Saya senang bersepeda. Apalagi ketika malam, sebab sepi sendu. Namun saya segan pada gulita, lubang jalan jadi tak kasat mata, tiba-tiba menarik mengundang kaget. Juga maut. Lantas lampu jalan jadi sahabat, semakin dilihat, semakin saya merasa dekat. Ini sebait puisi untuk lampu jalan, saya jadi mencinta. Mungkin kalimat terakhir membuat kalian membayangkan adegan senggama saya dengan lampu jalan, hingga basah dan asin. Yah, bukan sih. Dosa tahu. jinah.
Lampu jalan menerangi ibu kota
Ia sang wanita pencemburu
yang iri pada senja abadi
dan semua pemujanya
mencuri sebiji sawi tinta emas sang senja
lantas mengganda memanjang di jalan
kadang aku melihat ia bak mata yang lapar
kadang merentas rintik tercecer nan damai
dan kadang merupa air mata
Ia yang harus puas pada stagnasinya
menadi jalan, diacuh para pelalang yang lelah
berupaya menghias malam, tertampik hujan
lantas mati di pagi hari, tanpa esa ketenggelaman milik sore
meredup, mendingin, membiru, lalu terbunuh
padam terlupa, tiada pemuja, lagi mencoba
menyambung senja, berusaha menjadi kasih bagi malam
wahai wanita, yakini
aku menyanjungmu
jika kelak nyawaku padam,
aku tak sudi kekononan lorong putih mengantar
aku pinta pada-Nya, engkau, dan pendar kuningmu
dalam damai dan kekal menjagaku dari gulita
Lampu jalan selalu identik dengan kehoror-hororan. Sosok misterius dibawah lampu. Sosok berjubah dipanjangkan bayangnya oleh lampu jalan. Lampu jalan yang tiba-tiba mati meredup. Sepertinya kita tidak adil, seperti domba stereotip yang percaya semua negro leluhurnya pemanen kapas, dan kalo melihat pohon kapas, bawaannya ingin memetik. Berusaha adil, boleh dong kita sekali waktu menatap lampu jalan di malam sunyi, dan berterima kasih.
No comments:
Post a Comment