Monday, August 3, 2020

Yang Dibungkus Belum Tentu Mati


Saya masih heran pada selera bestiality, tapi soal fetish bungkusan kain jarik tidak lagi mengejutkan. 

Tumbuh di lingkungan remaja yang membaca stensil sembunyi-sembunyi, sejak SMP saya sudah disuguhi konsepsi fetish. Saya masih ingat betul pertama kali mendengar ulasan teman tentang cerita dewasa a la tetangga yang ia baca di website bodong, respon lugu saya adalah: 

"Terus mereka ditangkap polisi nggak?"

Saya dulu anak baik-baik. 

Formula fetish relatif sederhana, yakni asosiasi suatu objek dengan kualitas seksual. Aneka rupa objek ini biasanya menjadi atribusi dalam kegiatan seks, tetapi konteks asosiasinya tidak selalu mudah ditebak. Objek lingerie misalnya, jelas menonjolkan kemolekan tubuh. Namun objek kacamata, yang hinggap di atas hidung nyaris tanpa asosiasi sensual toh tetap mampu mengundang birahi. Hei. 

Maka, hanya soal waktu sampai berbendaan tabu menjadi objek fetish. Kita ambil contoh hijab. Hijab secara harfiah artinya "dinding yang membatasi sesuatu". Dengan kata lain ia mengamankan sesuatu di baliknya. Dalam konteks berpakaian kita mengenalnya sebagai jilbab. Jilbab sebagai pakaian juga mengamankan aurat, hanya saja identitas religiusnya lebih nyalang. 

Namun, hal yang seharusnya ditangkap secara kudus malah diasosiasikan dengan unsur profan. Ketika sewajarnya orang membaca intensi mengamankan diri, yang terbaca malah hal-hal yang berusaha diamankan. Dengan teknik pembacaan melompat ini, ketertutupan jilbab tampak semakin menggiurkan. Maka, lahirlah genre hijab dalam sinema perkentuan dewasa, bahkan sebelum dibintangi oleh aktor legendaris Mia Khalifa. 

Mentalitas "menerobos-apa-yang-disembunyikan" semacam ini disentil dalam cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Semakin sesuatu disembunyikan, ia semakin menggoda. Semakin "tak sepatutnya", maka ia semakin dahsyat. Salah satu pengandaian yang mendasari pembacaan ini menyatakan bahwa permen yang dibungkus dianggap lebih bernilai dari permen bekas dilepeh. Ya... iya sih, tapi kan' orang bukan permen, dan maksud saya belum tentu permen yang terbungkus benar-benar bersih. Makanya saya memilih minum susu daripada mengunyah permen milkita. 

Bungkusan Jarik
Yang bikin saya tercekat dalam kasus belakangan adalah prosesi kematian sebagai landasan seksual. Kain jarik sebagai preferensi seksual masih bisa dimengerti, toh saya tahu beberapa orang yang punya selera pada seragam dan corak tertentu. Hei. 

Bagi orang Indonesia yang terutama muslim, ingatan kolektif tentang kematian identik dengan bungkusan kain kafan. Orang yang dibungkus artinya menyudahi hidup. Orang yang hidupnya tidak selesai atau prosesi kematiannya nggak beres (talinya lupa dilepas), lantas menjadi arwah penasaran dengan simbol yang kita kenal sebagai pocong. Bahkan, upaya bersumpah paling serius juga menggunakan simbol yang sama (sumpah pocong). Intinya, proses dibungkus bukan hal yang remeh bagi banyak orang. 

Namun sebelum dikubur, jenazah diselimuti selembar kain jarik sambil didoakan. Sehingga kita tahu, kain jarik boleh dipakai sebagai corak pakaian, tetapi pantang digunakan sebagai selimut. Kedua objek Ini (tubuh terbungkus dan kain jarik) menjadi semacam duet maut bagi formula fetish sebelumnya. Dalam pengetian kita, tubuh terbungkus dan kain jarik jelas menyimpan kualitas sakral karena keduanya menandai kematian. Namun bagi tokoh kita yang cara bacanya melenting, hal yang terlihat adalah unsur profan dibaliknya: bahwa ada tubuh telanjang tak berdaya di balik bungkusan jarik. Nah kan. 

Menghayati kematian, merayakan kehidupan. 
Di tempat lain mati tidak melulu dibungkus, tapi perlu dirias. Namun sebagaimana mestinya, prosesi kematian adalah penghormatan terakhir bagi yang meninggal. Ini mengapa saya senang sekali waktu menonton film Okuribito a.ka Depatures (2008) tempo hari. 



Okuribito bercerita tentang pemain cello yang banting setir menjadi encoffiner. Disebut di Jepang sebagai NouKan, encoffiner adalah orang yang menyiapkan jenazah sebelum dimasukan ke peti mati. mereka membersihkan jenazah hingga riasan wajah dan rambut. Seluruh kegiatan ini dilakukan di depan keluarga terdekat. Dengan demikian yang dimaksud "mengantar" adalah membantu kesiapan batin bagi yang ditinggal dengan memberi ingatan rupa terakhir jenazah sebaik mungkin. 

Protagonis Okuribito mulai mengamati kematian dengan cara yang berbeda. Rasa syukurnya tentang hidup mulai terbit dalam menjalani keseharian. Rasa sayangnya pada isteri muncul, dan ia menikmati makanan dengan cara yang berbeda. Daigo mulai menyadari  konsep kesementaraan dan menghormati prosesi kematian dengan bekerja secara elegan. Endingnya saya jamin bikin situ meneteskan air mata, kecuali situ punya fetish necrophilia

Perlu ditonton? Nggak sih, tapi sayang aja, soalnya konon karya terbaik sutradara Yōjirō Takita dan dinilai berhasil menampilkan tentang prosesi kematian. Penuh humor juga, jadi bukan film drama yang muram. 

Isu fetish belakangan tidak hanya menyebalkan karena manipulasi dan laten kriminal yang dilakukan tokoh kita, tetapi juga menodai ingatan kolektif kita tentang prosesi kematian. Bayangkan, ingatan terakhir kita tentang siapapun yang meninggal (keluarga, teman, kenalan) umumnya berupa sosok yang terbungkus dan malam yang dilewatkan dengan doa di samping tubuh berselimut kain jarik. Alasan personal, paman saya meninggal Februari lalu. Karena terlambat datang, saya tak melihat wajahnya, ingatan terakhir saya hanya jenazahnya sudah berselimut hingga ke pemakaman. 

Saya ingat pernah dijewer bokap waktu masih ingusan karena berlari-lari sambil mengibarkan kain kafan sisaan. Saya juga ingat ditegur ibu karena memakai kain jarik untuk berselimut. Bayangkan apa yang dilakukan bokap-nyokap jika saya menempatkan objek ini sebagai alat masturbasi. Mungkin saya dikirim ke pesanteran, dan sekarang menjadi ketua santri yang dihomati, tidak menulis artikel blog tentang fetish. 

No comments: