Saya pernah bertanya pada paman saya. Buat apa sholat berjamaah kalau (1) khotibnya ceramah tentang hal-hal yang berulang, atau kadang isinya mendiskreditkan agama lain (2) jemaatnya hanya datang untuk numpang berucap amin pada doa-doa imam sambil ngantuk-ngantuk. Padahal solat sendiri bisa, dan lebih khusyuk. Sebagaimana orang tua yang berbahagia, beliau menjawab bahwa beliau datang ke masjid tanpa prasangka, dan menganggap semua orang yang datang kesana niatnya baik. Karena niatnya seragam, doanya lebih khusyuk.
Saya bingung, waktu itu.
Tanpa memahami istilah zeitgeist,
genius loci, maupun pengalaman ruang, paman saya menyadari betul dalam bahasa
yang praktis bahwa sholat berjamaah merupakan ritual untuk mencapai kedamaian secara
kolektif. Artinya, pergi ke masjid bukan untuk memperkuat doa sendiri, tetapi
berpartisipasi dalam doa bersama. Doa bersama lantas menciptakan suatu atmosfir
religius yang merujuk pada efek damai. Dan rumah ibadah, dirancang untuk merangkai atmosfir tersebut. Urusan kekhusyuk-an seseorang di dalam
masjid bukan tugas khotib di atas mimbar, tetapi urusan yang bersangkutan untuk
berserah pada ‘ruang’. Jika ada orang pulang tanpa merasa lebih baik setelah ibadah
bersama, berarti dia salah menggunakan tempat ibadahnya.