Tuesday, March 12, 2019

Niat


Tempo hari mentor saya memberikan sejumlah wejangan tentang penulisan. Karena saya terbilang keras kepala (walaupun lembek di perbuatan), saya agak kesulitan mencerna masukan dari beliau. Justru setelah berjarak beberapa hari saya dapat memahami sedikit banyak apa yang beliau maksud. Dalam pengamatannya (yang beliau sampaikan dengan sangat hati-hati), apa yang saya lakukan menghambat perkembangan diri sendiri. Saya menulis begitu lambat, dengan banyak pertimbangan dan kemauan. Padahal, menulis semata alat untuk menyampaikan pemikiran, yang tujuan akhirnya adalah manfaat bagi banyak orang. Karena itu, kecakapan menulis akan datang begitu niat yang baik telah kukuh. Inilah yang saya sukar cerna, karena niat itu masih berupa rongga kosong.

Saya selalu memandang buku sebagai sasaran tembak atau makanan enak. Hal-hal yang harus saya kunyah, sikat, dan serap secepat mungkin. Saya tahu bahwa saya dapat mengutip sejumlah gagasan dengan mudah ketika saya banyak membaca, karena proses internalisasi ini dengan sendirinya menyeleksi hal-hal yang relevan. Saat kita membaca, dengan sendirinya kita melakukan perbandingan dan memeroleh landasan argumen. Suatu gagasan yang diyakini sebelumnya dapat dipatahkan atau diperkuat melalui bacaan baru hingga menjadi suatu rajutan di kepala. Bagi saya, dengan sendirinya membaca apapun akan mematangkan pribadi seseorang. Namun tanpa dasar moral, ini bukan hal yang baik. Karena artinya seseorang dibentuk oleh apa yang dia baca, bukan sebaliknya, membentuk diri melalui bacaan. Ini terjadi pada banyak orang yang termakan oleh ideologi tertentu. Kendati memiliki pemahaman ini, dalam praktiknya saya sering lupa untuk berhenti mengunyah.

Dari membaca biasanya orang ingin menulis sesuatu yang baru, sedikitnya mencatat apa yang telah ia pelajari. Pada tahap ini seseorang menguji pengetahuannya melalui bentuk tulisan baru yang didasari keyakinannya atau latar belakangnya. Katakan seseorang berangkat dari disiplin tertentu, maka tidak jarang hal yang ia tulis menggunakan bingkai disiplin tersebut. Dalam kasus saya, medium yang dinikmati pasti mengandung muatan arsitektur, dan kegatalan saya adalah untuk menampilkan hantu-hantu tersebut dalam bentuk tulisan.

Sepanjang menjadi pustakawan di sebuah perpustakan arsitektur selama 2,5 tahun, saya mengalami apa yang dirasakan oleh George Orwell saat menjadi penjaga toko buku (dengan penuh kesadaran, saya tidak hendak menyamakan diri dengan beliau). Dikelilingi buku pada awalnya menyenangkan, tetapi kemudian muncul rasa muak yang menjadi-jadi. Melihat buku datang dan pergi, menguliti dan membedah satu per satu, membuat hal yang awalnya kita cintai menjadi suatu objek kerja yang harus dituntaskan. Begitu malasnya saya melihat buku, sepanjang tahun saya tidak menamatkan satu buku pun diluar tuntutan pekerjaan.

Dengan sendirinya, putus cinta dengan buku membuat saya kehilangan birahi untuk menulis sendiri. Mediocrity is an enemy. Sebetulnya pekerjaan bukan persoalan, tetapi bagaimana seseorang menempatkan dirinya (secara praktis, mengatur stamina mentalnya) untuk tetap menjaga keseimbangan antara pekerjaan dengan pengembangan diri sendiri. Itu hal yang (untungnya sedikit) tampak dari orang-orang seusia saya, yang tenggelam dengan pekerjaan dan beralih pada arus utama: bertahan hidup.

Pun demikian, saya cukup yakin dibalik hal-hal yang menampak, setiap orang mati-matian melawan kegelisahan itu dengan caranya masing-masing. Bikin sesuatu agar hidup tidak sekedar numpang napas. Walaupun sudah bersumpah untuk tidak menulis tentang tulisan (karena bagi saya itu sebuah pembenaran untuk tidak produktif), saya masih bersyukur punya alokasi kegelisahan yang besar untuk menulis lebih baik disamping pikiran yang melayang-layang.

Hingga hari ini, saya belum dapat mengatakan mengapa saya harus menulis. Dari segala diktum tentang menulis, baik itu sebuah keberanian, manifestasi pemikiran, hingga alat dakwah, saya hanya percaya bahwa menulis adalah (mengutip Geoff Manaugh) kegiatan yang menghubungkan hal-hal yang tampak tidak berhubungan. Bahwa penulis adalah seseorang yang mendaur ulang pengetahuan menjadi bentuk baru yang semakin kokoh. Namun rupanya proposisi tersebut belum cukup kuat untuk menjadi landasan menulis. Sebetulnya saya pun tidak hendak mengadvokasi disiplin arsitektur apalagi muluk-muluk mengembangkannya. Bagi saya saat ini, sebuah tulisan adalah suatu puzzle berupa keping-keping gagasan yang perlu disatukan. Di luar itu, belum ada motivasi selain menyelesaikan puzzle lebih tanggap.

Anggaplah itu suatu bentuk tersesat, dan untungnya saya menyaksikan orang-orang hebat menghadapi hal serupa. Melalui pengalaman bertemu banyak arsitek, kesukesan karir tidak pernah ditentukan sejak dini, melainkan terbentuk melalui konsitensi praktiknya. Tidak banyak arsitek yang bermimpi untuk menjadi ternama ketika duduk di bangku kuliah (setidaknya, belum ada yang mengakui itu dari pengalaman saya). Adapun dosen saya mengakui, bahwa ia terjebur di jurusan arsitektur, dan satu-satunya yang dapat ia lakukan adalah berenang sebaik mungkin. Seperti apa yang dikatakan, beliau telah menjadi atlit renang yang hebat. Ini adalah soal mengasah diri menjadi lebih baik di bidang yang dipilih, sementara moral atau core value akan datang di kemudian hari.

Sejak membaca karya Tohari saya memiliki keyakinan bahwa penulis yang hatinya baik akan mendatangkan karya yang baik. Sebaliknya kita juga dapat melihat orang yang gemar masturbasi atau berusaha untuk mendatangkan hal-hal yang tidak perlu melalui tulisannya. Begitu pula dengan karya arsitektur. Saat ini saya dapat menyatakan bahwa mangunwijaya adalah seorang bleeding-heart humanist, baik dalam tulisan, perbuatan, hingga karya arsitekturnya. Hidup dan matinya jauh dari kesia-siaan, tetapi saya tidak hendak berceloteh tentang beliau kali ini. Tugas menjadi orang baik jauh lebih sulit ketimbang membaca Infinite Jest atau membongkar konteks spasial Labyrinth Borges, dan rasanya akan makan seumur hidup bagi saya sebelum dapat memungut niat baik di pinggir jalan.



No comments: