Saturday, June 13, 2015

Sepotong

Habis, membela diri serasa mengasihani sendiri. Maaf berulang, seperti apapun itu yang berulang, membosankan, bahkan menyebalkan. Tidak bertemu, lantas merindu. Namun maaf (lagi), seribu sumpah ingin bertatap, tapi tak bohong jika dikata kelu di sejurus panca.


Ada yang menarik dari sendiri. Ada yang terungkap dari lupa dunia. Taruhannya besar, tidak tanggung masa depan, juga teman. Namun, bagaimanapun, adapun,  mantra-mantra yang dianggap lumrah jadi ditanya kembali. Bolak-balik bertanya, bisa? Bagaimana? Gawat? Bisa.

Ada ia begitu pendiam, tetapi selalu memanggil. Ruang.
Menaungi tidak, mencekam hingga sesak, tapi tak pelak
senantiasa berkata, di-sini kamu aman
Janji itu seperti seorang ibu, yang mengandung tak
kunjung menghantar lahir, lantas mengapit janin
hingga kempes dan busuk

fasih bibirnya mengucap janji, nanti pasti
pasti nanti. Kasih alibi, coba, mandiri
di sini waktu mati, tergesa menjadi dosa
Namun ruang yang amis, tidak menjegal
ingatan, dan hal-hal yang harus datang

Setiap sore, walau disini selalu malam
Ia akan bercerita tentang diam, diantara 4 tembok
dua setengah hasta, dan tidak berhenti meracau
sebelum malam benar-benar tiba
seakan ia yang menghunus senja, 
dan menumpahkan gulita ke dunia
Seakan ia, putra anjani, 
yang mampu menelan matari

Namun ruang yang amis, tidak menjegal
ingatan, dan hal-hal yang harus datang

Palsu dan murni bergaris dalam sendiri
disini, berjarak dan dialognya menyata 
Asa mungkin menumpul, dan selubung
berniscaya pada kehabisan perkara
Namun ingatan, tentang hal-hal yang jadi
Bersisa, bahwa sebuah pernah selalu membibit

dan betapa, pernah itu, bercerita
padanya tentang siapa, tentang apa
banyak sekali, memecah gelap menjadi fraksi
Menepis ragu seperti angin membongkar cadar

Maka datanglah-datang, pancung aku
Hei tahi rahwana, jika engkau mampu
dan kuberi engkau satu janji
bahwa aku akan kembali