Wednesday, October 14, 2020

Dilarang ngutang di warung sendiri

Beberapa bulan ini emosi saya naik-turun seperti jakun seorang penyanyi dangdut. Namun tidak semerdu melodi yang dihasilkan lagu dangdut, turbulensi yang sengit ini membuat kepala saya kacau. Misalnya, saya bisa bangun pagi dengan rasa sedih yang tiba-tiba, kemudian melenting gembira di malam hari, atau sebaliknya. Jika mengikutinya, saya akan larut dalam kedua ekstrim nada tersebut. Maka, sepanjang hari saya berupaya untuk meredam kedua emosi yang tajam ini sambil terus bergerak. Tentu ini memakan waktu dan stamina. Rasanya seperti berjalan di bawah hujan lebat atau kabut yang tebal. Adapun, beberapa bulan hingga sekarang pergulatan itu belum pungkas. 

Psikolog saya (yang selanjutnya saya sebut sebagai pembina), mengajari protokol pemetaan emosi. Ada beberapa catatan menarik yang rasanya bisa dibagi. Salah satunya: Tidak dapat disangkal, emosi negatif adalah perkara yang perlu dijawab secara sehat dan strategis. Sebab, cepat atau lambat ia akan menuntut penyelesaian. 

Secara umum, lebih mudah untuk mengesampingkan masalah emosi melalui penyangkalan. Karena banyaknya urusan lain sehari-hari, kita terbiasa untuk menunda soal perasaan dengan meniadakannya. Atau bagi individu yang cukup lihai, prosesnya berjalan paralel dengan urusan lainnya. Namun, mantra "saya baik-baik saja" bukan kalimat yang tepat jika seseorang tidak memahami muasal gejolak emosinya. Mantra "baik-baik saja" merupakan konsekuensi dari hasil negosiasi yang panjang dan penyikapan yang nyata untuk masalah yang dihadapi. Ia bukan titik berangkat untuk melihat masalah. 

Penyangkalan ini saya pahami dengan sebuah analogi. Misalnya seorang nahkoda yang tengah melaut melihat gumpalan badai menghampiri kapalnya. Alih-alih mengubah haluan atau menyiapkan layar, ia berkata "tidak perlu cemas, badai pasti berlalu." sambil menyambut angin dengan heroik. 

Tentu saja badai akan berlalu, dengan meninggalkan kondisi kapalnya porak-poranda. 

Seorang pelaut yang tangguh memang tak lahir di laut yang tenang, tetapi bukan berarti hidupnya selalu mencari-cari badai. Jika ia menyikapi badai yang berbeda dengan cara yang sama, kapalnya akan selalu terombang-ambing. 

Selain penyangkalan, ada muslihat lain yang tak disadari saat menangguhkan emosi negatif. Memproyeksikan kemarahan pada orang lain, dan mengobjektifikasi seseorang untuk meredam emosi merupakan dua hal yang pernah saya lakukan. Selain merusak hubungan, keduanya menerbitkan rasa bersalah yang berkepanjangan. Untuk menghindarinya, pembina saya selalu menekankan pentingnya memahami muasal emosi negatif, untuk mencari cara paling efektif dalam menavigasi kapal di tengah badai. 

Melihat ke belakang, saya cenderung mengesampingkan masalah mental dengan lagak yang sama. "nanti juga lewat" atau "jangan dirasa-rasa", sudah menjadi jargon menerus. Tidak jarang ujungnya tetap terombang-ambing. Rupanya, strategi penyangkalan tidak jauh berbeda dengan proses berhutang di warteg. Setiap kali menghadapi persoalan yang berbuah emosi negatif, penangguhannya adalah sikap menumpuk hutang. Hanya menunggu waktu hingga saya ketimpukan centong nasi pemilik warteg. 

Bicara emosi, ada lapisan-lapisan lain dengan kedalaman yang bervariasi. Emosi mengandung spektrum luas yang tak adil untuk dibagi dalam dua kutub. Merajuk bukan kesumat, seperti duka bukan depresi, ada kebingungan, kecemasan, rasa acuh, dan kawan-kawannya. Namun untuk uraian pribadi tentang ngutang rasanya cukup. Lagi pula saya juga masih belajar. Terkait diri sendiri, selamanya saya seorang amatir. 

Siapa sangka, perihal urusan alam bawah sadar ini sudah mengecap di belakang truk lintas provinsi, dan dikekalkan oleh Eka Kurniawan dalam judul "Seperti rindu, dendam harus dibayar tuntas." Bahwasanya ada urusan internal yang perlu diselesaikan dengan tegas, bukan dengan menangguhkannya melalui adu kejantanan. Jika kamu tidak ingin hidup dengan burung yang ogah berdiri, maka kamu perlu memandang mata di balik cermin tajam-tajam. 

No comments: