Friday, September 16, 2016

Sulap

Artikel dimuat di qureta pada 15 September 2016

Waktu itu saya menemukan postingan blog yang isinya kurang lebih begini:

Semua pesulap sebelum bersulap umumnya mengucapkan mantra;   
"Bukan sulap, bukan sihir!" 
Lalu, yang mereka lakukan itu apa dong?

Pertanyaan semacam ini sangat menarik secara pribadi. Ganjilnya, apa yang dilakukan para pesulap itu kontradiktif dengan ucapan mereka. Saya jadi curiga, untuk apa mereka ngomong begitu? 
Baru-baru ini setelah mengikuti diskusi dialektika Hegel, saya sedikit menyadari unsur negasi dan fungsinya dalam "mantra" tersebut.

Sulap, menurut hemat saya adalah tipuan yang menghibur. Sebab, apa-apa yang dilakukan pesulap pastilah sesuatu yang ajaib dan berjarak dari yang logis. Sesuatu yang ajaib biasanya menyenangkan (kecuali harapan palsu). Sulap umumnya tidak membahayakan, tapi mengandung kejutan. Contoh sulap yang berbahaya muncul dalam salah satu cerpen Seno yang kocak itu: Seorang pesulap babak belur digebuki karena mengubah udara menjadi uang. Ini kasus tragis, jika sulap dibawa mengharap.
Terlepas dari satir, umumnya semua unsur sulap mengakali penontonnya, termasuk mantra di atas.

Secara ringkas dialektika Hegel merangkum proses mencapai sintesis melalui dua kali pengingkaran (negasi) dari tesis dan antitesis. Pengingkaran ini bertujuan untuk membantah tesis dengan menegasinya lewat antitesis, yang kemudian disangkal kembali oleh sintesis sebagai gabungan utuh dari keduanya. Lalu berulang lagi sampai kiamat. Kalau dalam prakteknya bagi mantra di atas, kurang lebih kalimat itu dapat dijabarkan seperti ini:
Negasi dari sulap adalah yang bukan sulap,
Yang bukan sulap (dan bukan sihir) = bukan tipuan, 
sehingga, yang bukan tipuan = sifatnya nyata.

Jadi, ketika pesulap yang hendak menghilangkan burung dari sangkar berkata:
"Bukan sulap, bukan sihir."
Memiliki arti:
"Ini nyata, bisa dipercaya."

Di sini pesulap sedang memantrai penonton, bukan burungnya. Pesulap menyangkal aksinya melalui "mantra" itu untuk menghadirkan kesan "nyata". Sehingga, pesulap telah melakukan dua tipuan, (1) aksi sulap, dan (2) mantra yang menegasi aksi tersebut. 
Walaupun bagi saya sintesis dari aksi ini membuat blunder atau bersifat membatalkan laksana haiku, pendekatan ini lebih sakti daripada mantra lain seperti "sim sala bim (This transform into That), dan abracadabra (I Create as I speak)" yang menegaskan aksi bersulap.

Mengapa mantra ini lebih sakti bagi saya?
Sebab berdasarkan contoh historis lainnya, pengingkaran/larangan lebih kuat untuk menegaskan sebuah maklumat. Misalnya dalil-dalil dalam kitab suci secara umum dan Ten Commandement secara khusus. Ten Comandement yang berisi 10 larangan Tuhan, selalu berujung pada kesimpulan;
"Jalan yang benar hanya satu, yaitu menghindari hal-hal ini."

Sementara dalam sudut pandang arsitektur, negasi adalah alat penyelidikan untuk menganalisa suatu rancangan. Dengan menegasi, atau lebih dikenal sebagai proses reduksi, kita dapat mengetahui esensi dari suatu rancangan. Misalnya untuk mendefinisikan masjid, kita dapat menegasi apa yang bukan masjid. Masjid bukan kubah, bukan tiang, bukan sajadah. Yang tersisa kelak adalah esensi masjid, yakni tipologinya sebagai tempat ibadah masal yang memenuhi syarat-syarat ritual sholat. 
Dari sini kita tahu bahwa sintesis dari rancangan masjid adalah bermula dari hasil negasi yang bukan masjid (tipologi masjid) ditambah simbol-simbol kebudayaan. Karenanya, dalam kasus-kasus masjid tidak beratap kubah, kita tetap dapat memahaminya sebagai suatu masjid.

Dengan menegaskan suatu aksi melalui negasi, baik seorang pesulap, arsitek, maupun pendogma agama, dapat menampilkan suatu kesan kebenaran pada penontonnya. Ini bukan ujug-ujug penipuan, tetapi dapat menjadi proses yang sehat untuk mencapai suatu kesimpulan. Suatu larangan selama dibaca sebagai negasi, bukan hal yang negatif selama berada dalam proses dialog yang tepat. 

Kecuali larangan merokok di kantin tanpa kubus khusus perokok. Itu marginalisasi. 

No comments: