Friday, March 23, 2018

Tidur


Pagi ini saya betul-betul teler. Belakangan regulasi kantor menetapkan waktu masuk jam 8 pagi. Ini artinya saya tidak lagi bisa tidur jam 3 pagi sehabis membaca segepok komik. Namun, dari regulasi ini kantor memberi kompensasi waktu pulang lebih sore yang cukup menggiurkan. Walaupun sebagian besar pegawai tahu bahwa pola kerja desainer arsitek sini tidak mungkin menyanding jam kerja PNS, setidaknya pada periode percobaan ini, seluruh isi kantor dapat mencicipi rasanya pulang sore seperti manusia normal. Biarpun bukan arsitek, saya turut datang pagi, untuk mengalami rasanya pulang masih berjumpa matahari.

Ternyata, saat di depan komputer sepagi ini, kepala saya sulit bekerja. Yang terbesit di kepala saya hanyalah kata kerja berbunyi tidur dan kata benda berupa kasur.


Teman saya tidur seperti orang tanpa dosa. Dia cukup meletakkan badannya di atas ranjang, lalu 7 menit kemudian sudah mendengkur. Dengkurannya membuat saya dengki setengah mati. Bagi saya 7 menit menidurkan diri merupakan pencapaian. Sementara untuk mempertahankan ketidaksadaran itu, dibutuhkan kemauan yang kuat. Bagaimana orang ini bisa tidur demikian pulas? Pikir saya. Kadang dia terbangun di tengah malam untuk merokok, mengeluh sulit tidur, lalu kembali terlelap seperti batang kayu yang rubuh menerjang gubuk derita. Posisi tidurnya pun seperti seorang pemenang. Badan melentang dengan lengan merentang menghabiskan seisi kasurnya (kasurnya, bukan kami, kami tidak sekasur), mulutnya ternganga. Mimpinya pasti seperti ungkapan lirik Jason Ranti: Panjang dan luas.

Saya sangat berharap tidur bersifat menular seperti kegiatan menguap. Sayangnya tidak, saya selalu harus berusaha untuk tidur. Jika belum lewat tengah malam, otak segan mengendur. Pun tubuh saya begitu rewel untuk disuruh tidur. Dalam waktu-waktu nyaris terlelap, sedikit gangguan indrawi akan melontarkan kesadaran, hingga beberapa lama sebelum ngantuk kembali mencumbu. Gangguan kedua datang dari ingatan. Seperti kebanyakan orang, yang suka mengingat dan merencanakan ini-itu secara elaboratif, justru di saat hendak tidur. Saya lebih gampang mengingat dosa-dosa daripada merapalkan doa sebelum tidur. Saya rasa semua ini karma buruk, karena saya suka membangunkan teman untuk menanyakan apa dia sedang tidur, atau menagih rencananya untuk tidur.

Adapun, agaknya ritus ini dibentuk oleh irama perkuliahan. Dan sial benar, bahwa irama kuliah saya yang boncos [1], menghasilkan pola tidur yang demikian runyam. Saya lebih mudah tidur menjelang pagi daripada di malam hari. Sementara itu durasi tidur saya normal, tidak seperti mahasiswa arsitektur yang pandai berhemat istirahat. Jika saya hidup teratur dulu, mungkin saya akan lebih sering melihat matahari.

Teman-teman arsitek, barangkali telah melatih jurus menghilangkan kesadaran sedari kuliah. Minimnya waktu tidur membuat mereka harus mengakali remah-remah menit yang tersisa untuk sekedar memejamkan mata. Mereka mampu tidur kapan saja seperti kuli romusha, dengan bermacam postur dan beraneka jenis pengalas. Studio menjadi laboratorium tidur. Di sana, mahasiswa arsitektur harus belajar bernegosiasi dengan ruang guna mencuri istirahat yang dirampas dengan semena-mena. Persepsi negosiatif ini juga dilakoni oleh para atlit parkour, yang melihat celah ruang sebagai jalur perpindahan. Mahasiswa arsitektur selalu mencari celah untuk molor. Waktu tidur pun beragam, baik seusai presentasi, bisa saat berfikir panjang, kecuali saat menggenggam pemotong. Durasinya bermacam, ada yang lima menit menunggu lem kering, hingga lima jam karena sudah putus asa (seperti saya). Ada yang tidur di kursi, di meja, di lantai, atau bahkan saat mengejan di toilet. Tidak hanya satu-dua orang yang saya kenal tertidur di toilet, baik duduk maupun jongkok. Entah jika tanpa sadar saya selektif dalam kriteria berteman, hanya kepada yang tidur di tempat ganjil. Namun, keniscayaan bahwa sebagian besar murid-murid arsitektur terdidik pelor (nempel molor), sulit dibantah.

Aneka jenis upacara tidur itu juga dilakukan di waktu-waktu yang ganjil, yang seharusnya dihitung sebagai waktu produktif. Di kampus, teman saya tidur saat rapat jurusan. Liurnya menggenang di meja rapat, menandakan kualitas tidur kelas satu. Walaupun tidak tidur saat menugas, hal ini tetap dinilai kontra produktif karena mengorbankan agenda lain. Namun, kemampuannya mencari celah mulai terasah saat masuk kantor. Mereka bisa dan biasa ditemukan tidur siang, salah satunya di sela proses rendering V-ray. Telinga mereka konon terlatih untuk bekerja dengan sigap. Misalnya, untuk membedakan mana suara kaki pegawai dan derap langkah bos. Seketika badannya terkesiap, hanya perlu menggeser leher beberapa derajat dari posisi tidur menuju kondisi keterjagaan.

Saya juga pernah mendengar cerita bahwa Salvador Dali menggunakan metode tidur satu detik sebagai pendekatan kreatif. Dia akan duduk mengantuk di kursi malas dengan sebatang sendok di genggamannya. Saat detik dirinya terlelap, sendok akan jatuh, lalu dentingannya membangunkan Dali seketika. Konon, hal ini membuatnya mampu memeroleh inspirasi surealis. Di dunia ambang antara sadar dan lelap, intuisinya bekerja secara langsung. Ingatan-ingatan yang terkubur hari itu di pikirannya, melintas cepat seperti kereta yang menyebrang, ia cukup merunut distorsi tersebut di atas kertas. Sementara itu, teman saya mengalami pendekatan yang berbeda. Dia tertidur dalam kondisi bersila ketika merokok, lalu kaget terbangun saat bara apinya mencapai jari. Dia tidak tambah kreatif, hanya panik seperti orang kecolongan dompet. Lalu dia tidur lagi. Sementara putung rokoknya melubangi karpet, saya pura-pura tidak melihat.

Saya ingin beli tidur sekantong. 

No comments: