Saturday, January 8, 2022

There is more to life than wanting


Setahun yang lalu, saya mengira akan terus hidup seperti layangan putus. Terlunta-lunta angin, tidak jelas akan berakhir dimana. Terus mimpi saya direbut pelakor (jika saya perempuan). Untungnya tidak, saya masih hidup dengan kualitas yang lebih baik.  

Ketika kecil, saya (dan mungkin sampeyan juga) dijejali cerita tokoh besar. Anak-anak 90-an mungkin akrab dengan buku seri tokoh dunia sebagai teman pengantar tidur. Saya ingat kado buku pertama dari kakek adalah komik Isaac Newton. Kakek memang selalu ingin cucunya menjadi ilmuwan atau sejenisnya. Judul-judul lainnya menyusul, salah satu tokoh favorit saya Edison, sebelum saya tahu bahwa dia brengsek. Lantas, karena kado-kado ini saya tumbuh sebagai anak yang suka membaca, bahkan punya kegenitan pada astronomi. Misalnya, hingga hari ini saya masih menunggu kedatangan komet Halley pada tahun 2061. Efek samping lainnya, ketika teman seusia bermimpi jadi dokter atau artis (atau anak sekarang, youtuber), saya punya mimpi untuk menjadi bagian dari seri komik tokoh dunia.  

Lalu saat dewasa saya sadar bahwa keinginan menjadi orang besar adalah juga masalah besar. Sepele sebenarnya. Menginginkan sesuatu itu wajar, tetapi menempatkan diri sebagai orang besar menandakan gejala delusi. Semakin tua saya mengenal banyak orang, saya melihat lebih banyak orang besar tidak merencanakan diri untuk menjadi legenda. Hal itu kompensasi dari perbuatannya saja. Kebetulan orang itu jadi berkilau, lalu orang-orang mengelilinginya seperti laron.

Saya berhenti ingin ini ingin itu banyak sekali sejak 2 tahun ke belakang. Saat saya dipaksa untuk bertahan hidup dalam isolasi akbar pandemi. Nampaknya, banyak orang jadi tahu diri atau mengenal sisi lain dirinya saat itu. Misalnya, kawan saya jadi paham dirinya bucin karena berjarak dengan pacarnya. Ada teman yang menemukan bakat bertukang atau berdagang. Yang saya temukan? Bahwa saya sudah punya semua yang saya butuhkan. 

Klise sih, tapi kalau dipikir benar-benar, dengan dilandasi etik yunani manapun, semua orang sudah pada tempatnya. Orang-orang di persimpangan, memang waktunya untuk bersimpang. Orang-orang di belakang meja, walaupun suka berkeluh, memang sudah tempat dan nuansanya begitu. Begitu pula dengan, -walaupun menyedihkan, orang-orang yang kebagian hidup sebagai martir (mati muda, cacat, tidak atau kurang berakal). Begitu bahagianya saya saat menyadari bahwa saya bukan seorang martir. 

Di tahun lalu banyak kesempatan mujur yang saya dapatkan. Mulai dari kerja bersama warga untuk perbaikan kampung, merancang rumah orang di pelosok Sukabumi, menjadi co-curator untuk pameran lucu sebuah museum, menulis buku (yang masih tertunda), menjalani hubungan dengan puan yang sangat baik, melakukan penelitian asik tentang hantu dan arsitektur bersama senior favorit saya. Jadi kini saya melihat bahwa menulis adalah panggilan romantis, tetapi banyak proyek kreatif dan kerja-kerja penelitian yang terbuka bagi saya. Teman-teman saya sungguh baik, dan sejatinya saya gembira bekerja bersama warga. 

Catatan penting untuk diri sendiri (walaupun jarang sekali blog ini saya baca, jadi mungkin untuk yang membaca): bahwa semua baik-baik saja, dan apapun yang sedang terjadi, semua akan kembali normal. Tidak ada perasaan atau masalah yang final. 

Saya butuh setahun konsultasi profesional untuk betul-betul menghayati hal tersebut. Jadi percayalah bahwa pengetahuan ini sudah disokong oleh rumpun disiplin terintegrasi, penelitian panjang, dan gelontoran dana BPJS yang maha besar, bukan sekedar cuap-cuap motivasional. 

Tentu jalan terapi saya masih panjang, ada pikiran berkabut yang belum beres. Misalnya masih ada orang yang saya benci hingga rasanya ingin saya tinju wajahnya jika berjumpa (sekali saja, pow! Lalu saya cabut). Ingatan traumatis ini saya kategorikan sebagai pikiran yang sulit diselesaikan seperti kubus rubiks. Kadang ingatan itu saya coba urai lalu saya simpan dan lupakan, tetapi rasanya akan memakan waktu yang panjang. Namun urusan bipolar memang pekerjaan penuh waktu sepanjang hayat, dan tujuan untuk menjadi penyintas tanpa konsumsi obat masih hal yang saya idamkan. 

Tentang menjadi besar bukan lagi soal. Namun bukan berarti saya berdamai dengan pikiran "yang penting menyambung napas". Ada hal-hal yang masih ingin saya raih, tentunya dengan memahami betul kapasitas diri dan cara-cara aktual yang mesti dilakukan. Jika saya bisa melewati Desember 2020 yang dingin, maka rasanya saya bisa mencapai, dan berhak untuk hal tersebut. 

Saya juga lagi senang membaca mendiang Onghokham, mudah-mudahan kedepannya saya bisa menyalakan lagi api asmara pada perbukuan.  

Oh ya, tanpa dibuat-buat, postingan ini pas setahun sejak tulisan terakhir saya disini. 

Selamat tahun baru, Bangkit. 

No comments: