Friday, August 21, 2020

Apa yang dipikirkan seekor kucing?

 


Saya ingat dalam buku The Animal That Therefore I am, Jacques Derrida pernah bertelanjang bulat di depan seekor kucing sambil mempertanyakan hal itu. Keduanya saling menatap sejenak sebelum si teroris tekstuil itu mulai meracau tentang kapasitas intelektual seekor binatang, lantas mengantar argumen reflektif tentang kemanusiaan. Buku itu saya baca selintas, dan merupakan salah satu tulisan Derrida yang masih relatif enak dinalar.

Sialnya, sejak saat itu saya selalu terbayang Derrida bugil tiap ganti baju di depan kucing. 

Sejak awal tahun saya memelihara tiga ekor kucing kampung. Namanya Bowo, Bowi, dan Cims. Sebagaimana kucing yang diberi makan, ketiganya jadi keenakan. Rutin datang, mengusik perabotan, dan bacot tiap lapar. Tapi lumayan, mereka menjadi objek forced-love kalau saya lagi kesepian, mereka juga selalu kalah saat diajak berdebat, dan kapan lagi tidur bareng betina? (biasanya Bowo saya usir keluar). 

Ini bukan pertama kalinya saya memaksakan kasih sayang pada binatang. Waktu kecil keluarga kami memelihara kucing, kemudian anjing, lalu seekor ular. Yang terakhir bohong. Kucing kami ada tiga seingat saya. Penamaannya pun mencomot bintang kartun TV. Anjing satu, namanya diambil dari tokoh sinetron Terpesona yang diperankan Wulan Guritno (padahal jantan), lalu akhirnya kedapatan mati (ini bukan sebab-akibat). Mungkin sebagai bentuk protes atas namanya, setiap pagi buta Joya mengaduk-aduk keranjang cucian, lalu menyeret salah satu benda yang beruntung berkeliling rumah, biasanya beha ibu. Dasar anjing. 

Tentang ketiga kucing, saya agak samar nama maupun perangainya. Yang saya ingat hanyalah kenangan main kucing bersama anak tetangga. Kami bikin labirin buat make-believe bahwa mereka Indiana Jones atau anak yatim, tergantung seberapa bobrok set panggungnya. Kadang kami saling bertukar kucing untuk diinapkan di rumah masing-masing. Walaupun seekor anjing, tapi karena badannya kecil si Joya takut kucing asing. 

Tahun ini saya lebih banyak berinteraksi dengan trio macan ini (Bowo, Bowi, Cims). Selain menafkahi dry food curah, ternyata hobi teman yang gemar pamer foto kucing cukup menular. Saya jadi sering menjepret gambar dan mengirim foto. Album hp penuh foto-foto betina dengan pose kontroversial. Sukar untuk mengambil foto Bowo karena kegemarannya untuk galer di mana saja dan kapan saja. Seakan-akan, tititnya hanya mengenal rasa gatal.  

(Kiri ke kanan) Bowo menggunakan kaki kursi untuk galer, Cims dan Bowi mimpi bergulat

Walaupun nggak ada bukti Kartu Keluarga, saya selalu melihat ketiganya dalam hubungan bapak-anak. Ceritanya sang ibu kawin lari dengan duda kaya, karena itu Bowo selalu bertampang shongong. Pada bulan-bulan awal kemunculan ketiganya, Bowo baru mulai makan setelah kedua kucing lainnya selesai. Kadang ia mengendusi mereka, atau cuma duduk di teras sok mengawasi keduanya main. Tidak tampak semburat penolakan dari yang cilik-cilik. Pokoknya cermin keluarga yang sakinah. 

Selama beberapa bulan, saya mulai memperhatikan tabiat mereka. Masing-masing punya karakter yang berbeda. Cims paling domestik dan manis, Bowi paling bawel dan harus ditunggui kalau makan, tapi Bowo sebagai kucing jantan dewasa, belakangan mulai menunjukkan gejala bejat kepada gadis-gadis ini. Ia bakal mengintili salah satunya, mengendus, dan kadang berupaya menggagahi. Pokoknya bejat dalam tolok ukur manusia.

Ini agak mengganggu saya, walaupun mahfum bahwa naluri kucing jantan pasti menjurus kesana. Yang pasti akan merepotkan kalau salah satunya beranak. Jadi saya berusaha memisahkan mereka saat mulai bertabiat. Biasanya Bowo saya sentil kupingnya jika mulai membejat, atau minta tolong teman yang muslim mendoakannya agar mandul. 

Kalau diperhatikan baik-baik, rasanya kelakuan kucing ini mencerminkan ritual berpasangan yang dilakukan manusia (bukan, bukan kecenderungan inses). Bayangkan jika besok kedua kucing ini bisa ngomong, kemudian mereka dikasih waktu beberapa milenia. Mungkin tabiat berpasangannya tidak jauh berbeda dengan pdkt anak remaja. Tentu saja ini terdengar mencemooh, seksis, dan begitu bigot, seakan-akan kita sebenarnya cuma pingin bereproduksi dengan berbelit-belit. Tapi tunggu dulu. 

Dalam lingkar pergaulan laki-laki bejat, tarik-ulur adalah bagian dari ritus menggaet perempuan. Ada banyak cara, ada banyak jurus, dan metodenya selalu diperbarui seperti update windows. Misalnya, bersikap gagah dan menunjukan kemauan mesti dilakukan secara proporsional dengan gelagat acuh. Lantas, respon penolakan yang disebut "malu-malu kucing" merupakan tanda bahwa skema itu bekerja. Ritus obrolan yang sama juga terjadi di antara perempuan. 

Ada kompromi dan negosiasi yang subtil, pertimbangan transaksional terus-menerus dengan pupur panji-panji puristis. Ritual berpasangan berjalan otomatis sesuai konstrusi sosial yang dikultuskan dalam obrolan-obrolan tadi. Ritual ini dilapisi bermacam timbangan norma yang semakin kompleks. Biasanya, semakin majemuk isi kepalanya, semakin panjang perhitungannya. 

Jika lapisan-lapisan itu dihilangkan, ya bentuknya boleh jadi mirip dengan tingkah laku blingsatan Bowo dan ogah-ogahan Cims. 

Intinya, nanti Bowo perlu disunat. 

No comments: