Wednesday, September 17, 2014

Prelude : gowes solo keliling jawa

9-22 agustus lalu gue melakukan perjalanan keliling jawa (jakarta-bandung-cilacap-jogja-solo-malang-surabaya-semarang) dengan sepeda. Berbekal uang 500ribu dan gear seadanya gue ngelakuin perjalanan nekat yang ngorbanin banyak hal, terutama tanggung jawab gue di organisasi kampus.

Masih sulit untuk merumuskan : ngapain sih gue gowes keliling jawa?

Masih terbata-bata jika ada yang bertanya demikian. gue bisa saja menyerahkan 1001 alasan cadangan kepada mereka yang nanya. Dan nggak kesemuanya bener-bener sahih. Gue memulai perjalanan dengan motif yang jelas: Gue pengen tahu apa yang bisa diberikan jalanan kepada gue.

Dari kecil, gue ingat bener gue anak cengeng yang doyan kocar kacir dan kelayaban. Waktu umur gue 6 tahun, gw pernah jalan-jalan sendiri menuju rumah temen gue yang jaraknya sekitar 700m dari rumah, waktu itu rasanya jauh banget, dan gue sangat seneng. Gue hampir ketabrak motor, dan waktu sampe sana, nggak ada orang dirumah. Jadi gue pulang gitu aja. Sampai rumah gue disambut bokap yang ngamuk dan nyabet pantat gue dengan galak. Gue nangis berat dengan ingus meler sambil digendong nyokap, waktu itu gue nggak ngerti, kenapa nggak boleh? Toh gue masih tau gue pergi kemana dan harus ambil jalan kemana untuk pulang. Dan toh gue pulang.

Menjelang akhir SD gw dibeliin sepeda, dan setiap sore gue selalu memastikan gue menempuh jarak yang lebih jauh dari hari sebelumnya dengan sepeda tersebut. Hingga suatu sore gue balik jam stengah 7 malam dan kena marah bokap lagi. Sejak hari itu gue hanya boleh bersepeda hingga jam 5 sore.

Waktu jaman gue nganggur sebelum kuliah, 3 tahun silam, gue backpacking ke banten sendirian. Gue nginep di kampung orang ketika harusnya hari itu gue pulang jakarta. Hp gue mati dan keesokan harinya gue pulang disambut bokap yang diam karena marah. Kata nyokap, bokap gue hampir ngelapor polisi kalo gue nggak pulang hari itu.

Gue nolak dibilang bandel. Gue kelamaan nurut dari kecil. Gue cuma pengen tau ada apa diluar sana. Selama masih tau jalan pulang, gue akan dengan senang hati menebas jarak.

Ketika akhir perjalanan tiba dan gue sampai dengan selamat dirumah setelah menempuh 1200km, bokap menyambut gue, kali ini dengan senyum dan menjabat tangan. Kemudian gue mampir ke tempat om gue yang mewariskan sepeda yang gue pake untuk perjalanan ini. Kita ngobrol panjang lebar.

Terjawab sudah mengapa banyak orang mengoposisi apa yang gue lakukan. Bukan semata-mata karena hal ini nggak praksis di kalangan masyrakat, dirasa buang-buang duit ataupun membahayakan. Hanya saja, ketika gue di jalan, yang merasa gue hidup hanya gue. Orang lain nggak tau apakah gue baik-baik saja atau enggak. Intinya; orang yang sayang kepada kita, adalah orang yang mencari. Ini nggak absolut, tapi paling mendekati. Bukan semata-mata ini bikin orang kuatir gue mati. Tapi kuatir gue lupa pulang.

Sejauh itu dan sesederhana itu.

Konyolnya, gue punya motivasi untuk merekam perjalanan dengan mencari cerita dari beragam orang. Gue bilang, ini bukan tentang gue, ini tentang orang-orang di jalan. Gue mau belajar.
Tololnya, gue malah melupakan tentang orang-orang di rumah. Semakin jauh gue menggowes, semakin pudar bayangan tentang orang-orang dibelakang. cuma gue dan orang baru, lama-lama jadi cuma gue. Lantas gue tersesat.

Pada akhirnya, dari beberapa catatan yang diberikan jalanan, ia menyiratkan suatu tulisan dengan tinta merah; berpulanglah, karena itu tempatmu berasal. Bicaralah, karena nafas pertamamu kau hembus disana. Ingatlah, karena mereka mengingatmu.

Gue pergi mengelilingi jawa untuk sadar bahwa gue harus berpulang.