Bukan
mau ngobrolin Gaban *kecewa, tutup browser*.
Film robot/machine biasanya
bercerita tentang hubungan antara mesin (sebagai outsider) dengan manusia. Biasanya
manusia jadi matyr dari ciptaannya
sendiri, kemudian pecah perang antara dua ras tersebut. Menurut saya ini
menarik, sebab sebagaimana Hannah Arend bilang dalam human condition bahwa nature
manusia adalah mahluk yang terkondisi oleh alam. Artinya jika muncul suatu gejala
diluar kondisi alami –seperti kelahiran artificial intellegence dan free will nya-
akan muncul suatu naluri resistensi dari ras manusia berupa notasi threat. Sekarang sih belum keliatan,
soalnya mesin logika yang cukup pandai baru siri dan nggak punya keinginan
sendiri. Jadi belum nongol ancaman publiknya.
Jika film dapat
menjadi pendekatan model pola pikir masyarakat saat itu, kita dapat melakukan kegiatan
berkira-kira tentang bagaimana masyarakat memandang suatu ide dalam tema film
dari waktu ke waktu. Nah, dalam hemat saya sebagai penonton liar (menonton
apapun yang bisa dibajak), saya melihat suatu perubahan paradigma dalam kasus
film robot. Berikut klasifikasinya:
Machine Uprising
Era kelahiran kesadaran pada mesin. Karena
kesadaran “Aku”, timbulah kemauan atau free will, yang kemudian dianggap
sebagai ancaman tumbuhnya ras yang lebih superior dari manusia. Logika fungsional
dari mesin tentang manusia adalah sumber bikin salah yang berulang (perang,
teror, perusak, dsb), artinya manusia harus dikontrol atau ditiadakan demi
menjaga kestabilan dunia.
- 2001 space odyssey (1975)
- matrix (1999)
Tidak hanya di film robot, menjelang
atau pasca milenium banyak film yang menjual tema perbedaan dan perlawanan ras
manusia. Biasanya oknum lain yang berusaha mengontrol itu alien atau zombie. Namun
saya lebih suka robot yang dibuat manusia, ironis soalnya.
Machine to human
Tenggat antara the matrix dan judul
dibawah tidak lama, sehingga dapat dikatakan bahwa kehadiran mesin berfikir
memiliki variasi tema motif. Disini, daripada menjajah, kesadaran mesin
biasanya menuju ke arah yang lebih sederhana, yaitu untuk diakui atau hidup
berdampingan dengan manusia. Dalam ekstrimnya, mesin ingin untuk bisa berubah
menjadi manusia secara sense dan fisik. Pingin bisa cepirit.
- Bicentennial Man
- Artificial Intelegence
- I am Robot
Oneness
Yang dimaksud Oneness adalah logika
mesin berujung pada persatuan kesadaran. Kesimpulan ini didapatkan dari sikap
romantis menghindari kesalahan manusia yang berulang-ulang dari dialektika
sejarah (kebalikan dari machine uprising). Maka revolusi yang paling tepat digambarkan
sebagai kebersatuan untuk menuju tingkat yang lebih tinggi. Iyalah, idealis
banget, namanya juga film.
Dalam
film Her persatuan kesadaran ini
dicapai melalui mekanisme koneksi maya dari tiap bot yang telah mengalami
proses pembelajaran dalam kecepatan eksponensial. Maka, dalam waktu singkat
semua bot dalam film telah lebih wise dari rata-rata manusia di muka bumi
karena menyadari keberulangan sejarah, lantas memutuskan untuk menyatukan diri
dan unplug menuju dimensi yang berbeda. Para mesin berfikir itu mencoba untuk
memperlihatkan pada manusia hasil dari rangkuman sejarah yang seharusnya. Sakit.
Sementara
dalam Trancendence yang kelihatan
rumit (manusia-mesin-manusia) tema utamanya tetap kesadaran akhir bahwa manusia
harus terkoneksi satu sama lain agar bisa hidup damai. Walaupun agak maksa.
- Her (2008)
- Trancendence (2014)
Ketiga klasifikasi tadi dapat
dilihat secara linear sebagai suatu perkembangan menuju arah yang positif tentang
cara melihat kemungkinan munculnya mesin berfikir. Dari paradigma mesin
menjajah, muncul kemungkinan mesin bergauls, lantas mencontohkan kebersatuan. Sederhananya
begitu.
Walaupun disikapi dalam tatanan
hiburan, biasanya referensi dari kepercayaan seseorang dibangun juga atas informasi
instan yang gampang dicerna dan kemasannya menarik, seperti film. Walaupun tidak
sesignifikan fakta, selama berkorelasi, konsepnya akan tetap menjadi substansi
dalam belief seseorang.
Lho
kok jadi kesini?
Kalau saya melihatnya begini, bahwa
film yang bercerita tentang keberadaan ras lain (terutama yg matyr begini) dan resistansi
manusianya hanya simbol untuk menampilkan proyeksi diam-diam tentang perpecahan
internal antar umat manusia itu sendiri. Pada akhirnya, terlepas dari
keberadaan ras lain, kemungkinan masa depan manusia berujung pada pandangan pesimis
atau humble diatas. Akankah kita bersatu atau mengulang sejarah berdarah. Melihat
dari film yang beredar belakangan dan segala dramatisasi romantiknya, bagi saya
yang plegmatis bagus saja jika masyarakat mulai dijejalkan dengan konsep
kesatuan. Seperti saya bilang diatas, walaupun film bersifat hiburan, subconsious message dari film pasti
menyiprat dan menoda sedikit dikepala penontonnya.
Misalnya begini, ngobrol cantik
dengan teman, tanya apa yang bakal terjadi kalau mesin berfikir dan
berkeinginan muncul. Setelah kalian ditertawakan, pasti jawaban mayoritasnya (paradigma)
adalah mesin berusaha menjajah manusia. Lumrah, sebab yang paling menoda
sebagai arkitipe film mesin berfikir adalah The
Matrix.
Paradigma itu jawaban paketan yang
muncul dari asupan informasi yang diterima mentah-mentah. Padahal kalau digali,
sebuah sumber paradigma bisa memunculkan kemungkinan kaya dalam berbagai skala
dikemudian hari. Berhubung sebagian besar orang malas melibatkan unsur “kemungkinan”
dari sebuah jawaban paketan yang “udahlah”
diterima masyarakat, tinggal menunggu waktu untuk paradigma diatas berubah, ya
selama medium pembentuknya mengarah kesana.
Kesimpulannya, melihat proses bahwa
semakin mudahnya sebuah konsep perbedaan diterima di masyarakat, akan semakin
menjanjikan konsep persatuan untuk mengental. Film laku yang isinya positif,
tidak menjamin realita yang demikian. Namun membantu membangun ide tentang
kemungkinan realita tersebut terealisasikan.
No comments:
Post a Comment