yang terhubung oleh protagonis dibuang oleh sampler, sehingga ia mengalami situasi batiniyah(?) yang hebat dan mengantarkannya pada kongklusi tentang keberadaan si sampler akibat emosi yang begitu meluap. Namun tentu saja diceritakan dengan cara yang elegan dan logis. Jika saya membuatnya kedengaran banal dan monoton, maafkan. 

Upstream Colour, lagi-lagi saya tekankan, begitu cantik dalam penyajiannya dan lebih interpretatif untuk kepahaman pemirsanya. Walaupun fragmennya lebih kecil, bagi veteran film Primer, saya rasa akan mengantisipasi kejutan dari cerita akhirnya melalui kehadiran detail sederhana yang sangat vital ala shane. 

Kelemahannya bagi saya, instrumen parasite worm yang digunakan disini kurang unsur logika. Primer jauh menawarkan kibulan yang lebih bisa dipercaya. Namun apalah saya, hanya remah-remah yang memungut film bajakan berkwalitas rendah di internet masih mau protes. Apalagi ditutup dengan cerita yang tidak pasaran dan cara bercerita yang mantap untuk teman minum panadol, saya maafkanlah kekurangannya.  

Mengenai pesan moral, Upstream Colour juga cenderung lebih romantis. bahwa tindakan kita cenderung dipengaruhi oleh pesan biologis yang tertanam dalam diri kita. Kita bukan entitas yang bebas, tetapi terkait oleh individual natural force untuk bertahan dengan cara masing-masing. Sehingga sering muncul pertanyaan tentang alasan kita melakukan sesuatu diluar logika, yang jawabannya kembali pada real colour of ourselves which always blooming upstream. SEDAP.


In the end, saya suka membayangkan Primer sebagai anak lelaki pertama Shaun dan Upstream Colour sebagai adik perempuannya. Saya harapkan akan muncul anak-anak berikutnya yang ikut serta memperkaya ranah film twisted kontemporer dewasa ini. Mengenai masalah link unduh, Primer ada di Indowebster, jadilah member dulu sbelum mengunduh. Sementara Upstream Colour agak sulit dicari di internet, but its really are worth the effort. Musabab masalah prinsip pribadi dan konservasi link langka, saya ndak cantumin disini, boleh minta jika berjodoh. 

No comments: