Saya pernah bertanya pada paman saya. Buat apa sholat berjamaah kalau (1) khotibnya ceramah tentang hal-hal yang berulang, atau kadang isinya mendiskreditkan agama lain (2) jemaatnya hanya datang untuk numpang berucap amin pada doa-doa imam sambil ngantuk-ngantuk. Padahal solat sendiri bisa, dan lebih khusyuk. Sebagaimana orang tua yang berbahagia, beliau menjawab bahwa beliau datang ke masjid tanpa prasangka, dan menganggap semua orang yang datang kesana niatnya baik. Karena niatnya seragam, doanya lebih khusyuk.
Saya bingung, waktu itu.
Tanpa memahami istilah zeitgeist,
genius loci, maupun pengalaman ruang, paman saya menyadari betul dalam bahasa
yang praktis bahwa sholat berjamaah merupakan ritual untuk mencapai kedamaian secara
kolektif. Artinya, pergi ke masjid bukan untuk memperkuat doa sendiri, tetapi
berpartisipasi dalam doa bersama. Doa bersama lantas menciptakan suatu atmosfir
religius yang merujuk pada efek damai. Dan rumah ibadah, dirancang untuk merangkai atmosfir tersebut. Urusan kekhusyuk-an seseorang di dalam
masjid bukan tugas khotib di atas mimbar, tetapi urusan yang bersangkutan untuk
berserah pada ‘ruang’. Jika ada orang pulang tanpa merasa lebih baik setelah ibadah
bersama, berarti dia salah menggunakan tempat ibadahnya.
Dalam skala individual (dan terus
sampai bawah), saya pernah ngobrol dengan teman tentang kasus orang-orang yang
mati bunuh diri di apartemennya. Saya punya argumen: ada yang salah dengan
arsitekturnya (program ruang/ skenario arsitektural). Teman saya meneguk kopi
sambil menghela nafas (dia sadar betul saya sedang meracau dan berdalih),
menurutnya, arsitektur sebagai hasil pasif tidak bisa disalahkan. Kendati ruang
“jadi” punya rencana, pihak yang mengisinya yang menentukan fungsi.
Yang goblok ya orangnya.
Argumen terakhir saya (dalam hati), bahwa arsitektur yang baik harusnya dapat
mengkondisikan seseorang untuk hidup secara baik, sehingga skenario mati
dikamar tidak akan terjadi. Kenyataannya arsitektur, sebaik apapun
rancangannya, berawal dari benda mati. Jika tidak diisi dengan (semangat) kehidupan,
bakal pasti menjadi kuburan, tempat untuk mati.
Sebagai orang yang mampu mendekam
dikamar selama berhari-hari dan hanya mengambil nutrisi dari sebungkus indomie,
saya sadar betul perbedaan antara semangat di ruang komunal dan ruang yang
diisi sendiri. Sebagai mahasiswa, yang tujuan utamanya untuk ber-mahasiswa,
saya berusaha mengisi ruang sendiri ini dalam motif edukasi. Namun, terasa kadang benarnya yang dikatakan paman, bahwa tujuan itu akan lebih mudah tercapai saat
berada diantara orang-orang yang tujuannya sama, di tempat yang tepat. Membaca,
jauh lebih nikmat di perpustakaan. Nugas, lebih lancar di kampus.
Sehingga, saya angkat topi pada
orang-orang yang dalam kesendirian mampu mengalahkan ruang untuk tujuannya. Memang keren melihat anak kosan yang 'balik kosan' untuk belajar sendirian. Tetapi perancangan kamar kos memang ditujukan untuk fungsi yang fleksibel, baik dari luasan, level privasi, dan tipe kegiatan, jadi perkelahian tujuan antara penghuni dengan ruang kamar tidak terlalu terasa (masalah niat). Namun pada kasus dimana seorang penulis yang mendekam di penjara mampu terus berkembang bahkan dalam efek panopticon yang membahana, hal itu menjadi sebuah legenda.
Orang-orang yang jujur berkata “saya lebih serius belajar sendirian” dan
betul-betul mendedikasikan dirinya untuk berkembang, sendirian, tanpa asupan dari semangat komunal.
Gampangnya, dan sejujurnya,
komitmennya nggak main-main. Atau dengan kalimat gagah seorang teman “tanpa
kompromi”
Either we seized the moment (contextually saying, space), or the space
seized us.
No comments:
Post a Comment