Saturday, January 4, 2014

Sebuah cerita di kios tua

Gue hendak menulis refleksi diri dan banyolan petualangan terbaru gue ketika ingatan kemarin senja menghantam gue. Boleh ya sekali-kali bagi kisah rada sendu.

2013 merupakan tahun luar biasa yang membawa gue pada banyak kesadaran. Tahun ini juga ditutup dengan peristiwa yang menyedihkan bagi beberapa orang, wafatnya nenek gue, om gue, ayah dari sahabat gue (yang dengan sukses membesarkan seorang pecinta damai, loyal, toleran, campur tukang ngobok comberan).

Namun yang paling membekas (dalam arti membuat gue berfikir dalam) adalah saat kemarin gue tahu bahwa seorang pedagang buku bekas langganan gue jaman kecil meninggal dunia entah sejak kapan.

Gue jadi berfikir betapa lemahnya kepekaan gue terhadap berita kehilangan. Gue jarang menangis untuk kasus ini. Menangis pun karena empati, bukan rasa kehilangan. Rasa kehilangan selalu diiringi dengan kelegaan, mengingat yang pergi kini berdamai dengan penciptanya.

Kembali pada kisah kios tua.
Ada sebuah kios kecil berisi buku tua di jalan bendungan jago, 200 meter dari rumah pertama gue. begitu kecilnya hingga buku-buku yang dijejalkan didalamnya membuat suasana kios seperti gudang. Waktu kecil gue suka banget mampir ke toko buku bekas itu untuk beli majalah donal bebek dan bobo. Harganya masih seribu perak. Kadang gue beli komik dragon ball, kenji dan captain tsubasa seharga 3000 perak serta sejumlah komik semi hentai dengan harga yang sama. Seperti halnya kebanyakan pedagang, sang bapak bersikap netral terhadap semua bacaan yang gue beli.


Gue langganan tetap majalah bekas donal bebek dan bobo. Dan seperti halnya sifat manusiawi yang terlepas dari kepentingan, sang bapak mulai memperhatikan dan menyambut kehadiran gue versi kecil yang suka beli buku. Sampai detik ini, kami sama-sama nggak tahu nama masing-masing. Kami kadang bercakap tentang sekolah gue, saat itu gw masih bencong pujian dan suka tersipu malu kalo dipuji tentang nilai yang bagus.

Hingga akhirnya sekitar kelas 6 sd gw berhenti belanja disana. Entah mengapa.

Beberapa tahun kemudian, akhir SMP gue mampir lagi untuk ngebeli komik dalam rangka iseng. Toko itu masih berdiri disana. Dan sang bapak, menyambut gue dalam ingatan yang cukup segar, menjabat tangan gue sambil membetulkan kacamatanya yang retak sebelah. Waktu kecil gue punya feeling dan kepedulian yg besar terhadap orang hingga pernah berencana membelikan beliau kacamata baru. Hal itu tidak pernah terjadi.

Beberapa tahun kemudian gue kembali kesana ketika SMA. Sang Bapak masih mengingat gue. Senyumnya tidak berubah, kacamatanya masih sama, seakan waktu tidak berjalan di tempat itu. Kehangatan sambutannya juga tidak berubah. Ia melempar pujian saat mengetahui gw bersekolah di SMA yang cukup baik. Hanya disini gw dihalalkan menjadi bencong pujian. Sungguh.

Gue membeli beberapa majalah donal bebek dan komik sinchan bekas.

Persis kemarin ketika gw dengan sengaja jalan kaki untuk menapak tilas daerah masa kecil gue, gw kembali ke toko tersebut. Diam-diam, gue membawa ego masa kecil gue untuk melihat senyum bangga si bapak bila mendengar sekarang gue sudah kuliah. Terlepas dari kepahitan dunia kampus dan realitanya. Gue hendak menjabat tangannya dengan erat untuk mesyaratkan terima kasih, bapak ikut serta membangun masa kecil saya.

Siang hari, toko tersebut tutup. Gue harusnya tau persis bahwa toko tersebut buka dari jam 5 sore hingga sekitar 10 malam. Namun gw tetap bertanya kepada orang di bengkel sepeda itu, apakah toko tersebut masih berdiri.

Masih, katanya.
Masih si bapak yang jualan?
Ooh, si bapak sudah meninggal, sekarang isterinya yang jualan. Tokonya buka jam 5 sore.

Gue tahu. Gue bahkan tahu si montir sepeda tersebut sebab dia telah berada disana sejak gw SD.

Gue mengingat banyak hal tentang tempat itu. Bau buku bekas, tumpukan buku tua yang tidak tersentuh orang, bau debu, kayu busuk dan segala keremangan kios 2,5x2,5 m tersebut. Gue ingat bagaimana si bapak dengan kacamata setengah pecahnya duduk di depan kios menunggu pembeli sambil membaca. Wawasannya tentang buku tidak terlalu luas, entah mungkin hanya asumsi gue semata sebab gw nggak pernah bisa bercakap tentang donal bebek dengan beliau. Gue ingat senyumnya, dan jabat tangannya tiap gue beranjak besar beberapa tahun. Seakan kemarin.

Gue tidak menangis, atau terguncang. Hanya sedikit menyesal. kenapa dulu, gue nggak pernah bertanya, kacamata bapak minus berapa.

Akan ada kemungkinan gue lewat jatinegara dan membeli kacamata murahan yang layak dicinderamatakan. Akan ada bila gue pernah bertanya.

Saatnya bermelankolis. Kita tidak akan sadar betapa kita kehilangan seseorang hingga menyadari hal-hal kecil yang melekat dalam momen satu dua menit. Namun ketika momen berselang tahunan tersebut hanyalah satu-satunya ingatan antara, momen tersebut menjadi sangat bermakna, dan seperti halnya semua entitas yang bermakna, momen tersebut menjadi kekal.

1 comment:

Unknown said...

tisu. . . .mana tisu. . . .