Tuesday, July 5, 2016

Hentai


Saat nyaris batal puasa karena tak sengaja berpapasan dengan konten hentai di Tumblr, saya tiba-tiba kepikiran; Bagaimana bisa sesuatu setabu dan seabnormal ini berkembang seperti agama?

Menurut google trend statistic, keyword hentai paling banyak dicari oleh masyarakat Filipina (100), yang kedua Indonesia (73). Saya curiga bahwa penduduk Filipina yang mengakses kata kunci tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah pelajar/mahasiswa Indonesia yang tengah merantau dan merindukan golden boy. 


Pertanyaan kedua muncul, bagaimana bisa perkembangannya juga melejit di Indonesia?

Dalam ringkasan: Sejarah hentai sudah berakar di Jepang sejak 1814. Tahun dimana masyarakat barat merayakan istilah ideologi transendental dan beberapa tahun sebelum kita dipaksa bercocok tanam sambil berkeringat darah. Pada tahun itu, Hokusai Katsushika menerbitkan novel The Dream of Fisherman, kisah tentang pencuri wanita yang dihukum dengan mengawini gurita, yang kelak melahirkan tentakel sebagai arkitipe simbol hentai[1]



Sementara di Indonesia, konsentrasi perkembangan hentai sulit dilacak terutama karena hal ini dinilai tidak signifikan, serta tidak ada catatan sejarah bahwa pedagang kapal menyelipkan hentai sebagai salah satu bentuk pertukaran terhadap rempah-rempah. 

Lewat ingatan pribadi, sejak saya SMP komik hentai sudah booming, dalam judul yang tidak saya ingat akibat hilang di bawah kasur serta judul-judul lain yang translasinya busuk setengah mati. Saat itu, komik hentai tidak lain berfungsi sebagai kunci jawaban tentang keingintahuan mengenai sesuatu di balik beha. 

Pakar hentai yang saya kenal (ridho dan rahadian) memahami bahwa produk cetak bajakan yang beredar di Indonesia lebih condong masuk ranah ecchi atau doujin (self-publishing work) yang melibatkan konten vulgar di dalamnya sebagai penyedap cerita. Hentai di sisi lain, secara tegas menjual eksplorasi seksual yang cenderung ganjil kepada peminatnya. Belakangan, hentai yang tidak berbasa-basi ini marak di jejaring maya dengan translasi yang sudah lancar berbahasa Indonesia baku.

Keganjilan yang saya maksud dari hentai antara lain tingkat abnormal dari fantasi seksual, dramatisasi visual, semangat misogis dan objektifikasi terhadap perempuan. Yang terakhir memang stereotipe dari pornografi, sisanya secara ekslusif dapat dikatakan sebagai kualitas substansial yang dimiliki hentai[2]. Fantasi seksual melibatkan elemen-elemen asing seperti alien, peri, dan fetish yang mengejutkan, sementara dramatisasi visual diperlihatkan mulai dari ukuran perbendaharaan fisik hingga posisi seks yang melebihi kepiawaian aktor sirkus. 

Imajinasi ini sukar untuk disajikan melalui pornografi live action, sebab membuat robot tentakel yang lincah dan memburai isi perut itu efek yang mahal. Sehingga fleksibilitas hentai sebagai produk ilustrasi lebih sering menjadi jawaban untuk menyalurkan imaji tersebut. Tuntutan untuk mengakali UU sensor pada 1907, mengakibatkan hentayist menggambarkan proyeksi seksual lewat alterasi simbol tentakel dan mahluk fabel untuk menggantikan penis dan birahi. Ternyata metode ini bertahan dan menjejak pada produk hentai belakangan. Disini, hentai telah mengalami pergeseran fungsi dari reaksi terhadap sensor menjadi sebentuk budaya populer di Jepang[3].

Sialnya, Indonesia yang jarang memiliki respon kreatif terhadap sensor, mengadopsi hentai sebagai sub kultur yang sama. Hal ini sejalan dengan popularitas anime dan manga yang berkembang di Indonesia sekitar 1990an. 

Indonesia sendiri punya sejarah lakon erotis yang mandiri. Hasil perburuan memperkenalkan saya pada Enny Arrow. Penulis novel stensil yang berkembang pada 1980an. Kedekatan kita pada tradisi tulisan, melahirkan karya akbar sejurus "Bahana Asmara", "Puncak Bukit Kemesraan", dan "Kisah Tante Sonya"[4]. Sementara dari aspek visual, kembali lagi melalui ingatan, komik Indonesia bergerak pada nuasana dunia persilatan dan epos pewayangan, tidak ketinggalan fan-fiction petruk dan gareng yang betul-betul seru seharga seribu rupiah. 


sedap


Sementara produk komik yang mendekati bentuk hentai dalam tema keganjilan, adalah seri siksa kubur yang pernah membuat saya rajin beribadah.



Menghemat kesimpulan, situasi perkembangan hentai kontemporer di Indonesia, selain karena tren turunan, muncul akibat respon terhadap sensor konten pornografi. Tidak heran bahwa peminat aktif hentai berasal dari remaja atau anak-anak. Selain kontennya lebih mudah diakses, hentai lebih mudah diterima sebagai paket dosa yang lebih murah, karena sebagian besar orang masih menganggap bahwa kartun bersifat mubah. Sehingga popularitasnya dibalik jeruji sensor lebih leluasa. 

Jika saja Eny Arrow adalah kartunis, pasti lain ceritanya. 

Disini saya berjarak dengan sikap mengenai moralitas membaca hentai. Toh kadang saya juga mengapresiasi beberapa produk hentai sebagai upaya kreatif untuk menyalurkan proyeksi seksual. Seperti seni baroque, hentai membahas ekspresi yang tergolong tabu dan merayakan unsur primodial dari manusia; seksualitas, hanya saja dengan cara yang cenderung banal.

Pencarian saya berakhir pada kenyataan nihil bahwa hentai dan signifikasinya di Indonesia berlaku sebagai alternasi terhadap pornografi secara umum. Perbedaan utama yang berlaku adalah bahwa di Indonesia, hentai sebagai budaya tandingan tidak menelurkan komunitas yang mengapresiasi penulis manga ataupun memberi kontribusi terhadap ekspresi kreatif secara masif maupun industri yang menguntungkan seperti di Jepang, melainkan sebagai bentuk perlawanan gagap dan penyaluran naluri seksual secara instan. 

Namun jangan khawatir,



Pranala luar: