Sekali-kali mbok nulis yang nyambung.
Anggapan saya tentang kata ini berubah dari waktu ke waktu. Dulu saya menganalogikan hal tersebut sebagai taruhan. Bermain hati seperti berjudi, dan jika beruntung ada tangan yang digenggam sebagai bentuk kemenangan, yang kalah makan ati berkuah air mata. Namun, sejatinya bermain asmara lebih cocok untuk dilihat sebagai perjudian di Las Vegas, bukan togel di kampung-kampung. The House always win.
Cinta, secara eksplisit adalah kondisi kimiawi dimana otak memproduksi dopamine dalam jumlah yang tinggi akibat rangsangan-ransangan sensual yang umumnya berasal dari lawan jenis (atau sesama jenis, bodo amat). Akibatnya, fase-fase awal dari cinta menghasilkan afeksi tertentu kepada seseorang. Ngomongin dopamine, saya pernah mengalami ini ketika awal-awal merokok. Pada suatu malam yang ganjil, saya mengepul sebungkus filter sampai tandas. Nikotin juga merangsang produksi dopamine yang signifikan. Sehingga saat itu, selain ingin muntah, saya termenung bahagia karena toleransi saya terhadap nikotin belum seperti sekarang.
Tentu saja cukup tai untuk mereduksi cinta hanya sebagai proses kimiawi di otak.
Elo tuh nggak bakal ngerti yang gue rasain. -semua orang.
Maka, saya mencoba menilik dari sisi kausal, yang muncul dalam bentuk ekspresi-ekspresi tentang cinta. Biar bagaimanapun, jika cinta serendah itu dradjat-nya, maka semua orang yang sedang jatuh cinta pasti cenderung tolol seperti saya malam itu.
Ekspresi tentang cinta terbaik bagi saya tentu saja muncul dari segi tekstual. Banyak literatur tentang cinta, mana yang relevan? Jawabannya hampir semua. Mana yang punya kualitas menjabarkan proses bercinta dengan efektif? Sedikit.
Kebanyakan novel cinta, bercerita tentang proses tarik-ulur dua jenis kelamin. Sisi pasaran dari cinta sebagai hal yang harus diusahakan, dikompromikan, dan penuh pengorbanan, selalu menjadi muatan yang menarik dalam novel-novel jenis ini. Padahal, dengan melihat cinta sebagai kendaraan atau landasan motif pengembangan karakter, secara tidak langsung merupakan sikap yang mengambil jarak dari pengertian cinta itu sendiri. Dari tulisan yang dikatakan cukup berhasil (angka penjualan), definisi tentang cinta dieksplorasi, bukan hanya sebagai proses menuju, tetapi juga menggali kemungkinan tentang apa yang bukan untuk melengkapi pengertian tersebut. Lolita, lepas dari masalah kontroversi, bagi saya merupakan novel cinta yang padat. Sejatinya menulis novel cinta yang bermutu pastilah PR yang berat.
Sungguh, saya ingin muntah nulis beginian. Mari bergerak ke puisi.
Sapardi Joko, secara filsafatik (ada gitu kata filsafatik?), melihat cinta sebagai bentuk transformatif. Dari kayu ke abu, dari awan ke hujan. Bentuk-bentuk ini menyiratkan bahwa cinta, selain tak pakai logika dan tak bisa diukur manusya, adalah elemen yang selalu bersifat progresif, fluid, dan non-hirarkis. Bagi Sapardi pada kumpulan puisi bulan juni, tampak senang sekali menempatkan kualitas kesadaran pada bebendaan. Seperti rumput yang dinamai sebagai rumput, proses penyematan tersebut mendahului esensi rumput sebagai suatu organisme semata. Pada Aku Ingin, yang selalu menjadi senjata gombalan kontemporer, proses transformasi ini lebih mudah dibaca sebagai pengorbanan yang ihklas, bahwa cinta adalah bentuk serah terima fisik yang utuh. Aku bersedia mengabu, agar-dapat-supaya membuat kamu hidup sebagaimana mestinya seekor api.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Sepanjang yang saya tahu, kebudayaan nusantara, Jawa khususnya, mencerna perubahan identitas dengan lebih sederhana. Dialektika Jawa, menurut Nanda, tidak menggunakan oposisi biner sebagai alat untuk menyusun kenyataan. Ini mengapa, misalnya Anuman dapat menelan matahari, atau kurawa bisa jadi seratus dari segumpal daging, atau semar adalah laki-laki sekaligus perempuan. Tidak ada pemisahan pada setiap tokoh pewayangan, yang selalu dapat, -dan seringkali, berkontradiksi dengan prinsipnya sendiri. Misalnya, lelaki macam apa yang minta istrinya bakar diri untuk membuktikan kesetiaannya? Pada falsafah Jawa, yang lain dan yang liyan adalah satu kesatuan.
Perubahan identitas dari awan menjadi hujan pun, tidak kalah menarik. Terbaca bahwa awan dan hujan adalah dua hal yang berbeda. Namun, hujan menandai simbol kelahiran, yang lebih dari sekadar ungkapan pengorbanan. Menitikberatkan kembali anggapan bahwa, cinta dalam puisi Sapardi, bukan tentang merayakan pengorbanan atau menyerahkan diri.
Maka, fiksi cinta yang masih menggunakan atribut umum berupa hubungan lelaki-perempuan tanpa eksplorasi lebih lanjut, merupakan bentuk tradisional. Proses berkasih-kasih yang cenderung hirarkis, melewati ritual-ritual gombalan seperti pada novel cinta umumnya, tidak memperkaya pengertian tersebut (cinta). Sebaliknya, proses tersebut merayakan normalisasi, atau menyederhanakan dimensi cinta menjadi proses menuju kebahagiaan, yang sepengetahuan saya, lepas dari sifat-sifat material.
Sebelum tulisan ini semakin tampak bermuatan LGBT, saya perlu menggarisbawahi bahwasanya, ERK benar, Jatuh cinta itu biasa saja. Selain hasil reaksi kimiawi yang dipadati simbol-simbol personal, juga merupakan ritus bawaan dari hasil berbudaya.
Kedua, semua orang ngerti kalau kita sedang goblok.
Kita berdua hanya berpegangan tangan
Tak perlu berpelukan
Kita berdua hanya saling bercerita
Tak perlu memuji
Kita berdua tak pernah ucapkan maaf
Tapi saling mengerti
Kita berdua tak hanya menjalani cinta
Tapi menghidupi
Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu
Jatuh cinta itu biasa saja
Saat cemburu, kian membelenggu, cepat berlalu
Jatuh cinta itu biasa saja
Jika jatuh cinta itu buta
Berdua kita akan tersesat
Saling mencari di dalam gelap
Kedua mata kita gelap
Lalu hati kita gelap
Hati kita gelap
Lalu hati kita gelap
No comments:
Post a Comment