Friday, July 10, 2015

Teringat

Pernah, perjalanan itu serupa gambar bergerak, begitu mulus habis-habisan. Duduk di kereta ekonomi yang melaju di pagi hari, tiket enam ribu rupiah dari Merak ke Jakarta, hanya dua kali dalam sehari. Dengan orang-orang yang berjubel hendak mengadu nasib, ada yang duduk melantai, berdiri, juga berbagi berpangku-pangku. Sayur-mayur dan dagangan berserakan, ayam dipinggirkan agar tahinya tidak berceceran. Pintu kereta tidak tertutup, angin masuk menerpa seisi gerbong, lalu diiris pelan-pelan oleh setiap orang, hingga hembusnya menjinak pada kursi paling belakang.
Orang-orang duduk di pintu dengan kaki terkulai tak sadar menjual nyawa, tak apa gumamnya, toh pemberontakan kecil ini menandakan dirinya masih hidup. Belanya sambil terkantuk-kantuk.

Kereta membelah sawah dan barisan rumah yang berulang,
sawah-rumah-sawah-rumah-sawah-rumah-matahari! pagi!
kuningnya egois, pancar pertama yang menjaga mata-mata di pintu kereta tetap terjaga.

Seorang perempuan menghimpit penumpang sambil meminta uang, terus bicara dengan tangan mengadah, perutnya menyundul-nyundul lengan penumpang yang masih setengah terpejam:
'mbak minta mbak minta mbak minta mbak minta', 
Ia tidak berhenti sebelum diberi.

Seorang pengamen lalu lalang membawa titah kenabian iwan fals. Langkahnya pasti tapi tahu diri. Ini yang paling metaforik, ia memetik gitar sambil diguyur matahari pagi dibelakang punggungnya, matahari yang berkedip karena melintas lanskap dan tirai jendela kereta. Suaranya lantang menantang, gitarnya garing merongrong tajam. Tanpa terburu, ia bernyanyi

di kamar ini aku dilahirkan
di bale bambu buah tangan bapakku
di rumah ini aku dibesarkan
dibelai mesra lentik jari ibuku
nama dusunku ujung aspal pondok gede
rimbun dan anggun
ramah senyum penghuni dusunku


kambing sembilan motor tiga

bapak punya
ladangnya luas habis sudah sebagai gantinya


sampai saat tanah moyangku

tersentuh sebuah rencana
demi serakahnya kota
terlihat murung wajah pribumi
terdengar langkah hewan bernyanyi


di depan masjid

samping rumah wakil pak lurah
tempat dulu kami bermain
mengisi cerahnya hari


namun sebentar lagi

angkuh tembok pabrik berdiri
satu persatu sahabat pergi
dan tak kan pernah kembali

Bajingan. Ia mengubah gerbong menjadi panggung. 

Tapi sayang.
Semua orang masih setengah mati, beberapa terpejam menunggu Jakarta datang.
Ayo jakarta cepat datang, agar aku bisa cari uang lalu cepat pulang!
kata mereka dalam penat kemarin yang masih bersisa.

Ini 4 tahun silam. Belum genap 20.
Jika diingat, rasanya seperti film. Sayang saya bukan nikolas saputra.
Sampai dirumah, ibu bilang bapak hampir telepon polisi. Sebab 3 hari tidak bisa dihubungi.
Lalu saya bilang, apa boleh buat, sinyal sulit di gunung batur.
Bapak hanya melotot, mau tempeleng, tampak terlalu sayang.