Wednesday, February 7, 2018

Nikah

Belakangan ini, teman saya banyak yang menikah. Dalam setahun, sudah ada beberapa undangan formal dan informal untuk melipir ke pesta pernikahan seseorang. Biasanya teman SMA, dan sesekali teman kampus. Minggu depan ada yang menikah, beberapa bulan ke depan ada lagi di luar kota, kemarin salah satu kawan punya kabar sudah beranak. Anak, susah sekali membayangkannya.


Undangan ini seringkali mengejutkan walaupun sudah sewajarnya. Tentu saja mengejutkan mengingat kita mengenal seseorang dari wujudnya yang belum menjadi orang. Ketika masih sempat bermalam-malam dan main ke dufan, juga saat hormonnya masih begitu labil, sampai-sampai setelah curhat semalam suntuk, besoknya bisa muncul jerawat di sekitar mulut. Susah sekali untuk melihat mereka menjadi "orang" dalam satuan baku masyarakat urban.

Walaupun menikah atau mengawini seseorang bukan kepastian bahwa seseorang sudah bisa disebut "orang", atau matang dalam pikiran (dalam hemat saya), orang yang menikah mengemban tugas berat dengan menjabatkan dirinya sebagai partisipan aktif nan produktif dalam roda kehidupan masyarakat. Orang yang menikah, barangkali lebih mudah dilihat tuntutan-tuntutannya, seperti memiliki properti yang menunjang kehidupan berumah tangga, membayar pajak, mengayomi satu sama lain, melanjutkan peranakan, mengambil cuti hamil kelak, mengunjungi mertua, serta segunung kewajiban lain yang tidak diatur dalam buku pegangan manapun. Gampangnya, mereka menjelma menjadi kaum percontohan atas pembabakan hidup yang semestinya.

Tentu saja, saya sering tidak siap, untuk melihat teman-teman baik saya menjadi bini atau laki orang lain. Walaupun turut ketularan bahagia, saya cenderung merasa cemas. Bukan, saya bukan cemas bakal gagal beristri. Sebagaimana hal-hal yang gaib, istri bukan hal yang bersangkut paut sat ini. Sekarang, lebih penting memikirkan bagaimana cara menyeduh kopi dengan benar, cara menabung yang baik, membagi tenaga antara kerja dan bukan kerja, hingga bagaimana membaca dengan taat.

Saya adalah orang yang sering terlambat belajar. Misalnya waktu SD saya baru menyadari pentingnya mengenakan pakaian dalam akibat lupa mengancingkan celana sehabis kencing, dan musibah itu terjadi tanpa harus diceritakan secara detail. Atau, saya kelak baru mengerti pentingnya langkah berpikir yang runut setelah membubarkan diri dari kampus. Namun, beberapa keterlambatan itu membuat saya dapat melihat sisi lain dari kode etik masyarakat. Secara tidak sengaja, dengan mendurhakai kampus, saya cenderung melangkahi jalur berpikir yang umum, walaupun seringkali tersandung dan merasa bodoh. Dengan sendirinya, saya menjauhi jalan tol yang digunakan orang waras, dan dari balik sawah saya dapat menyaksikan bagaimana lalu-lalang kendaraan saling mengejar. Berjarak dari yang wajar, membuat saya belajar, terutama untuk tidak menyesal.

Dalam sudut pandang ini, perkawinan menjadi konsep yang sulit dicerna. Merayakan perkawinan seumpama melihat satu pesta maraton. Begitu meriah dan ramai. Banyak orang bersuka cita, tetapi semua tahu bahwa para atlit masih harus menempuh jarak yang panjang sebelum tugasnya usai.

Sebagian besar orang memandang pernikahan sebagai suatu keharusan. Baik dengan motif religius, hingga panggilan usia. Tidak sedikit dari teman-teman saya merasa perlu untuk mengambil istri, karena memang begitulah jalur hidup yang hakiki, apalagi jika sudah bekerja. Apa yang masih dicari? Berumah tanga menjadi tugas wajib dan jika mungkin, disegerakan.

Berumah tangga berarti mempercepat proses pendewasaan diri. Sebab orang dipaksa satu rumah dengan manusia lain, untuk saling mentoleransi hal-hal kecil yang baru diketahui begitu satu atap. Jika rumah adalah tempat seseorang menjadi dirinya sendiri, maka pernikahan adalah cara yang paling cepat untuk melihat sisi terburuk seseorang. Jika seseorang bisa gumoh dengan teman sekosannya, saya sukar membayangkan kesulitan yang bakal dihadapi pasutri baru.

Keharusan tersebut dapat datang dari wejangan-wejangan, atau kadang rasa kehilangan tujuan. Pernyataan "Apa yang masih dicari?" menandai pilihan hidup yang sudah habis selain berkeluarga. Bagi saya jawaban malas tersebut justru menodai prinsip-prinsip keramat dari berumah tangga. Sementara wejangan, yang kerap berakar dari budi, merupakan pegangan bergaransi yang dimengerti oleh kebanyakan orang. Ini yang menjadi pangkal kecemasan saya, saat urusan menikah menjadi suatu keharusan, yang bahkan perlu disegerakan karena memang sudah semestinya. Seperti hal-hal yang mesti lainnya, seperti ibadah, sekolah, dan bekerja. Keharusan yang sudah mendarah daging itu mengandung nilai baik karena memenuhi norma masyarakat. Ibadah membantu orang berdamai dengan dirinya sendiri, sekolah membuat orang becus berfikir dan bijak dalam bertindak, sementara bekerja membantu orang agar tidak menyusahkan orang lain. Begitu pula dengan menikah, yang secara sehat dapat dianggap sebagai proses kolaboratif, agar orang dapat lebih mudah melebur di masyarakat.

Namun, semua kebaikan tidak lepas dari formula yang berangkat dari kata "harus", yang harus diemban begitu saja. Keharusan kemudian mengandung nilai kebenaran, dan menjadi perlu untuk dicapai setangkas mungkin. Tidak ada waktu dan tempat untuk meragu, karena yang sudah terbukti, bukan lagi hal yang perlu ditimbang-timbang.

Kecemasan saya tentu bersifat spekulatif, dan hanya didasarkan pada anggapan-anggapan pesimistis tentang hidup kolaboratif. Bisa jadi bahwa pernikahan bukan melulu tentang tanggung jawab yang mencederai kebebasan dan bersifat prematur, bisa saja memang itu tentang urusan berbahagia. Sementara jika teori evolusi benar, maka orang-orang yang paling adaptif untuk mendapatkan pasangan dan memiliki keturunan, adalah spesies garda depan yang mampu bertahan hidup. Sementara para spekulan, akan punah bersama pikirannya yang bertubi-tubi dengan kelamin menganggur.

Bisa jadi bahwa saya yang belum siap. Mungkin saya masih melihat sahabat-sahabat saya melalui mata bocah, sehingga gagal melihat bahwa mereka sudah menghitung. Mungkin juga saya tidak menghitung alasan lain, karena tidak melipir di kepala. Atau sebenarnya, pernikahan memang bukan perkara transaksional.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya sering terlambat belajar.

No comments: