Thursday, February 4, 2016

Antara jurnal dan data


Udah ganti tahun saja. Pengen nulis vs mengurangi tulisan baper bikin saya berfikir 5 kali sebelum menulis. Alhasil, 2 bulan kosong. Nah kan baper lagi.

Ehm,

Ekskursi merupakan ritual adat atau rites of passage dari salah satu suku yang bermukim di depok, yakni mahasiswa arsitektur UI. Seperti tahun-tahun sebelumya, Ekskursi punya buku. Buku ini naik cetak sebagai usaha pengarsipan budaya arsitektural suatu suku di pedalaman Indonesia, pengamatan ruang dalam perjalanan, serta refleksi mahasiswa. Umumnya, refleksi berkisar tetang betapa insignifikannya pengetahuan kami dalam perjalanan ini. Tentu saja, Pure architecture yang terbentuk tanpa kompromi ekonomi dan politik NKRI akan sulit untuk dijelaskan secara objektif oleh mahasiswa yang masih bingung dengan judul skripsinya sendiri. Akhirnya banyak sesal terselip dalam beberapa buku.

Ekskursi Arsitektur UI 2014; RIMBA: Menapak Jenggala

Ekskursi Arsitektur UI 2013; Tanah Airku, Air Tanahku

Mengenai buku ekskursi Suku Korowai, on going. Bagusnya, tidak terlihat banyak tuntutan dari sana sini sehingga gambling dengan memuntahkan semua ide tidak masalah (PO mungkin tidak sependapat). Saya baru bergabung lagi belakangan lepas pameran internal. Kelimpungan. Sebab data dan jurnal sama-sama mahal. Perjalanan menembus hutan papua dan pengalaman hidup diatas ketinggian adalah suatu hal yang sangat bisa dijual. Namun, tanggung jawab akademis juga memanggil. 

Ada usaha eksperimental untuk merombak pendekatan baku dari buku Ekskursi. Secara adat buku ekskursi disusun dengan narasi+data visual berbobot seimbang 4 sehat 5 sempurna. Narasi yang digunakan diwakili satu-dua orang untuk menceritakan pengalaman arsitektural, pengantar data, sekaligus kesan pesan. Salah satu teman merasa tidak akan ada waktu menulis sehingga mengutamakan bobot medium visual dalam buku.

Tentu saja saya tidak lantas setuju. Sepertinya itu bukan buku, tapi presentasi.

Awalnya saya terangsang dengan ide jurnal perjalanan diselingi pendataan. Lalu sadar nama saya Bangkit, bukan Gie. Ini buku ekskursi, bukan kisah rantau anak arsitektur UI. Ada data berharga yang tidak boleh kalah oleh cerita.

Kemudian sebuah judul terlintas, pada Architecture Without Architect (Rudofsky;1964), ada yang menarik. Buku ini mayoritas berisi gambar arsitektural dengan sedikit narasi. Tidak banyak data kualitatif pada buku ini. Secara garis besar, buku ini seperti dongeng tentang dunia yang berbeda dari hasil kehidupan etnik. Namun, jauh lebih menampar ketimbang beberapa buku kritik arsitektural.

Architecture Without Architect (Rudofsky;1964)

Pertama, AWA dapat dibaca dengan mudah sambil tiduran, sebab bobot visual yang memanjakan mata dari awa lebih besar. Kedua, AWA ringkas dan tepat sasaran, apa yang diutarakan oleh narasi mendukung elemen visual dari buku. Usaha AWA mungkin sebatas nostalgia ketimbang kajian kritis mengenai desain vernakular, tetapi apa yang kami lakukan menurut saya tidak demikian jauh. Tanpa kredibilitas arsitektural, siapa berani melempar konklusi tentang identitas suatu arsitektur? Seperti Italo Calvino dalam Invisible Cities, pada akhirnya ide tentang kota berakhir hanya dalam lamunan Marco Polo. Pada tulisan ini, tidak ada tanggung jawab akademis.

Invisible Cities (Italo Calvino;1972)

Sehingga saya sadar, dalam catatan perjalanan (yang mudah dibaca hingga komersil) maupun arsitektural, gambar 1-0 dengan narasi. Namun tanpa narasi mumpuni yang mengikat, buku itu menjadi arsip yang membosankan. Dengan narasi yang salah, bisa menjadi lambang jumawa.

Lagipula, sebuah tulisan/artikel yang bermuatan narasi tambah informasi cukup sulit untuk ditulis secara seimbang. Seperti main catur sembari melukis. Dalam ingatan saya, memang skip dari membaca jurnal arsitektural terjadi karena panjang tulisan yang keji atau tulisan yang tidak seimbang. 

Akhirnya, kami memutuskan untuk sekalian memecah elemen itu. 
Premis ---> Data---> Persepsi 

Premis merupakan janji/abstrak dari suatu chapter, dilanjutkan dengan data yang menjelaskan secara objektif, diakhiri dengan bagaimana praktek dari data itu kami alami sendiri. Harapannnya, jurnal dan data dapat kawin secara sehat.

Kedengarannya menjanjikan, kenyataannya banyak tabrakan. 
Memang masih di jalan, jauh, tetapi pendekatannya mulai menampakkan hasil. 
Semoga saja pada pameran eksternal bulan depan di Munas, bukunya sudah duduk manja minta dibaca.

No comments: