Wednesday, February 24, 2016

Repeat, then Juxtaposition

Bukan entry yang umum, tetapi bagi saya cukup menarik menyangkut kreativitas improvisasi.

ILK atau Indonesian Lawak Klub, ternyata cukup unik setelah saya saksikan sepotong di warkop. Agenda ILK mencoba menghangatkan isu terbaru secara ringan tanpa tendeng alih konklusi yang kasar. Kekuatan terbesarnya muncul dari kepiawaian pelawak veteran yang mengisi acara guna menjaga flow komedi agar tetap berjalan.

22 februari, ILK membuka topik tentang censorship, dengan salah satu gadis pengisinya Tasya.


(08.10-09.45)
Pada suatu titik Tasya turun pendapat tentang foto sensor sapi yang sedang  diperah. 
Menurutnya, 1. foto itu tidak perlu disensor karena sapi tersebut adalah sapi jantan. 

Tidak ada yang tertawa. Sangking tidak lucunya, wajah saya menciut karena ikut malu sambil mengingat lirik 'berdoalah sebelum kita tidur'. 

Lantas, Jarwo Kuat yang duduk di sebelahnya secara inisiatif merespon lelucon itu dengan 2 argumen:
2. Menyatakan apresiasi terhadap sapi betina yang bersedia diperah setiap hari tanpa minta dikawini
3. Menyalahkan Tasya karena membuat leluconnya menjadi tidak lucu

Tawa saya meledak habis. 
Bukan menertawakan (1) garingnya Tasya, tetapi (3) punchline akhir yang dilontarkan jarwo begitu efektif setelah dia sendiri melontarkan (2) lelucon garing untuk membantu Tasya dengan memperlihatkan bahwa pelawak juga dapat gagal melucu. 

Tuh kan, jadi ngga lucu gara-gara lu.
Statement ini membongkar usaha melucu dari Tasya sekaligus menghapus dosa lelucon gagalnya. 

Ada dua comedic device disini, Repeating dan Juxtaposition. Pertama Jarwo mengulangi lelucon murah dengan konteks 'sapi' dan 'perah'. Combo dari dua lelucon ini berlanjut pada Juxtaposition gag, atau instrumen komedi dengan elemen perbandingan. Tasya bukan pelawak, sementara Jarwo Kuat sudah menjadi komedian kredibel sejak sinetron tahunan PPT. Prinsipnya, semakin kontras kedua elemen yang bekerja, punchline yang muncul juga semakin efektif. 

Dua argumen pertama yang tidak lucu membuat argumen ketiga menjadi pecah. 
Dua figur yang merupakan pelawak dan bukan, memperkuat lelucon itu sendiri.

Pada komendi ping-pong seperti duet presenter radio, komedi kartun, dan sebagainya, hal ini lumrah dengan kontras yang tidak sesignifikan itu. Baik karena scripted, maupun figurnya. Namun pada scene diatas, saya terkejut karena tidak melihat kemungkinan lanjutan dari lelucon pertama. Bagi saya, improvisasi Jarwo merupakan reaksi yang mantap; ulangi, dan pecahkan.

2 comments:

Anonymous said...

cek email masnya

bangquito said...

Saya pikir managernya Tasya mau nuntut