Sejatinya
dalam prinsip fenomenologi (sebagai metode mengkaji proses pemahaman sebuah
fenomena), sebuah fenomena diibaratkan sebagai mahluk. Sebab ia memiliki sifat
menampakan diri secara aktif dan objektif. Subjek adalah penerima penampakan
dan mengakumulasi sendiri arti dari fenomena tersebut melalui intensionalitas
dan noema. Artinya disini yang perlu digarisbawahi adalah perbedaan tampak
(subjektivitas pencerna) dan menampak (objektivitas fenomena).
Malam tahun baru adalah malam yang
disetujui lebih banyak orang sebagai suatu pergantian tertentu dari lintas waktu.
Ini saat dimana semua orang, dari beragam agama dan pemahaman, sadar dalam
kesetujuan bahwa “oh, bumi kita sudah sekali lagi mengeliling matahari ya, kita
menua bersama”
Dalam suatu titik pergantian waktu,
penyikapannya bisa bermacam-macam. Yang paling umum adalah selebrasi. Beberapa
orang melakukan intimasi. Ada yang menyendiri. Dan sisanya bunuh diri.
Kesadaran tentang pergantian waktu bebas dari repetisi, sebab ia adalah titik
untuk melakukan evaluasi.
Semangat selebrasi bisa
diikutsertakan dalam ranah evaluasi, berapa banyak hiruk pikuk yang nampak
tahun ini? siapa saja yang tidak hadir? apa saja yang berbeda dari yang hadir?
Siapa yang tertinggal? Fenomena tahun baru menampak dari setiap subjek yang
larut dalam selebrasi, berhubung intensionalitasnya adalah bersyukur dalam hura
dan gelora, kesimpulan fenomenanya berujung pada ‘tahun ini kurang lebih sama
ramai, sama macet, dan sama bising, syukur masih hidup’.
Enak, tapi sayang.
Lain
jalan lain bangkai tikusnya, para penghamba intimasi melihat kebelakang dan
mengorek kembali apa yang salah dan apa yang bisa lebih benar melalui mantra
‘seharusnya’. Ini juga evaluasi. Intensionalitasnya dimulai dari ‘saya
kemarin’, sehingga ujungnya adalah ‘tahun ini harusnya banyak yang bisa saya
lakukan’.
Nggak enak, dan sayang.
Seharusnya? Baik selebrasi haha-hihi
maupun intimasi dua-duanya ikut merayakan pergantian waktu dengan mengundang
fenomena yang sebenarnya. Fenomena kebertumbuhan. Dengan menyadari
kebertumbuhan, kita tidak hanya merayakan keberhasilan bertahan hidup ataupun
mengulik setahun yang sepahit kopi tanpa gula, tetapi juga sadar bahwa kemarin
dan besok tidak boleh dibelah duren. Siap menghadapi besok berasal dari keinsyafan
kemarin. Dan menerima kemarin dihasilkan dari kemauan bertemu besok. Keduanya
kawin menjadi sekarang, di titik ini. Bukan semalam ketika tahun baru, atau
tahun depannya, tahun baru islam, atau tahun baru nasrani. Intensionalitasnya
dimulai dari ‘sekarang’, maka ujungnya adalah ‘saya bertumbuh, dan saya
bahagia’.
Tanjung Priok, 1 Januari 2015