Sunday, August 7, 2016

Antara Van Gennep dan Jamrud

Rite of passages (1961) adalah Judul buku yang dirujuk dosen pada kelas etno-architecture. Buku ini berbicara tentang liminality dalam konteks kesukuan. Menurut Van Gennep, ada 3 tahap utama dalam pola transisi identitas pada kehidupan berkesukuan. Pre-liminal, liminal, dan post-liminal. ketiganya merupakan tahap yang bekerja melalui mekanisme separation (melepaskan identitas lama), trasition (perjalanan antara menuju identitas baru), dan incorporation (memeluk identitas baru). Buku ini berisi deskripsi yang berupaya memecah pola ritual melalui contoh dari berbagai suku di amerika dan eropa. 

Konsep liminality lantas muncul dimana-mana akibat diperkenalkan kembali oleh Victor Turner dalam Forest of symbol, mulai dari mitos, literasi, budaya populer, hingga kajian arsitektur. Purgatory, sebagai lokasi in-between antara surga dan neraka, (yang menurut guru ngaji saya dulu adalah tempat bagi orang-orang tidak waras), juga memenuhi kualitas dari liminal space. Dream, salah satu karakter pentolan Neil Gaiman, merupakan karakter liminal yang hidup dan mengatur dunia mimpi (i.e. siang dan malam). Di Indonesia, kita mengenal trickster, atau aktor dunia liminal dengan nama Kancil; oportunis dan outsider. Saya sudah curiga dari kecil bahwa kisah kancil bukan tentang pesan moral untuk menjadi cerdas, melainkan licik tanpa ampun. Duar. 

Liminality dalam arsitektur
Sulit untuk membayangkan ilustrasi arsitektur dalam rite of passage, yang mana berfungsi praktis sebagai jurnal etnografi. Namun, petunjuk korelasi antara arsitektur dan ritual kesukuan diselipkan dalam salah satu kalimat metafora Gennep : "as a kind of house divided into rooms and corridors." 
Van gennep tidak secara eksplisit memaparkan hubungan antar keduanya. Ia berfokus pada definisi liminality dan indikasinya, dan secara umum, hal itu dapat bekerja dimana saja melalui mekanisme yang sama. 
Liminal space ternyata dapat diterapkan melalui rancangan, bukan hanya bekerja secara natural atau analogi puitis. Jika kualitas liminal dapat dipaparkan dalam pola, hal ini memungkinkan untuk membuat suatu rancangan berbasis pengalaman ruang yang sama, sehingga mengantar aktor untuk mengalami hal serupa. Nyatanya, hal ini kerap untuk dilakukan hingga saat ini. 

Perbedaan utama antara liminal space dan, katakan distopian atau disorienting space adalah yang pertama tidak hanya menghilangkan identitas lama, tetapi juga menghadirkan potensi baru bagi individu yang mengalami ruang tersebut. Sebagai contoh, Jewish Museum karya Daniel Libeskind, mencoba menghadirkan pengalaman disorientasi kepada pengunjungnya, melalui narasi historis selama melalui museum. Sementara pada rancangan liminoid, seperti kuil yunani dengan campuran kolom lelaki dan perempuan, berupaya menghadirkan kegamangan sebelum mencapai final point altar yang mewakili ke-Esaan dewa. 

Hal ini tampak mirip dengan tema 'in-between' yang menjadi konsep arsenal dari rumah tradisional jepang. Rumah tradisional jepang, dalam perspektif Taichiro Izaki, membagi bagian luar dan dalam rumah melalui keremangan yang dihadirkan oleh teras rumah. Disini, keremangan bekerja sebagai pembatas sekaligus jembatan antara gelap (in) dan terang (out), tetapi tidak lantas menghadirkan kualitas liminal yang wajib mereduksi identitas aktor di dalamnya. Keremangan dalam konsep orientalis, merujuk kepada pengalaman untuk menyatukan diri pada alam dengan menghilangkan batas antara luar dan dalam rumah. Hal ini juga disebut-sebut dalam Empire of sign sebagai usaha untuk melunturkan makna serupa dengan cara Haiku bekerja. 

Jamrud
Nah ini yang penting. Sementara Jamrud, salah satu band yang paling relevan dalam kehidupan kita (ya, saya deh), memberi contoh paling genap dalam mengenal konsep liminality. Salah satu lagu jamrud yang berjudul "Pelangi di matamu" bagi saya menceritakan tentang kondisi liminal yang dialami aktor. 

30 menit, kita disini, tanpa suara
dan aku resah, harus menunggu lama, 
kata darimu
Jam dinding pun tertawa
karena ku hanya diam//dan membisu
ingin kumaki//diriku sendiri
yang tak berkutik di depanmu

30 menit bekerja sebagai kerangka temporal yang melingkupi ruang liminal aktor. Ia menggambarkan bagaimana kondisi tersebut, yang diam-diam memenuhi kualitas liminoid: berada di ruang antara, centang. dalam kegamangan, centang. bingung, centang. dan ketidakpastian dari ujung waktu, dobel centang.

ada yang lain//di senyummu
yang membuat lidahku//gugup tak bergerak
ada yang lain//di bola matamu
yang memaksa diriku//tuk bilang 
aku sayang padamu

Sampai titik ini, saya menganggap bahwa hal itu tidak terucap oleh aktor ybs. Sehingga dapat dikatakan bahwa aktor masih berada di ruang liminal. 

mungkin sabtu nanti//kuungkap semua
isi di hati
dan aku benci//harus jujur padamu
tentang semua ini

Pada akhirnya, aktor masih berada dalam ruang liminal. Iya, rada mindblowing. Jung mungkin akan setuju bahwa hal ini contoh ketika seseorang berada terlalu nyaman di ruang liminal, tidak hendak mengambil identitas baru karena ruang tersebut menyisakan pilihan dan ide tentang keberhasilan, tanpa usaha. 

No comments: