Tiba-tiba hari ini muncul kabar bahwa Baduy mengajukan surat permohonan kepada presiden untuk dicoret dari destinasi pariwisata. Artinya, kemungkinan Baduy tidak lagi membuka diri bagi pendatang, yang boleh jadi mengacu pada wilayah Baduy Dalam. Dengan demikian tidak ada lagi kunjungan seenak hati untuk trekking gembira atau vakansi semi-survival tanpa tujuan yang jelas, misalnya penelitian.
Diam-diam saya merasa senang. Ralat, saya senang sekali.
Saya mengenal Baduy pertama kali di tahun 2015. Hampir semaput naik sepeda istimewa dari Depok menuju kawasan perbukitan Baduy. Pendek cerita 14 jam habis di jalan (dari jam 1 pagi hingga 3 sore). Sepanjang jalan menertawai keputusan untuk mancal jalur rolling track yang ternyata mematikan. Beruntung saat memasuki perbatasan Baduy Luar, mendapat tumpangan dari Pak Rahmin, penghuni kampung Gajeboh.
Esoknya saya berkunjung ke Baduy Dalam. Saat duduk di pinggir sungai sambil melamun, tiba-tiba seorang warga Baduy Dalam mengajak saya berkenalan. Di tengah obrolan tiba-tiba ia memberi gelang dengan air muka persahabatan yang tulus. Sayang betul, gelang itu sudah jatuh ke pergelangan tangan mantan. Sayang pula, mantan itu mungkin sudah jatuh ke pelukan lelaki lain.
Impresi tentang Baduy hari itu adalah kehangatan penduduknya. Selain santuy dan baik hati, pada dasarnya mereka tidak ambil pusing dengan tamu, bahkan mungkin melihat kunjungan sebagai hal yang harus disambut baik. Saya bisa salah, tapi ajakan ngopi terus-menerus menandai bahwa mereka ogah berbasa-basi.
Kunjungan kedua jatuh pada tahun 2017. Kami bertiga berangkat dengan kereta lalu menyambung kendaraan umum. Sampai di tujuan kelewat sore, kami terpaksa bermalam di jalur dengan bivak dari jas hujan. Esoknya mampir ke Baduy Dalam, menyempatkan diri mandi di sungai (membasuh kebusukan kota, kata Damar). Sambil berkeliling di Baduy Dalam, muncul pedagang pernak-pernik dari luar, bahkan salah satu rumah menyajikan mie instan untuk dijual.
Impresi kedua memang berbeda. Ada yang berubah dalam 2 tahun. Lebih banyak calo, wisatawan, dan pedagang. Bahkan di jalan saya bertemu warga Baduy yang sembunyi-sembunyi menenteng smartphone. Ini tidak saya temukan pada kunjungan sebelumnya. Bukan ilusi, begitu cepat perubahan menyusup ke Baduy.
Alasan telak permohonan warga Baduy adalah akibat sampah, baik secara harfiah maupun konotatif. Secara harfiah, Baduy mulai ketumpahan sampah plastik para turis. Ini memang nasib buruk semua tempat wisata. Secara konotatif, informasi tentang Baduy menjadi sampah yang berserakan di dunia maya. Warga Baduy yang cukup mawas melihat bahwa kehidupan mereka sudah beredar sebagai sajian simpang siur. Misalnya postingan saya di tahun 2015.
Itikad saya sederhana, mencatat cerita jalan-jalan dengan medan tempurnya. Namun, apa yang saya lakukan adalah efek domino hasil membaca catatan perjalanan lain. Pun dengan berhati-hati untuk tidak terlalu menjual, catatan perjalanan Baduy selalu menarik minat generasi pejalan baru. Kisah tentang Baduy terus direplikasi dengan beragam sudut pandang, yang sebagian besar membawa kesan bahwa "berkunjung ke Baduy amatlah menyenangkan dan patut dicoba".
Tidak ada postingan yang betul-betul mewakili kehidupan orang Baduy, apalagi bersimpati pada pilihan mereka untuk beradat jauh-jauh. Lebih sulit menemukan artikel yang mengkritik praktek wisata Baduy ketimbang cara mencapainya. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, segala bentuk komunikasi dengan pendatang adalah akulturasi bagi masyarakat Baduy. Sekecil apapun.
Transaksi dengan masyarakat Baduy semakin umum dari tahun ke tahun. Reseller baju adat Baduy dan barang-barangnya mudah ditemukan. Misalnya, teman kos saya pernah kehabisan uang, lalu ibunya menyuruh dia menjual madu asli Baduy (iya, dia dikerjai ibunya). Intinya, pernak-pernik Baduy bukan lagi barang langka, ia sudah mengisi permintaan alternatif di pasar. Orang Baduy sudah berproduksi secara rutin.
Nanya serius, buat apa mereka punya uang banyak-banyak?
Sandang, pangan, dan papan selalu ada.
Di kampung Ciboleger, salah satu Jaro menceritakan bahwa komite adat Baduy masih menginspeksi barang-barang yang dianggap menyalahi aturan adat, seperti radio dan TV. Barang-barang yang ditemukan akan disita. Bagi Jaro tersebut, adapun jual-beli dilakukan untuk mengamankan diri di sisi keuangan (kalau panen gagal atau musibah berkepanjangan sehingga harus membeli sumber daya dari luar), bukan memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi memperkaya diri.
Keinginan memiliki barang asing umumnya datang dari wisatawan, atau dari warga Baduy yang setelah berkenalan dengan kota, pulang membawa cerita menggoda. Hasrat punya smartphone Oppo itu pasti muncul. Di tahun 2015, saya sempat kaget saat mendapat pesan WA dari salah satu warga Baduy Luar, lengkap dengan foto langit, rupanya memang rasa penasaran itu ditunaikan.
Fenomena sosial-budaya itu sudah menjadi dilema sendiri bagi masyarakat Baduy, antara para Jaro, dan antar warga di lingkar perbatasan dengan Baduy Dalam. Saya sangat gembira menyambut surat permohonan tersebut, yang secara implisit menyatakan bahwa mereka ingin mengambil jarak dari dunia dan menyentuh kembali identitasnya.
Sejujurnya agak pesimis melihat kemungkinan Baduy ditutup dengan pesona dan segala antusiasme pengunjung hingga saat ini. Selama masih ada orang yang heran tentang kelompok nomaden ini, dengan catatan perjalan yang terus menggaung, Baduy akan dikelilingi masalah yang sama.
No comments:
Post a Comment