Diantara banyak kalau, saya kadang melamun tentang skenario kelahiran. Pertanyaan semacam itu memang melorong jauh dari hal-hal yang perlu dipikirkan. Misalnya, saya dilahirkan sebagai anak juragan ayam goreng, mungkin hidup akan lain. Dulu saya sempat berharap begitu. Namun hidup yang liyan belum tentu semenarik ini.
Beberapa waktu lalu sepupu dekat saya melahirkan, dan kejannya membuahkan hasil yang ganteng. Dari hidung sampai dagu si anak menyalin ibunya. Bapaknya kebagian bagian bawahnya. Keduanya sangat bahagia, dan kebahagiaan yang tidak dibuat-buat selalu menular. Sayang sekali saya belum kebagian bertemu si anak, yang kelak saya ajari untuk memanggil saya Paman. Bukan om, bukan pakde.
Kalau-kalau si anak lahir sehari kemudian, ia akan berulangtahun sama dengan kakeknya. Om paling gaul dengan nama tokoh wayang yang saya kagumi. Sayang sekali, beliau sudah berpulang awal tahun kemarin. Banyak harapan yang ditanam pada si anak, tentu saja, tetapi lebih banyak kelegaan dan kegembiraan di tengah situasi semacam ini.
Selain yang telah disebutkan, beberapa teman dekat turut membawa momongan. Berita kelahiran selalu membikin saya gembira. Tidak seperti berita pernikahan, kabar kelahiran tidak membuat saya jengah. Anak adalah bentuk paling nyata dari urusan cinta. Baik dengan atau tanpa rencana, kelahiran lebih banyak ditunggu-tunggu. Di hari pertamanya lahir, seorang anak telah didoakan dengan sedemikian rupa.
Persis tanggal 1 kemarin misalnya, seorang teman yang belum kepala tiga dikaruinai anak nomor dua. Saya kedapatan membantu menggali lubang ari-arinya jam 11 malam. Tidak terpikir saya akan memulai tahun baru seklenik itu. Namun yang menarik kemudian adalah obrolan dengan ibu teman saya, yang menjelaskan lagi ritual tersebut sebagai bentuk doa dan banyak kalau-kalau.
Sebetulnya saya tidak asing dengan ritual penguburan ari-ari, yang diperlakukan sebagai perwakilan si anak. Dengan sendirinya, segala perlakuan terhadap ari-ari adalah bentuk doa. Ia dicuci bersih, kemudian dibumbui bermacam rempah agar watak anaknya menarik, kendilnya diberi kain dan perca agar si anak bisa berpenampilan, dikubur bersama jarum agar lakunya tajam, dan ditanami pipa agar ia pandai mendengar. Tak ketinggalan, ari-ari ditanam di depan rumah agar si anak dapat memimpin.
Saya jadi melamun, apakah ari-ari saya dimakan kucing sebelum diurus seperti itu.
Saat saya berkunjung ke rumah, kami membicarakan hal tersebut. Ibu mengguyon bahwa bapak mencuci ari-ari sambil berdangdut, lalu merembet ke hal-hal kecil lainnya yang baru bisa diingat belakangan. Tematik hari itu adalah anak, dan memaksa saya untuk kembali berlakon sebagai anak.
Banyak harapan yang ditanam pada anak dan kandas, dalam soal saya, yang kandas jauh lebih banyak. Seakan sawah yang terlibas puso, kemudian banjir menahun. Namun saya tidak menemukan sedikitpun raut "kalau saja" di wajah orang tua. Saya cukup beruntung untuk diizinkan berjalan menjadi orang tanpa dituntut banyak syarat, dan saya bisa pulang sebagai anak kapanpun saya mau.