Akhirnya, Baduy.
Ditanya mengapa harus baduy, atau mengapa bersepeda, atau mengapa harus pergi, jawabannya ini:
Berhubung puasa berarti terkurung, sementara belum lagi mencumbu aspal, jadilah ini perjalanan yaudah-yang-penting-jalan. Jenis ini kurang mengindahkan kaidah persiapan, ujungnya malapetaka di jalan. Seperti biasanya saya menggunakan sepeda gowes.
Postingan ini lebih bersifat informatif, harapannya dapat membantu pendatang lain yang ingin mengunjungi Baduy.
Bicara tentang operasional
Total jarak 113 km. Kalau bersepedanya bolak-balik, ya tinggal dikali dua.
Rute global antara lain:
Depok - bogor (via Citayam)
Bogor - Lewiliyang
Leuwi liang - Jasinga
Jasinga - Ciboleger
Ini peta elevasinya. Jenisnya rolling track. Konon jenis ini paling disukai karena dengan postur yang tepat, jalanan bisa dikunyah tanpa banyak mengayuh. Kenyataannya, rute ini bertimpang dengan skala antara besar sepeda dan jarak lembah-bukit yang tertera pada peta elevasi. Jadi disini, kalau nanjak ya nanjak, kalau turun ya turun.
Titik elevasi tertinggi (waktu berdoa dan muntah) berada di daerah menuju lewiliang (400 mdpl),
Semakin mendekati Ciboleger, rolling track semakin tajam, artinya tanjakan semakin curam dan turunan semakin terjal.
Di rute ini banyak tanjakan yang ngga sopan dan menipu. Maksudnya ngga sopan, terlihat landai tetapi tiba-tiba menumpul. Sementara yang menipu biasanya saat menanjak tampak puncak dan turunan menikung yang tertutup tebing. Namun, hanya promo beberapa meter sebelum tanjakan yang lebih panjang. Tehnik yang saya gunakan adalah bertahan di gear depan 2 dan belakang 1-3 dengan kayuhan stabil 80/menit untuk tanjakan. Tetap, ujung-ujungnya ada masa dorong sepeda akibat ketipu.
Bicara tentang perjalanan
Silakan skip ke Bicara tentang Baduy jika ingin langsung membaca kilasannnya.
Malam itu keputusan berangkat baru bulat, sementara sisa waktu sebelum puasa sudah mengancam. Persiapan dilakukan dengan semena-mena. Bawa kolor? gausah, berat! sabun? ah jangan nanti ngotorin sungai, nesting-okesip! kondisi sepeda? insyaAllah siap nanti cari bengkel di jalan, Ransel? waduh ngga ada tali pengikat -yaudah gendong carrier! Duit? ... bodoamat.
1.10 WIB. Depok. Terburu melesat seperti orang diare mencari toilet, 15 menit kemudian tercapai jl. Margonda. Sepi keterlaluan. Dengan carrier 60lt berbeban 6 kg di punggung serta kondisi sepeda yang menjerit akibat kurang minyak, bensin semangat bocor begitu cepat. 20 km kemudian baru sadar salah perhitungan. Jarak 90km ke baduy JIKA dihitung dari Bogor, artinya berangkat dari Depok total jaraknya bisa mencapai 120km, setara dengan jarak jakarta-bandung. Mati. Nafas mulai tersengal, jalan Citayam yang membosankan (penanda selalu berulang) begitu gelap, orientasi medan mulai buyar.
03.00 km 30, Bogor. Kesadaran yang baru muncul. Menggunakan carrier adalah keputusan paling tidak bijaksana dalam situasi touring. Sebab, semua pesepeda jarak jauh yang berakal tahu, bahwa (1) dimensi carrier (kosong atau tidak) hanya akan menahan angin sehingga gowesan semakin berat, (2) beban di punggung adalah penyiksaan ketika mengayuh karena banyak manuver yang mengharuskan pinggang dan punggung bekerja dengan bebas. In summary, menggendong carrier adalah praktek BDSM diatas sepeda.
03.20 WIB. Bogor. Dalam kondisi demikian, sempat salah belok menuju Parung yang tembusannya ke jakarta. Hebat. Untuk kembali ke rute yang seharusnya lewat jalan desa. Lagi-lagi, lewat pematang sawah. Ketika pagi, pematang sawah terasa romantis. Hangat matahari pagi, hijau dan kemuning sawah yang terhampar, berpapas dengan petani yang ramah tamah. Namun, pagi buta (03:40) menimpuk gelap total, kosong orang, suara kodok dimana-mana, salah-salah menyorot senter, sepasang mata kucing bersinar di tengah jalan. Sudah gitu otak berkhianat, satu-satunya yang saya ingat di jalan sial itu bukannya chelsea islan menyemangati melainkan cuplikan dokumenter ini.
