"gue belum dapet feel-nya" -kata seorang teman. "gue nggak passion disitu" -kata saya
Ini kalimat yang sering terdengar di sana-sini. Feel atau passion yang dimaksud, menurut Mihaly Csikszentmihalyi, disebut sebagai Flow. Bedanya mungkin feel atau workflow, dayanya lebih singkat ketimbang passion dan kemenerusannya.
Flow merupakan suatu kondisi mental ketika pelaku mendapati dirinya fokus pada pekerjaan dalam dunianya sendiri, lantas terlihat seperti scene di film saat protagonis menghadapi titik balik kehidupannya secara gemilang. Kondisi ini terjadi karena tantangan dari suatu masalah dan skill yang dimiliki untuk menyelesaikannya sama-sama berada pada level yang tinggi. Disebut sebagai secret of happiness, Mihaly berangkat pada fenomena seniman yang tenggelam dalam proses kreatifnya. Betapa merdeka mereka yang membuat sesuatu dengan tujuan seni sebagai seni.
Wikipedia bilang, kondisi Flow diperlihatkan melalui beberapa indikasi:
Intense and focused concentration on the present moment
Merging of action and awareness
A loss of reflective self-consciousness
A sense of personal control or agency over the situation or activity
A distortion of temporal experience, one's subjective experience of time is altered
Experience of the activity as intrinsically rewarding, also referred to as autotelic experience
Mihaly juga menyebutkan bahwa Flow adalah kondisi yang dapat diraih dan dilatih. Dengan kata lain, hak semua bangsa. Tentu saja ini menjadi demikian menarik dan seakan-akan menjadi jawaban surga tentang pemecahan masalah semua orang; tidak bisa menyelesaikan sesuatu dengan baik, atau sama sekali.
Ini diagram yang penting, untuk melihat bagaimana posisi dan kondisi ajaib Flow dapat diraih.
Tentang mengalami hal itu, saya menggunakan contoh pengalaman touring sepeda. Saya paham bahwa jarak 100 km adalah jarak yang sulit untuk diselesaikan dalam satu hari. Namun hal itu jadi mungkin selama skill yang saya miliki cukup mumpuni. Saya memahami skill (cara mengendarai sepeda dengan benar, bukan dengan gemar) dan tantangan terkait (berapa banyak tanjakan, pemberhentian, dan pembagian waktu istirahat) secara realistis. Memang 6 gejala diatas terjadi. Aspal yang panjang terasa demikian mulus. Hanya ada saya, sepeda, dan jalanan. 12 jam, tidak terasa selama itu.
Dalam contoh keseharian yang lebih relevan, tentang membaca. Membaca buku itu tantangan. Pun orang menyatakan gemar membaca, dalam prosesnya membaca melibatkan situasi argumentatif hingga lembar terakhir. Bedanya, seberapa kompleks kebutuhan argumentasi yang muncul bagi bacaan yang berbeda. Skill membaca; mengurai arti dan membandingan pengetahuan, perlu sebanding dengan tantangan dari buku yang dibaca, bukan cuma soal tebal, tetapi isinya.
Melalui art of Flow kelihatannya memang hidup akan lebih mudah. Namun seperti yang kita tahu, ngga segampang itu sih.
Portal komplek
Rintangan yang saya pahami untuk mencapai dimensi Flow ada 2.
Yang pertama bahwa challenge yang bekerja pada masyakarat (bersifat aktual) kadang tidak sebahasa dengan challenge yang kita miliki. Disini challenge, sebagai hal yang harus diselesaikan. Misalnya,bagi saya membaca ulang invisible cities untuk menangkap cara mencacah kualitas ruang dan potensi kawin silang antara narasi dan arsitektur, jauh lebih penting daripada membuat DPT. Padahal kenyataannya, SAMA. Hanya beda bahasa.
Yang kedua, kita cenderung mempersepsikan tantangan lebih Maha ketimbang realita. Misalnya, buku tebal itu susah dibaca. Atau yang konyol adalah menyepelekan suatu tantangan. Misalnya membaca buku yang temanya asing sama sekali itu cukup sepotong-sepotong.
Bisa saja, dan umumnya orang curang. Dengan menurunkan derajat tantangan menjadi 'tinggi' ketimbang 'begitu tinggi' lewat permainan mindset dan motivasi artifisial yang berjarak dengan kenyataan. Namun, seberapa lama itu akan bertahan?
Selalu saat kenyataannya menabrak (dan biasanya ditengah medan pertempuran), variabel lain muncul dalam proses menyelesaikan masalah. Yakni kekhawatiran atau rasa percaya diri berlebih. Perubahan psikologis ini ujung-ujungnya mengganggu ritme Flow menjadi naik dan turun sepanjang proses penyelesainnya. Reality check!
Sebelum muntah, sebat dululah.
Cara lain yang pernah saya lakoni adalah mencacah suatu masalah menjadi beberapa masalah kecil dalam satu proses. Misalnya bagian yang paling menyenangkan dari membuat maket adalah mengukur dan memotong bahan (iya, sedih). Menatanya, lalu, mempercantik. Kondisi Flow bisa ditempatkan pada pecahan masalah yang saya kuasai, lalu untuk pecahan masalah berikutnya kembali pada daya untuk bertahan. Cara ini, nggak asik.
Nerdwriter, salah satu channel baik di Youtube, membahas Flow dan seni untuk bekerja. Hal ini membuat saya ingat tentang art of labour dari buku The Human Condition. Pada kesimpulannya, jika orang kembali, atau mampu menilik nilai intrinsik dari suatu pekerjaan mengerjakan desrep demi desrep, rasanya kita, terutama saya bisa selamat.
Refleksi
Tentu saja, tujuan dari tulisan ini mengingatkan saya, bahwa kesulitan menyelesaikan desrep tidak berada di langit ketujuh, serta tidak semudah membalik telapak tangan. Saya juga mengamati, selama menulis postingan ini, saya tidak mengalami proses Flow yang ajaib, lebih pada kondisi arousal. sebab niat dari merampungkannya ada 2, yang pertama mencatat dan merencanakan, yang kedua memperlebar jarak dengan kegugupan. Untuk postingan ini, saya tidak murni menulis untuk menulis, atau menulis untuk membebaskan pikiran. Yang paling utama, saya sebal dengan tulisan berbau motivasi pasar yang praktis.