Begini, saya punya dua mentor yang berpendapat tentang bagaimana dan apa yang baik dalam menulis. Salah satunya bicara bahwa “tulisan terbaik adalah yang ditulis pertama-tama dengan jujur” yang kedua berpendapat “Tulisan yang baik adalah yang dekat dengan keseharian”. Keduanya bicara hal yang sama yakni tentang mendekati hasil, tetapi bukan semata-mata tentang menulis dalam intisarinya.
Bertentangan dengan opini populer, mentor yang pertama meyakini bahwa draft pertama adalah bibit unggul sebuah tulisan jadi. Maka ia harus langsung ditanam dan dituai secepat mungkin tanpa keraguan. Baginya, seorang penulis akan berkembang seiring dengan jumlah tulisannya. Ia percaya bahwa pendapat seseorang akan terus berubah, begitu pula dengan cara menyajikannya. Yang paling penting baginya adalah keberanian untuk bersuara.
Bertentangan dengan opini populer, mentor yang pertama meyakini bahwa draft pertama adalah bibit unggul sebuah tulisan jadi. Maka ia harus langsung ditanam dan dituai secepat mungkin tanpa keraguan. Baginya, seorang penulis akan berkembang seiring dengan jumlah tulisannya. Ia percaya bahwa pendapat seseorang akan terus berubah, begitu pula dengan cara menyajikannya. Yang paling penting baginya adalah keberanian untuk bersuara.
Sementara yang kedua percaya bahwa bersuara harus dimulai dari apa yang dekat. Tentang tetangga, teman, lingkungan sekitarnya, dengan jangkar pikiran yang jelas. Tulisannya harus mengakar sehingga orang-orang mau membacanya, sekaligus penulisnya memang menghidupi hal tersebut agar isinya tidak jauh melampaui kewarasannya.
Lalu saya menemukan artikel dari AS Laksana yang kemudian mengingatkan mengapa saya terus melakukan ini dan tidak menjadi anggota skema piramida, atau mencoba ragam pekerjaan lain yang jelas mendukung isi kulkas dengan rutin.
Sekaligus memperjelas mengapa “menulis ya menulis sajalah” adalah petuah karatan, AS Laksana menguak betapa banyak PR bagi seseorang untuk bisa menulis dengan baik.
Mereka hanya menulis dengan cara menuruti saran yang paling mudah diikuti: "Menulis ya menulis saja setiap hari." Kurang lebih yang mereka lakukan setali tiga kepeng dengan pemain badminton yang bermain di kampung-kampung atau para pecatur yang bertanding setiap hari di gardu ronda.
Kita bisa saja mereka-reka hidup seorang penulis besar untuk mengurai unsur apa dan bagaimana sehingga tulisan mereka bisa merasuk jiwa. Misalnya mengetahui motif kemarahan dibalik tulisan-tulisan Pram, menerka kekosongan hidup Kafka yang dilaluinya dari hari ke hari, atau bagaimana rutinitas sakti Stephen King untuk menghasilkan 2000 kata setiap hari. Lantas sah-sah saja untuk meniru kelakuan orang hebat, sebagaimana proses mengenali sebuah profesi pada umumnya.
Nyatanya kegiatan tersebut memang bukan tentang “apa” atau “bagaimana”, melainkan kesadaran sistematis terhadap prosesnya sendiri. Seorang penulis yang baik tahu kekuatannya, kelemahannya, dan menyasar hal-hal yang luput dengan rencana yang matang. Mencuri metafora yang pernah saya dengar: seorang penulis tidak seberuntung pemusik, mereka tidak akan tahu jika tulisannya bernada sumbang.
Meninjau kembali pendapat pribadi dari tahun ke tahun, sepertinya tidak banyak yang berubah, kecuali secara pragmatis: kegiatan menulis memang berawal dari rasa nyaman yang menjadi kebiasaan, selalu diiringi keraguan atas pendapat sendiri, dan seringkali dibumbui dengan delusi yang kuat bahwa seseorang yang rajin menulis sering merasa dapat disebut sebagai seorang penulis.
Maka saya selalu memperjelas, bahwa saya memang makan dari hasil menulis, tapi saya belum bisa mengaku sebagai seorang penulis. Bukan jawaban yang menentramkan hati calon mertua, tetapi cukup menenangkan diri sendiri.
1 comment:
bagus sekali untuk artikel diatas ini. saya sangat senang membaca dan memberikan banyak manfaat bagi orang awam yang belum mengetahuinya jangan lupa juga untuk mengunjungi situs saya di beli motor bekas medan
Post a Comment