Life in A Day (2011; 0:03:47), NGEHE ah bu.
Tercatat 45 menit dan 15 km terbuang akibat nyasar. Pada Jam 5 pagi masih bersisa 60 km. Sebagai gambaran, 60 km itu jarak tempuh dari UI depok ke tanjung priok, lalu balik lagi ke UI depok, ditambah bonus tanjakan. Yasudah.
11:00 WIB, Jasinga. Fase bertanya-tanya mulai menjangkit. Ngapain gua disini? Masih jauh. Kenapa sendirian? Gimana nanti pulang? Fase ini umum terjadi, terutama akibat kurang persiapan, sendirian, kepanasan, dan jenuh dengan rute pulang yang nanti sama. Kelu sebelum waktunya. Paling pas saat begini duduk sebentar sambil ngopi di pinggir jalan atau mengobrol, atau ibadah.
13.00 WIB. Panas menyengat di rute yang suka berlubang ini. ATM sungguh langka hanya di pasar ngajruk, warung kopi juga tidak banyak walaupun cukup.
15.00 WIB, Rolling track yang memanja dan membanting. Banyak tanjakan cilukba. Pantas saja belanda ogah mengutak-atik kampung adat ini. Wong kesananya saja setengah mati. Kagum benar saya pada orang Baduy Dalam, bisa-bisanya berjalan dari sana ke jakarta. Bertahan dari pingsan saja sudah cukup sulit.
Bicara Tentang Baduy
15.30 WIB, sampai di perbatasan Baduy (terminal ciboleger). Ketar-ketir, penuh keringat, betis linu. Calo menawarkan jasa antar sampai baduy dalam dan penginapan. Dalam situasi ini, kalimat paling ampuh untuk menghentikan tawaran adalah kejujuran dompet: 'Maaf mas, saya ngga ada dana lebih buat mbayar jasanya.' Ini ngga sopan. Percayalah, untuk tidak ditiru. Selain ini bersifat mencemooh, juga menandakan kelalaian. Namun masih ada beban pikiran lain seperti dimana simpan sepeda dan bagaimana birokrasinya nanti di baduy luar. Tanpa mengenal seorang pun, jangan-jangan nanti malah harus pulang. Beruntung sepeda atau motor bisa dititipkan di rumah penduduk dengan biaya sewa seihklasnya. Carrier diangkat, dengan informasi minim saya melewati gerbang perbatasan menuju baduy luar.
Dalam ukuran kira-kira, baduy luar terletak 4 km dari perbatasan ciboleger. Jalur trekking dominan menurun melewati jalan setapak dari bebatuan diantara hutan, cukup sesuai untuk menjadi lokasi cinlok. Sementara, Baduy Dalam berjarak sekitar 8 km dari Baduy Luar. Ada banyak kampung di Baduy Dalam dan Luar. Untuk menginap, biasanya pendatang akan memasuki kampung Gajeboh yang terletak di Baduy Luar paling ujung sebelum jembatan bambu. Jika menggunakan guide, kemungkinan tidur di kampung sebelum gajeboh yang beberapa rumahnya sudah disiapkan untuk kebutuhan penginapan (komersil?).
Sebenarnya, Gajeboh dapat dicapai tanpa guide, tetapi banyaknya persimpangan tanpa tanda menimbulkan resiko tersesat. Sehingga sebetulnya seorang calo, antara kecemasan dan kebutuhan, menawarkan jasa untuk memastikan keselamatan pendatang.
45 menit kemudian saya sampai di Gajeboh, nama sebuah kampung yang tadinya saya pikir nama rumah. Seorang bapak bertanya sambil merokok di dipan rumahnya "mau kemana dik?" "ke gajeboh, pak" "ini gajeboh". Berfikir sebentar, masih dalam asumsi bahwa Gajeboh adalah nama rumah yang biasa ditinggali pendatang, berujar "saya mau izin menumpang, pak" Belum selesai bertanya dimana saya bisa menumpang, kalimat saya terpotong.
"boleh, silahkan, mari duduk sini" tanpa jeda.
Saya terkejut. Iyalah. Buyar semua pikiran tentang hirarki dan birokrasi. Ini melegakan, tetapi di satu sisi mengkhawatirkan. Adanya birokrasi memperjelas kedudukan dan penempatan diri. Seorang pendatang dapat memahami prosedur berkelakuan melalui kepala desa. Namun, semua pikiran ini patah hanya dengan kalimat diatas. Bahwa 'ini rumah saya. Jangan khawatir tentang prosedur. Mari menginap jika kamu butuh.'
Pak Rahmin mempunyai dua orang putri, Rani dan Rabiah, seorang istri, dan ibu yang tinggal dalam satu atap. Ada dua ruangan di dalam rumahnya, area dapur dan ruang tidur. Sore itu, kami makan bersama dengan lauk umbi-umbian dan ikan asin. Menurut saya, tanda terima kasih terbesar yang bisa diberikan seorang pendatang adalah makanan dan komunikasi, bukan duit (bahkan duit dirasa mengejek), which I lack in both. Komunikasi saya terbatas dengan pak Rahmin yang fasih bahasa Indonesia. Sementara anak, istri, dan ibunya berbahasa sunda halus. Tandaslah beberapa gelas kopi untuk kami berbincang berdua saja. Kopinya produksi Rangkasbitung dengan gula aren sendiri, sederhana, seperti kehidupan masyarakat Baduy (sebab stagnan adalah kata yang jorok).
Keesokan paginya, saya berangkat ke Baduy Dalam, tepatnya kampung Cibeo. Kombinasi antara pede dan super-nggak-enakan membuat saya menolak tawaran antar dari pak Rahmin. Disini sebetulnya pemandu bekerja. 8 km dengan banyak perpotongan jalan tanpa tanda arahan bukan trekking main-main. Hampir di setiap persimpangan saya bertanya arah kepada orang lewat. Itu pun masih sempat kebablasan nyaris tersesat.
Lagi-lagi keberuntungan menyertai. Ketika minus 1 km sebelum Cibeo, saya duduk beristirahat di atas batu di tengah sungai. Tiba-tiba seorang lelaki menghampiri saya, namanya kang Ijom. Kami berkenalan. Beliau lalu beranjak menuju baduy luar, belum jauh berapa langkah, ia kembali dan berkata untuk mampir ke rumahnya, rumah kedua dari gerbang, mintalah kopi pada istri saya, katanya. Saya masih duduk disana ketika beliau kembali beberapa menit kemudian untuk memberikan arah yang presisi menuju Cibeo. Beliau betul-betul khawatir saya akan tersesat.
Benarlah, ada satu persimpangan bercabang 3 yang sepi. Tidak mengarah langsung ke desa dan hampir tidak ada orang lewat. Jalan utama (dari kelebarannya) mengarah ke tengah, tetapi kang ijom mengulang untuk mengambil jalan kiri. Betul-betul saya sampai ke Cibeo dengan selamat.
Saran saya untuk ke Baduy dalam, gunakan jasa guide, jangan menolak jika ditawari antar oleh kenalan, atau pergi bersama pendatang yang pernah kesana. Orang Baduy mengenal karma, dan itu cukup untuk memperingatkan pendatang yang belingsatan untuk berhati-hati. Sederhananya, jangan banyak tingkah atau berniat yang aneh-aneh.
Ah, terlalu banyak yang dapat ditulis tentang Baduy Dalam. Ini bukan masalah komparasi antara luar dan dalam. Ruang 'antara' yang dipeluk hutan sudah menjadi jembatan yang mentransisi pendatang ke waktu yang berbeda. Kontras antara luar dan dalam terlihat dari 'warna' yang lebih membumi. Rumah dibangun dengan material alam tanpa bantuan paku, berjenis atap Togog Anjing yang memaksimalkan keberadaan dipan. Penduduknya berpakaian seragam, dengan sentuhan warna tanah yang menggambarkan kedekatan mereka terhadap alam. Dipan rumah, berlaku sebagaimana mestinya, tempat mengobrol, berjualan, dan bertamu. Tanpa kursi, rasanya sungguh setara. Saya memasuki rumah kang Ijom melalui istrinya, meminum kopi dari sebatang bambu yang dipotong menjadi gelas. Berkeliling untuk berbincang dengan warga, lalu menemui kang Ijom yang sudah kembali (ajaib). Beliau mengajak saya makan bersama anak dan keponakannya, Ijom cilik dan Dara. Sebelum saya berangkat kembali ke Baduy Luar, beliau memberi saya kenang-kenangan berupa gelang yang ia buat sendiri. Sayang, saya belum dapat bermalam disana.
Bicara tentang Pulang
Malam terakhir di Baduy Luar diisi dengan mengobrol bersama pendatang lain dari bogor dan bandung. Para pengamat tekstil tenun. Melihat dan memotret bintang, serta menghabiskan kopi untuk kesekian kalinya.
Pagi datang terlalu cepat. Rasanya belum ingin pulang.
Gowes kembali ke Depok diisi dengan pikiran santai walau tanjakan membantai. Euforia damai dari Baduy masih menadi. Sangking santainya sempat berhenti di pinggir jalan untuk menyeduh kopi sendiri dengan nesting. Memang, sebengal-bengalnya Depok sebagai kota, ia tetap wanita. Bisa menerbitkan rindu dan bisa memeluk. Rindu pada kuning-hitam lampu jalan, kamar kosan yang remang, lele goreng pinggir jalan, kopi aceh seduhan sendiri yang rasanya masih belum pasti, dan sealbum suara Sore dari sohib.