Saturday, October 3, 2020

Kepala yang Ricuh


Beberapa tahun silam, seorang dosen pernah menyatakan topik penelitian yang menarik tentang Kartini. Beliau punya premis  bahwa Raden Ajeng Kartini yang kini merupakan arkitipe perempuan Indonesia, mampu membuka lebar-lebar cakrawala pemikirannya dan menginkubasi gerakan emansipasi wanita dengan surat legendarisnya, lantaran beliau dipingit di sebuah kamar oleh bapaknya. 

Dosen tersebut percaya bahwa kamar ini mempengaruhi proses pendewasaan Kartini. Sebabnya? Mungkin ada susunan arsitektural di dalam kamarnya yang berbeda dari tempat lain. Entah letak jendela dan pemandangan yang dibingkai, atmosfir ruang, dan lain sebagainya. kebetulan-kebetulan keruangan ini baginya, secara tak langsung mempengaruhi pendewasaan Kartini ketika berpikir dan menulis. Mungkin karena saya mulai acuh, kadang saya menganggap keistimewaan arsitektural ini sebagai omong kosong. 

Romantisme keruangan ini rentan menihilkan faktor lain yang lebih signifikan, misalnya korespondensi dengan Kartono atau akses bebukuan yang menumbuhkan kesadaran Kartini. Jadi, asumsi keruangan ini tidak bisa dilihat sebagai kausalitas, melainkan indikasi (yang jauh dan hampir-hampir fiktif). 

Ada kecenderungan romantis bahkan spiritualistik bagi arsitek ketika menghadapi ruang. Misalnya, sebagian arsitek melihat genius loci (spirit of place) sebagai subjek yang hidup dan dapat dikomunikasikan. Tidak heran pula, jika diamati dari kacamata fenomenologi, ruang memang tampak sebagai identitas independen yang memiliki karakter dan mampu berkehendak. Ruang mampu mempengaruhi persepsi seseorang hingga batas tertentu. Seperti hijau taman yang menyenangkan, atau nuansa pekuburan yang mencekik. Di dalam konteks Kartini, kamar yang kecil adalah media inkubasi bagi dirinya, sekaligus ibu yang sedang memeluk Kartini dalam bedongannya. 

Tidak jarang romantisasi ini dianggap bisa direplikasi, diurai, lalu disusun menjadi metode perancangan yang universal. Ya tidak salah, sih, selama bisa dijual. 

Kisah heroisme pengasingan selalu menjadi catatan kaki yang menarik. Dari Tan Malaka hingga Anne Frank, banyak individu yang nalarnya tumbuh dalam pengasingan atau pengeraman di ruang yang boncos. Memasuki kisah tua dan legenda peradaban, tidak jarang wahyu, kebijaksanaan, dan pencerahan menitis pada individu setelah pengasingan berlarut-larut di kabin atau gua. Misalnya Rasullulah dan Gua Hira, atau Zarathustra dan apapun tongkrongannya. 

Seakan-akan, ruang mampat menempa seseorang dalam kurun waktu tertentu hingga menjadi jagoan. Seperti Seishin to Toki no Heya dalam komik Dragon Ball. Dari rakyat saiya jelata menjadi super saiya, dari gembala kambing menjadi gembala umat. 


Namun karena kita mahluk lalai, kita sering mengabaikan kemungkinan pada ekstrim seberangnya. Jika ruang dapat membentuk kehendak baru bagi seseorang, ia juga bisa mematikannya. Begini, hikokomori (perilaku menyendiri yang akut) dan Kodokushi (kematian menyendiri para lansia) merupakan bukti yang umum akibat isolasi berkepanjangan. Keduanya lebih rentan untuk terjadi dan bisa ditelisik dalam konsepsi spasial dibandingkan bias penyintas yang digadang-gadang sebelumnya. 

Dulu, saya ingin sekali menunjuk-nunjuk muka arsitek dan karya arsitektur yang suka mengistimewakan kemewahan ekslusif dalam ruang hidup. Bagi saya, ada kekeliruan perancangan yang mendarah daging akibat stigma apartemen dan hidup yang mengkotak-kotak. Tidak saya sadari, hampir 8 tahun saya ngekos sendirian dengan koneksi sosial yang minimal. Jika bukan karena kawan-kawan yang hobi mengetuk pintu, saya mungkin sudah menjadi catatan Kodokushi. Lagi-lagi, itu soal pilihan dan tindakan dari individunya. 

Ada indikasi (yang susah dipercaya, apalagi diakui) bahwa terdapat hubungan primodial yang kukuh antara orang dan ruang. 

Sebenarnya tidak ada hubungan pasti antara keduanya, bisa jadi kurungan membangun situasi liminal yang memisahkan seseorang dengan dunia. Dimisalkan faktor sosial seseorang berada dalam taraf bare minimal. Anggaplah bahwa eksistensi seseorang ditentukan dari batas ruang yang dapat ia kontrol (ekstensi tubuhnya). Sebagai medium memahami dunia, tubuh dan ekstensinya membentuk kompleksitas eksistensinya. Semakin luas akses spasial serta manusia yang ia temui, lantas semakin kompleks pencerapan dan keterlibatannya terhadap kenyataan. Sebaliknya, ketika seseorang berada dalam situasi liminal yang literal, ia hanya dapat hilir mudik dalam arus pikirannya. Segala sesuatu yang ia pikirkan, bayangkan, terakumulasi menjadi sebuah kenyataan baru yang parsial. Isi kepalanya menjadi ricuh karena hanya ngobrol dengan dirinya sendiri. 

Individu yang mengalami arus pikiran yang ricuh ini bermuara pada dua ekstrim sebelumnya. Seseorang yang berhasil melampaui dirinya, atau hanyut dalam arus pikirannya. Seseorang yang mampu menyantolkan kenyataan parsialnya kepada kenyataan yang lebih besar, atau terkubur di dalamnya. Bahwa saya mengenal beberapa penyintas yang telah, pernah, atau sedang hidup menyendiri, saya dapat bertaruh bahwa isi kepala mereka sangat ricuh. Selalu ada pilihan untuk mengatasi kericuhan itu dengan menjawabnya atau membiusnya untuk sementara. Dalam kericuhan ini, ruang hanyalah panggung. Ia bukan kumpulan dari kebetulan-kebetulan yang menyadarkan seseorang, atau rancangan blunder yang memutus rantai komunikasi. Sejatinya, ia hanya gua yang menggaungkan isi pikiran seseorang.  

Sebenarnya saya hanya ingin ngomong bangsat dengan penundaan yang bertele-tele. Dan saya sudah kehabisan omong kosong. 

No comments: