Wednesday, June 28, 2017

Selamat!


Untuk yang kemarin berulang tahun, selamat! Terima umur dan semoga panjang nafas. 

Teman saya ulang tahun. Saya hanya ingat kisaran minggu keempat di bulan Juni, tapi tanggalnya diberitakan oleh Facebook. 

Waktu pertama bertemu orang ini, saya sempat berfikir, "mukanya mirip banget sama Sardono." Ternyata doi memang masih ada hubungan darah. Orang ini kocak, walaupun cenderung jaim untuk menggantikan Dono. Apalagi selera humornya terlalu gelap di banyak kesempatan (berapa banyak sih, orang yang menangkap guyonan Monty Python dan Adult Swim?). Hebatnya, terlepas dari kecanggungan lawakannya dia masih mampu gonta-ganti pacar, walaupun move on nya lama bukan main. 


Selera musiknya baik, jika disandingkan dengan saya yang seadanya. Bukan sekali saja dia mengenalkan musik-musik baru yang sampai sekarang saya nikmati. Dia suka sekali Oasis, dan nyaris selalu membuntut pada komentar: "Sayang banget ini ben bubar". Begitu juga dengan film dan buku, dia masih mampu menarik komentar lebih dari sekedar "bagus". 

Sampai saat ini, dia termasuk teman dekat saya. Ada beberapa anekdot kalau boleh diingat-ingat. Salah satunya, waktu masih malu-malu merokok. Kami ngudut di dalam kamar yang tertutup rapat. Lalu kami kelabakan waktu tetangga tiba-tiba hendak masuk kamar, sehingga kami berlagak ke WC. Saya pikir bakal timbul fitnah kalau kami kedapatan berduaan di WC, jadi saya keluar lalu sibuk mengipas-ngipas asap rokok di tengah kamar. Teman ini kaget karena kabut asap sudah memenuhi ruangan. Dia mengira ada kebakaran. Heboh sudah. 

Pernah pada suatu hari yang normal ketika saya bolos studio, dia datang membawa pecel lele ke kosan. Dia menemukan saya tidur tengkurap setengah telanjang dengan sekaleng baygon di samping saya. Waktu itu saya habis berbenah lalu capek dan (sengaja) kesiangan. Orang normal mungkin cenderung panik mengira saya putus asa, menjatuhkan lele, lalu mengguncang badan saya. Dia, dengan santainya mendepak kecil punggung saya (masih pake sepatu) sambil bertanya "kit, lo belom mati kan?"

Saya ingat kebiasaan kami mengumpukan receh-receh dari balik kasur, kantong cucian kotor, dan sudut-sudut kamar untuk bersosialita di warkop. Biasanya lahir sumpah menata uang lebih baik setelahnya, sebelum akhir bulan melakukan hal yang sama. Atau kadang bersama teman-teman yang sama kerenya, kami mengumpulkan material sisa perancangan di studio untuk bahan maket. Biasanya, berkostum sandal jepit dan celana pendek, saya paling tampak menghayati peran tersebut.

Saya pasti sudah kaya kalau anekdot-anekdot ini bisa ditukar uang. Sialnya, anekdot semacam ini hanya menjadi nilai tukar dalam pertemanan. Semakin banyak anekdotnya, semakin orang tercemplung pada kondisi berteman. Celakalah orang ini, yang hanyut berteman dengan saya selama 5 tahun. 

Banyak yang saya pelajari dari orang ini. 
Yang pertama kemauannya untuk memulai. Kami pernah merintis komunitas kecil untuk merangsang minat baca anak-anak, dia juga membuka usaha desain kreatif, sebuah blog, dan UKM. Hal ini diikuti dengan sifat kompetitif, yang kadang membuat saya agak jengah. Dia akan uring-uringan saat gagal mencapai target atau kalah dari orang lain, sementara saya demikian jika kehabisan rokok. Saya ingat waktu dia gagal menjadi ketua himpunan, yang direnungkan, -lagi-lagi dengan sebongkah Super (saya mual sekali waktu itu). Menurut saya, ada beberapa hal yang tidak ia selesaikan dengan sempurna, tetapi itu mungkin cara untuk menelisik hal yang benar-benar penting baginya. 

Kedua, soal mawas diri. Mawas diri adalah frasa tidak baku dari 'wawas diri', yang merupakan turunan dari 'mewawas diri', yang artinya: (v) melihat (memeriksa, mengoreksi) diri sendiri secara jujur; introspeksi[1]. Dari caranya bertutur dan isi ceritanya, -lepas dari keluh-kesahnya, saya tahu bahwa dia selalu berusaha untuk memahami dirinya sendiri. Lantas, dia cenderung berhati-hati untuk mengulangi blunder yang sama. Saya merasa cukup kredibel untuk mengatakan bahwa dia telah mengalami banyak kemajuan secara sifat sejak masuk kuliah. Nggak juga sih, ini semua sekedar endorse.

Ketiga, tentang keseriusan. Saya kenal banyak orang yang mau jadi arsitek, tetapi sedikit yang benar-benar berlakon sebagai penggiat. Dia termasuk kaum yang serius untuk melakukan perancangan sadar dan hidup dari sana. Hal ini terbukti dari kebanggannya dalam prestasi arsitektural. Waktu itu saya sedang enak-enaknya tidur lelap di hammock. Dengan teganya dia membangunkan saya jam 2 pagi untuk mengabarkan bahwa kami juara 1 lomba arsitektur. Itu kemenangan pertamanya, dan yang terakhir untuk saya. Selebihnya bisa ditebak, sayembara dan mapres. Caranya merayakan proses perancangan menimbulkan respek khusus bagi saya terkait ranah arsitektur. Sulit untuk membayangkannya sebagai seorang dokter (pilihan pertamanya di SNMPTN), mengingat gampangnya dia panik menyangkut kesehatannya sendiri. Kala dia bingung karena muncul benjolan di leher, saya dengan entengnya bilang itu tumor, lalu mukanya seperti orang mau mati.

Saya bisa melihat dia menangangi pasien,
"Hm, dari tempo nafas ibu, sepertinya ibu ada gejala bronchitis." Diam sejenak, pucat, meraba dada.
"Eh tapi, saya juga gitu napasnya, lah, lah! gimana nih bu?"

Sedikit orang yang bisa menutupi ekspresi kecewanya jika menyangkut saya. Salah satunya orang ini. Saya paling menghargainya pada tataran toleransi, yang semakin matang sekitar kelar kuliah. Kadang, kalau orang sudah kadung dekat, maka keputusan-keputusan aneh satu pihak bukan lagi hal yang perlu dicemaskan. Misalnya waktu saya memutuskan untuk mangkat dari jabatan mahasiswa, beberapa teman dekat saya diam saja. Sisanya bereaksi secara layak: "Yah. Sayang sekali." diikuti dengan emoticon :(. Bedanya, yang dekat memaksa saya berfikir lewat pertanyaan: apa rencana berikutnya? Sementara yang tiba-tiba dekat, akan menawarkan investasi MLM. 

Waktu dia lempar toga, saya tidak datang karena sibuk pacaran. Saya tahu hari itu sangat penting untuknya, begitupun dia paham bahwa hari itu berat bagi saya. Jadi kami hanya bertukar selamat lewat Line, walaupun belakangan saya dibilang tai karena mojok. Biar demikian, dia orang pertama yang mengabarkan tentang OMAH, yang sekarang menaungi saya. 

Seperti kebanyakan pertemanan, saya dapat menakar perkembangan cara berpikir kami lewat peralihan obrolan. Awal kuliah, sebagaimana mahasiswa yang ingusnya belum kering, kami sibuk ngalor-ngidul tentang yang besar-besar, dan suka membesar-besarkan hal-hal yang kecil. Misalnya tentang cara memajukan himpunan, menyatukan angkatan (yaelah, perkedel), dan juga gadis-gadis yang ditaksir. Lalu kami mulai ngobrol tentang arsitektur, teori, langgam, atau kurangnya budaya kritis dari jurusan arsitektur (yang memang cenderung absen mengingat S1 adalah waktu untuk menyerap taktik merancang). Belakangan, isi obrolan beranjak pada cara menyikapi masalah, isu arsitektur yang lebih relevan, kemungkinan bisnis sampingan, serta hal-hal yang lebih nisbi, -tanpa mengurangi porsi diskursus tentang perempuan.

Belakangan, kami masih ketemu beberapa minggu sekali. Kemudian, sulit bertemu karena Depok itu jauh mampus bagi saya. 

Waktu akhirnya jarang ketemu, saya ingat penggalan lagu dari Silampukau [2]

Titipkan semangat, pada yang tlah lelah,
Tegakkan kaki yang telah tertekuk

Jika terpaksa, pisah ditengah-tengah langkah.
Selamat tinggal, semoga bahagia.

Ah, ya sudah, saya pikir. Jakarta sempit, nanti juga ketemu lagi. 

Eh, sekarang malah sekantor. Ngehe.


1. Aplikasi seluler KBBI V 0.1.5 Beta (15) @2016 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. kbbi.kemdikbud.go.id
2. Berbenah, Silampukau. Dari EP album Sementara Ini (2009)

3 comments:

kanimayo said...

brok gila lu brok

fkhryyhk said...

So sweet abis :'')

JAJO said...

Menurut saya dia lebih mirip lady gaga