Monday, September 28, 2015

Intelegensia


Hari ini saya belajar tentang berkembang. Ada 5 hal yang ditunda sejak setahun yang lalu. Diselesaikan dalam lima puluh menit hari ini. Bukan saya yang berkembang, tetapi orang yang membantu menyelesaikan 5 hal ini.

Tanpa bicara secara langsung, dia memperlihatkan bahwa intelegensia bukan diukur dari keluasan wawasan, tetapi kekokohan strukturnya. Keseimbangan tektonik suatu arsitektur diraih dari sintesis eksplorasi yang dibentuk melalui beragam cara. Hal ini, secara analogis juga berlangsung pada manusia, begitu sederhana dan fana, bahwa seorang intelektual sejatinya adalah orang yang mampu mengaminkan perbedaan saat bertanggung jawab pada ucapannya. Dahulu, saya bisa berkata sepertinya saya telah memenuhi standar ini. Namun, keluwesan seseorang pada ketertarikannya (luasnya wawasan), sekali lagi bukan intelegensia. Untungnya, saat ini saya mampu menerima fakta bahwa saya belum menjadi seorang intelektual bebas. Penundaan, yang saya harapkan menjadi jalur bebas hambatan, ternyata menjadi ruang quo yang menghentikan waktu hanya bagi saya. Ketika saya kembali, semua sudah bergerak begitu jauhnya.

Seperti ungkapan seno dalam banyak kesempatan, intelektual palsu adalah orang yang senantiasa melakukan masturbasi (secara harfiah maupun metaforis). Banyak berkata tanpa mampu berkarya, sebab fantasi atas karya dirasa sudah cukup. Mudah sekali untuk mendengar orang bilang, saya paham, dan saya bisa melakukannya. Seperti mangunwijaya yang mengatakan intelegensia adalah kesatuan dari religiositas dan ilmu diatas bumi, dualitas diantara keduanya bukan segmentasi, justru perlu dijembatani. Sebab, apakah artinya memiliki wawasan tetapi berjarak dengan diri sendiri, tak ubahnya dengan sebongkah ember yang membendung susu.


Saya menyadari, sesimpang siur itu tulisan saya, menggambarkan fragmen-fragmen yang belum dijembatani, belum melalui proses tracing, sehingga belum memiliki bentuk yang dapat diidentifikasi. Begitulah, sebab sesal adalah sebentuk pembenaran, saya rasa akan jauh lebih baik jika proses pasca mencerna dilanjutkan dengan berkarya. Sebab saya merasa telah terlalu lama bermasturbasi.

Sunday, September 6, 2015

Naik dan turun


Ecstatic. Tulisan itu bagus kalo baper. Melihat kebelakang tidak terkekang, atau jika sekarang sedang menyenangkan. Kemarin menjadi baik karena ada yang baru: 1. Papua 2. Borges 3. Sufjan Stevens.

Tadinya saya ingin gembar gembor tentang merasa bahagia. Tentang borges dan sintesis dongeng, tentang sufjan stevens dan rasa damai, dan tentu saja papua. Rasanya, hal ini menjadi demikian sepele.

Ecstatic menjadi melankolis, saat sadar kebahagiaan pribadi sangat berjarak dengan orang lain. Untuk Aqil, yang sedang berjarak dengan bahagia, saya harap damai ada di belokan jalan. Saya akan lancang bila bicara tentang simpati. Namun saya tahu, saya sungguh berharap anda baik-baik saja.

Saya rasa ini kebetulan, tetapi tadi siang ada Aga yang datang membawa referensi musik. Tentang situasi, (mungkin) ini berkorelasi. Bisa ditilik, atau tidak perlu sama sekali, yang penting semoga beresonansi.

Death With Dignity
Sufjan Stevens

Spirit of my silence I can hear you
But I’m afraid to be near you
And I don’t know where to begin
And I don’t know where to begin

Somewhere in the desert there’s a forest
And an acre before us
But I don’t know where to begin
But I don’t know where to begin
Again I've lost my strength completely, oh be near me
Tired old mare with the wind in your hair

Amethyst and flowers on the table, is it real or a fable?
Well I suppose a friend is a friend
And we all know how this will end

Chimney swift that finds me, be my keeper
Silhouette of the cedar
What is that song you sing for the dead?
What is that song you sing for the dead?
I see the signal searchlight strike me in the window of my room
Well I got nothing to prove
Well I got nothing to prove

I forgive you, mother, I can hear you
And I long to be near you
But every road leads to an end
Yes every road leads to an end
Your apparition passes through me in the willows
Five red hens – you’ll never see us again
You’ll never see us again



Jika justru salah interpretasi dan bikin emosi, mari saling menemui. yang penting (kita) bisa mengurangi jarak. Empat tahun itu lama sekali sob.

Thursday, September 3, 2015

Papua, banyak cerita

Pulang dari papua, rasanya lapar. Masih banyak hal yang bisa didulang, tetapi apa mau dikata, waktu dan tenaga sudah habis nyaris tak bersisa. Papua selatan, kabupaten bovendigul, yang kami jajaki selama 21 hari menyimpan banyak cerita. Langit, hutan, sungai, kampung, dusun, merupakan formula perjalanan wajib untuk mencapai kampung Yafufla (kecuali anda punya helikopter), tempat bermukimnya sebagian marga dari suku korowai yang tengah menunggu pembangunan. Sementara sisanya yang masih berpegang teguh pada adat, masih bertinggal di dusun yang tersebar di belantara papua selatan. Alhasil, dapat dikatakan kami mengambil data turunan yang berasal dari lisan para tetua dusun yang pindah ke kampung ini. (kampung: areal terencana untuk bertinggal terbuka di pinggir hutan. Dusun: pemukiman komunal di dalam hutan)

Suku Korowai yang bertinggal diatas pohon punya alasan berbasis rasa takut untuk mengamankan diri dari pertikaian dan perang serta swanggi (kematian/penyakit yang tidak dipahami). Awalnya, saya pikir keinginan mereka untuk mengelevasi diri merupakan bentuk penghambaan pada Tuhan. Terbentur kenyataan, saya tutup mulut. Ini menjawab kegalauan saya saat memasuki rimba papua. Gaston bachelard bilang bahwa attic (highest point of house) in contrast with cellar (signifying irrational thought) represent tranquility and imagination, roughly saying semakin tinggi posisi seseorang dalam rumah, semakin damai/rasional lah penghuninya (ada nook, light, dan conforting silence). Juga melihat preseden dari rumah bertema ketinggian, cenderung berbanding lurus dengan kebijaksanaan. Lah kok, suku ini makan orang?