Monday, November 3, 2014

Filem Robot dan kemana-mana

  

                Bukan mau ngobrolin Gaban *kecewa, tutup browser*.

Film robot/machine biasanya bercerita tentang hubungan antara mesin (sebagai outsider) dengan manusia. Biasanya manusia jadi matyr dari ciptaannya sendiri, kemudian pecah perang antara dua ras tersebut. Menurut saya ini menarik, sebab sebagaimana Hannah Arend bilang dalam human condition bahwa nature manusia adalah mahluk yang terkondisi oleh alam. Artinya jika muncul suatu gejala diluar kondisi alami –seperti kelahiran artificial intellegence dan free will nya- akan muncul suatu naluri resistensi dari ras manusia berupa notasi threat. Sekarang sih belum keliatan, soalnya mesin logika yang cukup pandai baru siri dan nggak punya keinginan sendiri. Jadi belum nongol ancaman publiknya.

Jika film dapat menjadi pendekatan model pola pikir masyarakat saat itu, kita dapat melakukan kegiatan berkira-kira tentang bagaimana masyarakat memandang suatu ide dalam tema film dari waktu ke waktu. Nah, dalam hemat saya sebagai penonton liar (menonton apapun yang bisa dibajak), saya melihat suatu perubahan paradigma dalam kasus film robot. Berikut klasifikasinya:

Machine Uprising
Era kelahiran kesadaran pada mesin. Karena kesadaran “Aku”, timbulah kemauan atau free will, yang kemudian dianggap sebagai ancaman tumbuhnya ras yang lebih superior dari manusia. Logika fungsional dari mesin tentang manusia adalah sumber bikin salah yang berulang (perang, teror, perusak, dsb), artinya manusia harus dikontrol atau ditiadakan demi menjaga kestabilan dunia.

- 2001 space odyssey (1975)
- matrix (1999)

Tidak hanya di film robot, menjelang atau pasca milenium banyak film yang menjual tema perbedaan dan perlawanan ras manusia. Biasanya oknum lain yang berusaha mengontrol itu alien atau zombie. Namun saya lebih suka robot yang dibuat manusia, ironis soalnya.


Machine to human
Tenggat antara the matrix dan judul dibawah tidak lama, sehingga dapat dikatakan bahwa kehadiran mesin berfikir memiliki variasi tema motif. Disini, daripada menjajah, kesadaran mesin biasanya menuju ke arah yang lebih sederhana, yaitu untuk diakui atau hidup berdampingan dengan manusia. Dalam ekstrimnya, mesin ingin untuk bisa berubah menjadi manusia secara sense dan fisik. Pingin bisa cepirit.


- Bicentennial Man
- Artificial Intelegence
- I am Robot

Oneness
Yang dimaksud Oneness adalah logika mesin berujung pada persatuan kesadaran. Kesimpulan ini didapatkan dari sikap romantis menghindari kesalahan manusia yang berulang-ulang dari dialektika sejarah (kebalikan dari machine uprising). Maka revolusi yang paling tepat digambarkan sebagai kebersatuan untuk menuju tingkat yang lebih tinggi. Iyalah, idealis banget, namanya juga film.

                Dalam film Her persatuan kesadaran ini dicapai melalui mekanisme koneksi maya dari tiap bot yang telah mengalami proses pembelajaran dalam kecepatan eksponensial. Maka, dalam waktu singkat semua bot dalam film telah lebih wise dari rata-rata manusia di muka bumi karena menyadari keberulangan sejarah, lantas memutuskan untuk menyatukan diri dan unplug menuju dimensi yang berbeda. Para mesin berfikir itu mencoba untuk memperlihatkan pada manusia hasil dari rangkuman sejarah yang seharusnya. Sakit.

                Sementara dalam Trancendence yang kelihatan rumit (manusia-mesin-manusia) tema utamanya tetap kesadaran akhir bahwa manusia harus terkoneksi satu sama lain agar bisa hidup damai. Walaupun agak maksa.

- Her (2008)
- Trancendence (2014)

Ketiga klasifikasi tadi dapat dilihat secara linear sebagai suatu perkembangan menuju arah yang positif tentang cara melihat kemungkinan munculnya mesin berfikir. Dari paradigma mesin menjajah, muncul kemungkinan mesin bergauls, lantas mencontohkan kebersatuan. Sederhananya begitu.

Walaupun disikapi dalam tatanan hiburan, biasanya referensi dari kepercayaan seseorang dibangun juga atas informasi instan yang gampang dicerna dan kemasannya menarik, seperti film. Walaupun tidak sesignifikan fakta, selama berkorelasi, konsepnya akan tetap menjadi substansi dalam belief seseorang.

Lho kok jadi kesini?
Kalau saya melihatnya begini, bahwa film yang bercerita tentang keberadaan ras lain (terutama yg matyr begini) dan resistansi manusianya hanya simbol untuk menampilkan proyeksi diam-diam tentang perpecahan internal antar umat manusia itu sendiri. Pada akhirnya, terlepas dari keberadaan ras lain, kemungkinan masa depan manusia berujung pada pandangan pesimis atau humble diatas. Akankah kita bersatu atau mengulang sejarah berdarah. Melihat dari film yang beredar belakangan dan segala dramatisasi romantiknya, bagi saya yang plegmatis bagus saja jika masyarakat mulai dijejalkan dengan konsep kesatuan. Seperti saya bilang diatas, walaupun film bersifat hiburan, subconsious message dari film pasti menyiprat dan menoda sedikit dikepala penontonnya.

Misalnya begini, ngobrol cantik dengan teman, tanya apa yang bakal terjadi kalau mesin berfikir dan berkeinginan muncul. Setelah kalian ditertawakan, pasti jawaban mayoritasnya (paradigma) adalah mesin berusaha menjajah manusia. Lumrah, sebab yang paling menoda sebagai arkitipe film mesin berfikir adalah The Matrix.

Paradigma itu jawaban paketan yang muncul dari asupan informasi yang diterima mentah-mentah. Padahal kalau digali, sebuah sumber paradigma bisa memunculkan kemungkinan kaya dalam berbagai skala dikemudian hari. Berhubung sebagian besar orang malas melibatkan unsur “kemungkinan” dari sebuah jawaban paketan yang  “udahlah” diterima masyarakat, tinggal menunggu waktu untuk paradigma diatas berubah, ya selama medium pembentuknya mengarah kesana.

Kesimpulannya, melihat proses bahwa semakin mudahnya sebuah konsep perbedaan diterima di masyarakat, akan semakin menjanjikan konsep persatuan untuk mengental. Film laku yang isinya positif, tidak menjamin realita yang demikian. Namun membantu membangun ide tentang kemungkinan realita tersebut terealisasikan.


No comments: