Sunday, November 29, 2020

Mengkontemplasi Maut


Sedikitnya setiap satu jam, seseorang di Indonesia merenggut nyawanya sendiri. Artinya ada sekitar 8.765 (minimal) orang meninggal dunia akibat bunuh diri setiap tahunnya. Itu pun angka yang dilaporkan. Rapot merah ini adalah salah satu alasan mengapa perkara bunuh diri mesti dibicarakan, yang selama ini hanya meradang di balik obrolan yang berlindung pada keharusan-keharusan yang mengabaikan betapa menggodanya tawaran untuk tidur yang paripurna. 

Bagi sebagian orang, bunuh diri cenderung berangkat dari kekecewaan atau rasa sakit yang gagal dicerna. Keterputusan dengan dunia, menelurkan rasa terpojok yang seakan tidak bisa diatasi. Kita sering mengasumsikan bahwa ia bersifat impulsif dan dapat ditangani dengan pencegahan protokoler. Sementara bagi pengidap gangguan mental yang kronis, kematian bisa jadi dianggap kompensasi mahaadil atas rasa sakit yang berkepanjangan. Namun apapun alasannya, kita tidak bisa menyederhanakan sebab-sebab yang mengakibatkan seseorang berpulang duluan. Pun juga, kita pantang untuk membenarkan alasan tersebut untuk dilaksanakan. Namun, kita selalu perlu membicarakannya. 

Saya tidak mengenal orang yang melakukan tindakan bunuh diri secara langsung. Saya hanya mendengar berita dan cerita sepintas lalu. Paling dekat adalah kematian mandiri yang terjadi di lingkungan kampus. Kami sebagai mahasiswa memaknai kejadian itu secara praktis, bahwa "ia sendirian dan tidak mampu mengatasi masalahnya. Maka kita tidak boleh bergerak sendirian". Kami luput atas hal yang lebih fundamental yang terjadi dalam urat pikiran pelaku. Bahwa 100 kawan baik pun tak dapat menolongnya jika ia telah berkehendak. 

Kasih sayang dan pencegahan dapat berguna dalam ambang tertentu, tetapi upaya untuk mengesampingkan niat yang telah mengakar adalah upaya represif yang beresiko dalam jangka panjang. Sekali lagi, kita perlu duduk untuk membicarakan pikiran tersebut. Tentu saja jauh lebih baik, bersama pakar. 

Bagi penderita gangguan mental (setidaknya saya, untuk tidak mewakili), kematian adalah kawan lama yang selalu duduk manis di tepi pikiran. Matanya tajam mengawasi tindak-tanduk saya. Untuk setiap hal penting yang saya selesaikan, tinggalkan, dan diikuti dengan rasa kopong, ia akan bertanya "sudah selesai? saatnya tidur". Pada waktu-waktu yang baik, saya dapat menunda jawab atau ia lupa bertanya. Namun di hari yang buruk, saya dapat duduk berdua dengannya bersama sebungkus rokok dan membicarakan prospek istirahat jangka panjang yang, -sekali lagi, begitu menggoda. Sejauh ini kami hanya ngobrol, dan dia setuju bahwa masih ada urusan-urusan lain yang mesti diselesaikan. 

Namun ia selalu menunggu, dan ia sungguh sabar. 

Beberapa teman akrab saya (karena sejawat pengidap) bisa diajak ngobrol tentang kematian. Kami mengguyon bahwa tindakan merokok (atau menghembuskan asap vape) sambil mengkontemplasi tidur panjang, adalah ritual detoksifikasi untuk membuang beban yang menyesak. Sebanding dengan analogi Viktor Frankl, bahwa kesengsaraan ibarat asap yang mengisi relung di hati. Asap memenuhi relung secara merata, sehingga yang disebut dengan kesengsaraan, selalu mengada dan bersifat relatif antar individu. Dengan demikian, menghembuskan asap dari tubuh adalah upaya analogis untuk mengurangi kesengsaraan yang sedang pekat, secara efektif menunda tindakan yang jauh lebih destruktif ketimbang menyepong puntung nikotin. 

Teman yang lain melihat hidup sebagai lelucon. Dengan demikian, ia juga melihat kematian sebagai bahan lawakan. Tidak jarang ia menggunakan ekspresi populer seperti meme atau anekdot untuk meluruhkan rasa sakitnya. Dalam hematnya, ia akan menertawai kematian (dan kehidupan) sampai titik ia tak lagi menemukan apa yang kocak dari keduanya. Ia mampu membuat saya tertawa dengan penuh rasa curiga. 

Bercanda tentang kematian memang penuh kerentanan. Namun itu lebih baik daripada mengasuhnya sendirian. Memang betul, membicarakannya menghabiskan banyak tenaga, bahkan niat bicara yang salah mampu menularkan hasrat negatif. Namun kita perlu membicarakannya hingga ia tak lagi begitu seksi atau menakutkan, dan kita (untuk hal ini saya sudi berdoa) dapat melampauinya dengan penerimaan yang tulus. Kita tak perlu membacot tentang kewajiban moral atau diktum etika hidup yang kini membuat saya mual. Kerangka intelektual kadang justru membuat rasa sakit jauh lebih kental, sebab kita memaknainya dengan pengamatan yang berlarut-larut. 

Orang yang mencoba mengamati kematian, tidak bisa tidak terlibat secara emosional. Ia bukan masalah jinak berjarak yang berada di cawan petri. Kematian melingkupi manusia sejak tangis pertamanya saat dilahirkan. Ketika kerinduan terhadapnya datang di saat yang gawat, kita perlu menyikapinya dengan penuh kehati-hatian dan rasa hormat. Bukan antisipasi dan rasa takut, atau bahkan kepura-puraan yang heroik. 

Dalam memaknai keputusaan, Victor E. Frankl memberikan pandangan yang cukup pragmatis. Pada masa tahanannya sebagai penghuni camp concentration SS selama 3 tahun, Frankl mengamati dinamika perilaku para tahanan sebagai refleksi terhadap situasi penahanan. Pada situasi bengis ini pilihan seseorang sangat terbatas, sementara kematian selalu mengintai setiap saat. Sehingga keputusan seseorang betul-betul direduksi pada urusan bertahan dari hari ke hari. Untuk bertahan hidup, orang harus mau dan mampu menjawab pertanyaan remeh yang tersedia di sana. Misal, bagaimana saya makan hari ini? Apa saya harus menukar rokok dengan sekaleng sup? Bagaimana agar saya dapat bekerja tanpa dibedil penjaga?  

Ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, ia menemukan bahwa kesengsaraan, sepekat apapun bentuknya, akan kehilangan kekuatannya untuk menyengsarakan, jika dan hanya jika seseorang dapat mengambil jarak dan mampu memaknainya. Ia tak muluk melihat kesengsaraan sebagai pusat kehidupan, namun ia mengakui bahwa hidup (terutama dalam konteks yang menyengsarakan) harus dinegosiasikan terus-menerus. Frankl menolak pemaknaan hidup yang mengacu pada hasrat kuasa atau kenikmatan. Ia meyakini bahwa makna hidup yang paripurna miliknya, kedudukan yang tak tergantikan orang lain, akan muncul dalam proses penerimaan yang legowo. 

Tentu penghayatan atas ide ini bukan perkara mudah. Rasa sakit yang telah menubuh dari pikiran yang sakit mampu membuat orang tidak bergeming dari kasur selama beberapa hari. Hanya soal waktu bagi orang yang telah tenggelam dalam palung tersebut untuk tak lagi mampu melihat tanggung jawab yang mengelilinginya. Individu ini, dalam cerita Frankl, "hanya berbaring di kasur, tiba-tiba merokok, tak bicara, dan tak lagi mau bekerja. Ia telah menyerah, dan tak ada seorangpun yang bisa menolongnya." 

Keakraban terhadap tidur panjang memaksa saya untuk melakukan intervensi. Ketika saya membuka diri mengenai gangguan mental yang saya derita pada keluarga, ibu adalah satu-satunya orang yang tidak terkejut. Saya hanya mendengar penuturannya dari pihak kedua, dan saya selalu gagal untuk menahan air mata mengingat ibu memberi penerimaan dengan kalimat yang teramat sederhana "Ia punya apa yang saya derita. Ia masih muda. Ia dapat melampauinya." 

Ada seribu cara dan ragam protokol untuk bernegosiasi dengan situasi bunuh diri. Dari segala yang saya tuliskan di atas hanya landasan bagi saya untuk menolak tunduk pada kerinduan tersebut. Apa yang dibicarakan dan pendekatannya adalah topik di lain hari. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa kamu tidak sendirian. Tidak pernah dan tidak bakal.  

Sungguh, kamu harus terus hidup.

No comments: