Pulang dari papua, rasanya lapar. Masih banyak hal yang bisa didulang, tetapi apa mau dikata, waktu dan tenaga sudah habis nyaris tak bersisa. Papua selatan, kabupaten bovendigul, yang kami jajaki selama 21 hari menyimpan banyak cerita. Langit, hutan, sungai, kampung, dusun, merupakan formula perjalanan wajib untuk mencapai kampung Yafufla (kecuali anda punya helikopter), tempat bermukimnya sebagian marga dari suku korowai yang tengah menunggu pembangunan. Sementara sisanya yang masih berpegang teguh pada adat, masih bertinggal di dusun yang tersebar di belantara papua selatan. Alhasil, dapat dikatakan kami mengambil data turunan yang berasal dari lisan para tetua dusun yang pindah ke kampung ini. (kampung: areal terencana untuk bertinggal terbuka di pinggir hutan. Dusun: pemukiman komunal di dalam hutan)
Suku Korowai yang bertinggal diatas pohon punya alasan berbasis rasa takut untuk mengamankan diri dari pertikaian dan perang serta swanggi (kematian/penyakit yang tidak dipahami). Awalnya, saya pikir keinginan mereka untuk mengelevasi diri merupakan bentuk penghambaan pada Tuhan. Terbentur kenyataan, saya tutup mulut. Ini menjawab kegalauan saya saat memasuki rimba papua. Gaston bachelard bilang bahwa attic (highest point of house) in contrast with cellar (signifying irrational thought) represent tranquility and imagination, roughly saying semakin tinggi posisi seseorang dalam rumah, semakin damai/rasional lah penghuninya (ada nook, light, dan conforting silence). Juga melihat preseden dari rumah bertema ketinggian, cenderung berbanding lurus dengan kebijaksanaan. Lah kok, suku ini makan orang?
Tetapi praduga punya tuduhan, bisa jadi keberjarakan mereka dengan tanah dimotori keinginan mengisolasi diri dari kejahatan, yang secara tidak langsung menjadikan mereka insan yang bijaksana. Sebab tidak bijaksana untuk menyebut kultur kanibal sebagai tanda kebengisan. Bagaimanapun, kultur hanya turunan fisik dari tanda yang diakui secara komunal, dan terlepas dari benar dan salah. Artinya, tujuan pertama mereka bukan didasari rasa takut, melainkan keinginan untuk menuju kebenaran. Mungkin (sebab saya belum kompeten untuk bilang wallahualam).
Ngomong-ngomong, budaya rumah tinggi sendiri sedang diancam bahaya kepunahan. Pengikisan budaya adat akibat intervensi kemajuan itu rentan sekali, seperti pemuda rentan panas dingin melihat perempuan cantik. Siapa tidak tergoda dengan suara renyah cita citatah lewat hp, rokok mild mentol yang tidak perlu digulung, dan rumah bersendi paku yang hanya perlu diketok-ketok palu untuk bertahan selama 7 tahun dibanding suara anjing, tembakau gulung, dan rumah sagu yang hancur 2 tahun kemudian. Dengan datangnya intervensi pemerintah dan agama yang mengantarkan damai (lewat senapan), serta adanya dokter dan pengobatan (yang datang tak dijemput pulang tak diantar), menyiratkan suatu pikiran baru: ngapain lagi tinggal di atas pohon? Toh ada potensi hidup lebih mudah.
Maka, sedikit demi sedikit mereka turun. Keganasan rimba papua tidak perlu dipersulit.
Namun kita kembali lagi pada polemik yang klise. Orang-orang yang meninggalkan akar, akan pergi mencari akar yang lain, dalam kasus ini kota. Sayangnya, kepergian itu tidak dimodali dengan kemampuan kompetisi yang mencukupi untuk tinggal di neraka bernama kota. Pergi ke kota 2 tahun, pulang membawa uang dan menularkan janji surga, pergi bersama teman, lalu kembali pulang saat kota terlalu panas, dan seterusnya. Tidak ada kemajuan yang terjadi, hanya ada kontaminasi ide hidup enak dari kota terhadap pola kebudayaan di kampung. Bahkan pak cornelius bilang, sebelum orang-orang pulang merantau, di kampung ini tidak ada penyakit kusta. Bukan bukti, hanya indikasi.
Tentang hal yang hilang
Ada dua hal besar yang hilang pada masyarakat korowai, Tuhan dan pemerintah (yang agaknya sejajar di mata mereka). Tuhan pernah datang sekitar 1970an, tetapi gereja kini kosong. Pengenalan kepada Tuhan menghentikan beberapa ajaran adat yang bersifat atau dianggap bengis di masyarakat bermoral, tetapi agama kurang tertanam secara menyeluruh pada kehidupan mereka, kecuali fakta bahwa sebagian besar nama dari masyarakat ini diambil dari kitab suci. Sementara pemerintah, seperti pada kasus kampung tertinggal lainnya, hilang lebih tak berbekas ketimbang Tuhan. Pemerintah memberi insentif dana yang nyangkut di beberapa titik birokrasi sebelum mencapai kampung, adalagi infrastruktur ajaib seperti solar panel yang dipasang di rumah-rumah penduduk untuk menyalakan lampu dan (secara ironis di tempat yang tiada sinyal) handphone. Sisanya berupa material dan rumah praktis berprogram ruang sama yang dibangun di beberapa kampung.
Sebenarnya saya jengah sekali membaca tulisan tentang papua yang menyebut relasi pemerintah. Pemerintah seharusnya.. pemerintah diharapkan... dan seterusnya. Padahal, ketimbang pemerintah, investor swasta bergerak jauh lebih cepat dalam menandai lahan potensial untuk perkebunan kelapa sawit dan karet. Melalui celah tanah tak berakte dan mekanisme tukar guling dengan pemda setempat, ancaman ambil alih lahan ini kian nyata. Ini bukan pesan diplomatis, tetapi berharap pada pemerintah semata sama halnya seperti berharap hujan pada Tuhan, bahkan lebih naif. Banyak cara yang dapat ditempuh secara mandiri oleh orang-orang berkompetensi untuk mulai membangun papua, baik di bidang pendidikan, kesehatan, bahkan pembangunan arsitektural yang tidak mengesampingkan budaya. Papua, sungguh-sungguh menunggu siapa yang datang lebih dulu.
Banyak sekali yang bisa ditulis, tentang skema solusi budaya vs pembangunan top down, kebudayaan rumah tinggi, dan lain-lain. Berhubung terancam digugat membocorkan isi buku yang nantinya disusun untuk output, saya berhenti sampai sini.
No comments:
Post a Comment