Saturday, October 8, 2016

Puisi dan Arsitektur


Dimuat di Qureta pada 8 oktober 2016

[1]
Saya agak segan jika membaca puisi. Sebagai bentuk literatur paling ekspresif, puisi suka membekas, tetapi sukar menyampaikan suatu gagasan secara teratur. Membaca puisi itu sulit, apalagi merangkainya. Betul-betul berani para pujangga itu bagi saya. Sementara, teman yang masih kuliah sastra tidak sependapat. Menulis puisi ya tinggal menulis saja. Biar artinya dicerna siapa yang mau.

Begitulah pandangan postmodern, yang bagi saya rada berjudi. Berati puisi bagus, dinilai lewat relevansinya bagi banyak orang. Sisanya, terlalu apak untuk diaminkan. Saya tak teruskan obrolan itu karena tahu akan muter hingga subuh. Saya hanya paham bahwa puisi adalah sarana untuk 'merasa' yang nilainya agak labil. Mungkin saya belum mengerti, sehingga saya menunda diri untuk menilai puisi.

[2]
Saya punya teman, sebutlah sukron. Iya, mirip merk kacang (sukro), dan di SMA memang dipanggil kacang. Saya dan sukron sedang jalan melintasi kampus menuju stasiun. Saat melewati suatu gedung infrastruktur kampus, sukron menyatakan pendapatnya tentang gedung tersebut.

"Gue ngga suka gedung ini, keliatannya kayak bangunan belum kelar."

Saya tidak banyak tahu tentang muasal bangunan itu dan arsiteknya. Namun, saya dididik untuk membaca arsitektur dengan teratur. Pertama, gedung itu bekerja sebagai kantor sekaligus studio, sehingga ukurannya masif, cenderung kotak, bahkan agak brutal dari sisi tertentu.

Kedua, saya paham bahwa elemen yang paling membuat gendung itu kelihatan belum beres, adalah upaya untuk mereduksi panas dan cahaya langsung dari matahari siang menggunakan tirai reflektif. Elemen tirai itu sengaja dibuat menonjol dan memanjang, untuk meneruskan karakter tegas dari entrance hingga beton-beton telanjang, yang menonjolkan kesan "teknik" dari gedung tersebut.

Kalau sukron pernah masuk ke dalamnya, ia akan tahu bagaimana jendela itu bekerja. Kalau ia berdiri pada titik yang tepat, ia mungkin akan melihat bagaimana gedung itu membawa dirinya sebagai suatu lambang.

[3]
Tentu saja saya tidak membantah kata-kata sukron, apalagi mengajaknya masuk gedung. Saya cukup senang, bahwa teman saya punya pendapat mandiri tentang suatu rancangan. Artinya, dia mencoba membaca rancangan, dan itu sudah sebentuk apresiasi nyata terhadap arsiteknya.

Namun ini membuktikan hal yang sama. Saya suka dan berusaha untuk membaca puisi bangunan dengan teratur, tetapi orang-orang selalu memiliki kebebasan penuh untuk menilai, dengan atau tanpa aturan.Apalagi, lebih banyak orang memilih untuk tidak menilai. Seperti saya terhadap puisi.

Saya selalu percaya orang sebaiknya punya sikap kritis tentang suatu rancangan. Sebab secara logis, mereka yang menempatinya. Hal ini berbeda dengan puisi yang tidak berkonsekuensi pada kelangsungan raga manusia. Dalam ekstrim saya yang paranoid: Kamu sudi tinggal di penjara hanya karena dicap halal sebagai istana oleh otoritas tertentu? 

[4]
Di sisi lain, teman saya berpendapat bahwa jika masyarakat giat membaca arsitektur atau terlalu kritis terhadap hal itu, para arsitek yang akan repot. Tentu saja ini berakar dari hindsight bahwa bahasan arsitektur selalu butuh modal pengetahuan yang dibangun dari barisan manifesto dan beragam disiplin ilmu. Merancang pasti dengan alasan, sementara kritik yang terlontar seperti diatas, biasanya hanya berasal dari permukaan. Jika 1.000 orang berkata demikian secara radikal, bisa jadi bangunan yang kami lewati itu terpaksa diperbaharui atas nama demokrasi. Mungkin begitu ekstrim teman saya.

Namun, justru dari situ kepercayaan saya tentang sikap kritis itu semakin kuat. Bukan giat, tetapibecus membaca. Membaca arsitektur, sepemahaman saya bukan sekedar merapalkan isi dari majalah arsitektur populer. Wawasan arsitektur bukan sesuatu yang mahal, hanya tampak mewah. Saya percaya orang tidak perlu berbondong-bondong mengikuti kelas Pengantar Arsitektur untuk memahami pengalaman dan kualitas ruang. Kita cukup mulai dengan pertanyaan: sudahkah kebutuhan spasial saya terpenuhi disini? 

Umumnya kritik itu hadir dalam bentuk keluhan tentang suatu rancangan; panas, lembab, atau berisik. Atau pujian lewat tentang suatu bangunan; indah, lucu, unik. Disana arsitektur terbaca di permukaan sebagai kesan, tetapi gagal menghasilkan suatu dialog yang sehat. Dialog yang paling baik terjadi ketika orang tidak hanya numpang merasa, tetapi juga bertindak aktif untuk mengatur ruang, seperti analogi Gaston Bachelard dalam Poetic of Space.

"...a man's building his own house that there is in a bird's building its own nest"

[5]
Membaca buku selalu melibatkan proses argumentatif. Waktu membaca, kita memanggil hantu dari buku-buku yang sudah dibaca untuk menakar nilai-nilai dari tulisan yang sedang kita hadapi. Begitu juga membaca sastra. Tenggelam dalam narasi, bukan berarti menelan kotak-kotak ideologi penulisnya. Namun kembali menimbangnya dengan prinsip milik sendiri. Arsitek menyajikan suatu narasi, yang kita jejaki setiap hari. Mengapa proses argumentasi yang sama tidak dapat terjadi ketika membaca arsitektur?

Pada titik ini, saya merasa bahwa buku Experiencing Architecture Ramussen intinya bicara tentangCara membaca/meraba/merasakan arsitektur. Sejujurnya, saya masih belum berbulat pendapat tentang mengapa orang perlu membacanya (arsitektur), selain keyakinan analogis bahwa arsitektur adalah puisi yang kita tinggali. Mengapa tidak dibentuk seindah mungkin sekalian?

Toh sebelum arsitek hadir, arsitektur sudah lahir duluan. Hal ini mengisyaratkan bahwa orang sudah punya jurus ninja membaca ruang secara natural. Tidak hanya melihat rongga sebagai fungsi berlindung, tetapi juga mata estetis untuk melihat liang gua sebagai pangkal kehidupan.

Demikian bagi saya, Sukron lebih berani daripada orang-orang yang larut dalam guggenheim phenomenon.

Kedua, saya mafhum harus kembali baca puisi.

No comments: