Monday, January 6, 2014

Terdampar di ujung tahun


Apa yang akan dilakukan 4 cowok kesepian di ujung tahun dengan duit terbatas?
Jawab : Mendamparkan diri ke pulau tak berpenghuni di pinggir kota.

Berhubung kami nggak punya pacar (kecuali Rido, yang tidak memberdayakan momen dengan pacarnya, ampun deh do), dan kami gak punya toleransi terhadap alkohol untuk mabok-mabokan biar gaul (minum kratindeng aja kejang-kejang), gue, Irwin, Amar dan Ridho sepakat untuk menghabiskan akhir pekan di ujung tahun untuk berlayar ke kepulauan Seribu, 2 hari satu malam.

Ide brilian ini datang dari gue.
Dan seperti sabda intuitif ridho yang sudah-sudah, hampir segala kegiatan yang gue EO kan berakhir dengan nestapa, itu benar adanya.

Rencana awal kami adalah berlayar ke pulau karang bongkok melalui pulau pramuka, dan ternyata sodara2 setanah air, tarif sewa kapalnya melebihi biaya kosan gue sebulan penuh. Udah hati gundah, gue tetep berusaha stay cool dan menerbitkan harapan palsu pada kawan2 gue, mencoba menumpang kapal dengan pengunjung lain yang hendak berlayar ketempat yang sama.

Tentu saja rencana PHP tersebut juga gagal. Dominan pengunjung yang mendatangi pulau seribu akhir taun adalah 1. pengunjung berduit 2.berencana 3.lebih baik sama kelompoknya sendiri. Kami berempat adalah orang2 yang tidak memenuhi ketiga standar tersebut. Pengunjung lain sibuk dengan agendanya sendiri. Terombang-ambinglah kami.

Akhirnya setelah bolak balik, muncul suatu ide untuk bermalam di pulau lain yang lebih dekat, pulau Air. Biaya sewa kapalnya 200ribu, pulaunya keliatan dari pulau pramuka (gajauh amat), dengan iming-iming pemandangan bagus, tempat camping yang cocok dan hidden spot terumbu karang yang kece dari penyewa kapal, tergodalah iman kami untuk berlayar kesana.

Kapal melaju, angin kurang bersahabat, langit mendung, gelombang cukup besar, bodo amat. Sampai di salah satu anak pulau Air yang kami pilih, memang benar pulau tersebut kosong dari manusia, kecil pula, hanya jejak sampah di pinggir tersisa, dan cocok untuk berkemah. Bapak penyewa kapal menunjuk spot yang “katanya” berisi terumbu karang cantik. Lalu kami ditinggal dengan ransel2 kami dan perlatan snorkeling standar.

                                                                               Pulau aer

Skip pemandangan tak senonoh berupa lelaki2 setengah bugil yang berdoa bersama sebelum bersnorkelling, kami sudah menyelam. Dan ternyata, apa yang dijanjikan sang bapak.... tidak terwujud. Entah kami menuju spot yang salah tunjuk atau memang spot yang seharusnya sedang dihujam ombak besar sehingga tidak dapat kami lihat. Ada beberapa spot yang berterumbu karang, tapi jauh dari ekspektasi. Memang, sungguh hidden. Yang gue nikmati cuma hamparan permadani rumput laut yang cukup rendah di tepi pantai sehingga gue bisa berbaring disana. Bagi gue itu cukup, sesi melankolis 2 menit sangat cukup.

Puas bermain (dipuas-puasin) air, kami kembali ke darat dan mulai menyusun tempat bernaung. Lagi-lagi, karena modal nekat kami nggak membawa tenda. Asumsinya, bivak cukup. Doanya, nggak ada hujan. Padahal badai mendekat. Perlu dicatat akhir tahun adalah waktu yg buruk utk ke pulau seribu mengingat musim hujan dan angin laut yang besar.


Hal yang yuhu banget adalah ketika kami berhasil menyalakan api unggun pertama sebelum gelap. Hebohnya sama ketika tom cruise di castaway bisa bikin api. 


Irwin tengah berusaha mencupang api.

ilustrasi manusia primitif dengan penemuan api

Kami semua tahu akan turun hujan. Bahkan sempet putus asa untuk memanggil kapal yang numpang lewat agar bisa balik ke pramuka. Namun gengsi terlalu gede, api pun sudah menyala. Setelah percobaan mendirikan bivak pertama yang gagal, amar beradaptasi dan membuat bivak model sendiri, yang penting neduh, dan syukurnya berhasil. Malam dilalui dengan khidmat, ngebakar ikan, ngobrol2 kecil dan dengerin musik, selisih jarak dengan peradaban berada dalam radius beberapa kilometer, hanya menyisakan lampu-lampu kecil yang menguntai dari ujung pulau, malam semakin syahdu.

Akhirnyapun badai datang juga ketika kami tidur. Mengguyur pulau air yang mungil dengan rintiknya yang konstan. Semula tidak terlalu terasa, tetapi ketika guyuran air mulai membasahi tanah dibawah tubuh, tiga dari kami terbangun, amar mengigau, lalu kembali tidur. Gue, Irwin dan Ridho pun kembali mencoba menaikan level menyalakan api unggun tengah malam. Setelah berupaya sejenak, kami telah menghangatkan diri dan memasak kopi untuk bersama, api di lubang galian menyala dengan stabil, benar memang, api adalah simbol harapan. Tanpa nyala api pertama sore itu, mungkin kami tidak akan bertahan dibawah badai hingga dini hari. 

Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari, giliran kopi matang, amar bangun dan ikutan nikmatin kopi. Makasih lho mar. Kami menyebut apa yang digilir malam itu dengan ekor persahabatan, kopi persahabatan, rokok persahabatan, ikan bakar persahabatan. Terlalu romantik memang, tapi apa daya, jauh dari dunia sejenak membuka semua kemesraan yang bisa diberikan. Oke, jangan bayangkan kemesraan fisik antar lelaki, gue juga sangat geli.

Paginya kami bangun dan mendapati langit agak cerah, walaupun matahari masih ga keliatan. Sedih memang kehilangan momen sunrise dan sunset, tapi ada hadiah lain yang diberikan alam, dan siapa sih kami yang dengan sombongnya menolak hal tersebut?

Nggak ada binatang di pulau tersebut. Ngga ada burung, tikus, atau mamalia lainnya. Seranggapun hanya semut. Jadi suara pagi hanya diisi debur ombak dan debur lagi. Kedengarannya monoton, tapi ketika dilengkapi dengan pemandangan horizon yang hampir ga terbatas, bermacam makna bisa ditarik, bermacam rasa bisa bermunculan, kerinduan, takut, kecil, agung, kagum, tenang, bahagia dan cemas. 

Terutama cemas, takut ga bisa pulang, berarti tahun baru dengan penuh resiko makan kaki salah satu dari kita yang kalah suit, karena logistik udah abis. 

Kasihan ya teman-teman

Boleh jadi, Hukum Murphy benar, sesuatu yang mungkin salah, pasti terjadi. Namun untung kali ini kebolehjadian Murphy meleset, kami diizinkan untuk kembali ke pulau pramuka setelah ombak lebih tenang.  

Sambil menunggu kapal kembali ke muara angke kami jalan2 di sekitar pulau. Rido menyempatkan diri untuk berfoto di SMAN 69, yang isunya adalah saudara tiri SMAN 68 (boong ding). 

Rido dan sekolah impiannya

Rido, sukacitanya, dan ngompolnya

Para korban penipuan EO licik

Tahun ditutup, senyum terkembang

Bro, makasih toleransinya, ingatannya, ceritanya dan malam persahabatannya. Hidup itu baik. Sangat.

Ngantuk bro, detail belakangan, doain IP gue nggak seburuk itu ya,hem.

No comments: